Sekar

1K 65 25
                                    

Suasana nya sekarang sedikit memanas, bukan karena telah terjadi suatu pertengkaran. Melainkan sang pria yang mulai jengah dengan pertanyaan sama yang dilontarkan kepadanya. Dapat kulihat telinga nya memerah, tapi kuakui dia sangat hebat bisa menahan emosinya. Tidaklah mudah menghadapi keluarga Eyang dalam hal apapun, apalagi pria ini mendatangi keluarga Eyang dengan maksud meminta izin mengambil putri mereka.

Pria itu melihat ke arah bangku yang kududuki, tapi bukan tepat kearahku. Melainkan kearah dimana tanteku berada. Melihat sekilas kearah tanteku yang tenang, yang kuyakini hatinya tak kalah tegang dengan pria itu, pria yang akan mempersuntingnya. Aku mengelus bahu tante dan merangkulnya dari samping. Menenangkannya. "Apa nak Marwan yakin dengan keputusan yang diambil?"

Lagi.

Oh sudahlah Eyang, sampai berapa kali lagi Eyang akan bertanya seperti itu? Pria itu, Om Marwan sekali lagi hanya menganggukkan kepalanya. Kemudian hening lagi. Eyang mengelus punggung tangan Kakung yang duduk di kursi roda sambil menatap nya yang sedang menatap kearah Om Marwan.

Om Marwan tertunduk, merasa kecil dipandang seperti itu oleh Kakung.

Mengapa Eyang tidak memberikan saja putri nya itu kepada Om Marwan? Apa karena Kakung? Aku yakin sekalipun Kakung tidak setuju, asalkan Eyang mengijinkan pernikahan pasti akan terjadi. Begitulah, semenjak dulu Kakung selalu menyerahkan keputusan seperti ini kepada Eyang. Apalagi dengan kondisi Kakung sekarang, pasti pendapat Kakung tidak dibutuhkan lagi. Dulu pernah kutanya mengapa kakung seperti itu, menyerahkan keputusan kepada Eyang, Kakung menjawab "Kakung ini nggak pinter menilai orang nduk, apalagi kalau urusan seperti ini.. Kakung itu jauh sama putra-putri Kakung, hanya Eyang lah yang mampu memberi keputusan terbaik" hal itu kutanyakan saat situasinya sama seperti ini. Tapi sebelum Kakung jatuh sakit terkena stroke. Saat itu Om Bram melamar putri terakhir di keluarga Eyang. Ya, Tante Sekar dilangkahi oleh adiknya, Tante Arum. Sama seperti sekarang, keputusan berada di tangan Eyang. Tapi saat itu Eyang dengan begitu mudahnya memberikan restu dan mengijinkan diadakannya pernikahan.

Aku benar-benar bingung. Sebenarnya aku datang ke rumah Eyang untuk berlibur. Biasanya juga begitu, semuanya, anak-anak Eyang,cucu-cucunya semua berkumpul dirumah Eyang. Tapi aku malah terseret ikut masuk kedalam Bale mengikuti sidang lamaran ini. Sudah dua kali. Pertama kali, saat Om Bram melamar Tante Arum, yang itu karena aku selalu menempel dengan Kakung. Tidak mau lepas meskipun dibujuk oleh Ayah dan Ibu. Bahkan godaan bermain dengan para sepupu tidak mempan.

Yang kedua ini, mungkin aku adalah cucu tertua, yang dianggap sudah cukup untuk menemani Tante. Karena tidak ada perempuan dewasa lain. Kali ini aku tidak bersama Ibu dan Ayah, serta kedatanganku memang lebih awal dari anak-anak Eyang yang lain. Klise. Tidak ada pilihan.

Haksa adikku, kupaksa masuk kedalam kamar dan kularang mendekati Bale sampai aku kembali. Bermain dengan sepupu ku yang lain, Apsarini dan Galar. Yang sejak berusia 5 tahun sudah tinggal bersama Eyang dan Kakung, orang tuanya yaitu anak ketiga di keluarga Eyang sudah meninggal dalam kecelakaan.

Jadilah aku berada disini, Om Abyasa anak terakhir yang usianya terpaut tidak jauh dari ku berdehem. Mencairkan suasana. Tapi langsung ditatap maut oleh Eyang, aku paham apa artinya. Tidak sopan.

Ya Gusti

Eyang, Eyang.. Mau sampai kapan? Bukankah seharusnya Eyang memberikan restu saja kepada Om Marwan? Ayolah Om Marwan itu jauh lebih baik daripada laki-laki yang dibawakan oleh Eyang untuk diperkenalkan dengan Tante Sekar. Om Marwan itu muda, jika disandingkan dengan Tante Sekar. Usia mereka tidak jauh beda. Tampan iya, mapan pasti, dari keluarga baik-baik jelas. Apalagi sih Eyang? Ya Gusti.

Sedangkan pria yang dibawakan Eyang itu sudah pada tua-tua, hampir seusia Eyang itu sendiri. Keluarga Om Marwan dan keluarga Eyang itu sudah lama kenal. Kurang apalagi?

SekarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang