1. Acara Sekolah

106 1 0
                                    

Entah sejak kapan aku menyukai bulan February. Aku tak pernah lupa bagaimana hujan membasahi dinginnya malam. Aku selalu ingat setiap udara sejuk yang menerpa wajahku. Bau basah menemaniku mengenali bulan February. Sesuatu pernah di mulai pada bulan February. Sesuatu yang merubah hidupku. Pikiranku melambung jauh ketika memandangi hujan malam ini.

"Lo tunggu disini ya." Kataku menunjuk seorang junior. Saat ini sekolahku tengah mengadakan sebuah acara tahunan yang cukup besar. Beberapa cabang perlombaan diselenggarakan oleh sekolahku. Aku adalah seorang panitia bidang usaha yang cukup sibuk pagi ini. "Lo bertiga cari es batu ya." Kataku lagi memberi perintah pada beberapa junior. "Lo ambil poster sama double tip di ruang OSIS." Beberapa junior perempuan itu segera meninggalkanku dan mengerjakan tugas mereka masing-masing. Aku menata barang-barang dagangan di stunt usaha milik panitia. "Posternya mana sih?" Aku mulai menggerutu. "Kak Elena, posternya udah abis." Seorang perempuan datang menghampiriku. "Kata siapa?" Tanyaku sambil berkacak pinggang kesal. "Kata Kak Sinta, Kak." Sahut junior satu itu. "Ah elah lo, bukannya cari." Aku meninggalkan stunt menuju ruang OSIS.

Ruang OSIS terlihat berantakan dengan berbagai barang untuk keperluan acara. "Sin, masih ada poster gak?" Tanyaku pada Sinta, anak OSIS dari kelas XII-IPA-A. "Kayanya disini udah abis deh."
"Kemaren ada di pojok situ kata Dina udah dia siapin buat stunt usaha." Kataku menunjuk sebuah sudut di ruang OSIS.
"Coba lo cari deh Len. Gue lagi ribet banget nih." Aku bisa mengerti pekerjaan Sinta yang menyiapkan begitu banyak atribut untuk acara ini. Aku mencari poster dan double tip di sudut ruangan. Kemudian aku menemukan Poster-poster dan double tip di balik umbul-umbul dan banner. "Ada nih Sin. Lo butuh poster juga gak?" Tanyaku. Sinta menoleh sesaat. "Engga Len, lo bawa aja semuanya." Aku segera meninggalkan ruang OSIS menuju stunt.

Aku menyusun poster di stunt kemudian menyusun minuman di atas sebuah nampan. "Lo keliling jualan minuman ini ya." Kataku menyerahkan nampan kepada dua orang junior. "Kak Elena, es batunya udah datang." Aku menoleh ke asal suara itu. "Tukang es nya ada di gerbang belakang Kak." Lanjut salah satu dari ketiga juniorku ini. "Yaudah, bawa ice box-nya." Mereka menggotong ice box yang berukuran sedang itu bersama-sama.

Aku melihat seorang laki-laki tua diatas sebuah sepeda yang terdapat gerobak didepannya. "Es batunya gede banget." Komentarku memandangi sebongkah es batu besar di dalam gerobak. "Es nya sebagian aja pak. Tempat kita gak muat." Kataku pada bapak penjual es batu. "Tapi mbak-mbak tadi pesennya segini." Sahut bapak penjual es. Aku menghampiri ketiga junior tadi. "Lo kenapa beli es gede banget?"
"Maaf Kak, kita pikir tadi butuh es nya banyak."
"Lo beli es segitu harganya berapa?"
"500 ribu Kak."
"Udah lo bayar?"
"Udah Kak, pake uang kita."
"Emang seharusnya gitu."
Dina, ketua panitia bagian usaha datang menghampiriku. "Kenapa Len?" Aku menghela napas cukup dalam. "Mereka beli es batu gede banget, gue gak tau mau di taro mana." Dina memeriksa es batu dalam gerobak. "Pak, ini udah dibayar?" Tanya Dina pada bapak penjual es. "Udah neng."
"Nah, ini kan udah dibayarin buat es segede gini, yaudah ga papa. Tapi kita pake es nya sebagian aja. Sebagian lagi bapak bawa pulang."
"Tapi uangnya gak bisa dibalikin ya neng."
"Yaudah ga papa. Uangnya bawa aja, tapi es nya tetep kita cuma pake setengah."
Akhirnya bapak tukang es itu mengerti dan memotong es balok itu. Aku menyusun minuman di dalam ice box berisi potongan-potongan es batu. "Lo bawa lagi ice box-nya ke stunt nih." Kataku pada ketiga junior tadi.

Aku berniat untuk meninggalkan pekerjaanku sesaat menuju kantin. "Kak Elena, kita jualan kemana lagi ya?" Aku berpapasan dengan dua orang junior yang aku minta untuk berkeliling menjual minuman. "Lo berdua kalo capek gantian aja sama yang jaga stunt. Terserah deh lo mau jual kemana, lo mondar mandir lah tawarin orang-orang. Gue gak mau tau, hari ini satu nampan itu harus abis kejual." Wajah mereka menunduk muram. "Iya Kak." Aku melanjutkan langkahku menuju kantin. "Kerjaan lo udah kelar Len?" Tanya Salsa, salah satu teman dekatku dari XII-IPS-B. "Yah gitu deh. Capek banget gue. Indomie dong." Aku segera memesan mie instan. "Kerjaan lo semua udah pada beres?" Tanyaku ketika mie rebus baru saja datang ke hadapanku. "Kita sih udah ngasih kerjaan ke anak-anak kelas satu, jadi kerjaan kita udah bisa dibilang beres." Jawab Gita, teman semejaku di XII-IPA-B. "Gagal paham gue sama anak kelas satu." Aku mulai mengeluh. "Tiap gue kasih kerjaan, ada aja yang salah. Pada manja banget. Dulu waktu gue kelas satu sih gak berani manja kaya gitu." Amira, teman semeja Salsa tersenyum mendengar keluhanku. "Haha waktu kita kelas satu mah kelas tiganya galak-galak."

Ketika CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang