Tinggal lima manusia yang tersisa, dan dia satu diantaranya. Karenanya aku bertahan. Mataku menatap manik matanya, yang sedang berbincang entah mengarah kemana. Aku menghela napas. Kisah ini semakin rumit. Bahkan satu kata pun tidak dapat ku ucap. Hanya hati yang sedang berlomba.
Aku tidak tahu mengapa dua manusia saling sayang harus berjalan sendiri-sendiri. Tiada lagi alasan. Hanya sebuah pikiran yang bergulat melawan hati. Ada keanehan semenjak malam itu. Malam dimana hanya aku dan dia yang tersisa.
Sedari tadi kamu hanya mengikuti alur yang seharusnya terjadi. Tidak seperti apa yang terjadi bila nanti. Hanya akan ada sebuah mata yang terus memandangmu dari seberapa jarak. Aku memeluk diriku seakan hanya ada diri sendiri. Aku memilih diam. Tersenyum seharusnya.
"Aku pulang," pandangan matanya yang sedari tadi berlari-lari sekarang mengarah tepat di mataku, saling mengikat. Aku mematung di tengah. Hembusan angin malam menerpa. Ia meninggalkan kenangan sedikit itu.
----
"Untuk belajar menerima..." berada disisi yang bukan menjadi bagianku tentu bukan keinginan.
Dia, yang tidak pernah kamu mengerti, hanya sebatas sahabatan. Lalu, perasaan itu, datang tanpa suara. Melawan batin. Rasa sayang dibungkus seperti membungkus putri dalam gaun pesta. Cantik mengundang tapi membuat segan. Rasa rindu yang akan dia ungkap hati-hati, dicicil sehingga tidak terasa picisan. Semua itu sudah dilatih, bertahun-tahun.
Kadang aku benci diriku sendiri, tubuh aneh yang setiap berubah peka seringkali membuatku menjadi seperti orang gila. Namun, aku malah jatuh hati, dan tak sanggup aku selamatkan.
hai, aku rindu.
----
Tak ada yang mengerti mengapa aku terlihat gelisah seperti ini, senyum pun menghilang. Mereka mengharapkanku ceria, dan bahagia, bukan orang lumpuh.
"Kau yakin akan baik-baik saja?" Aku menangguk lalu tersenyum, pertama di hari ini.
Dua tahun kunanti sore ini, pemilik sebagian jiwa dan hati ku akhirnya akan kembali. Menanggung semua rinduku, hanya untuk diriku sendiri. Remang-remang melihat pantulan diri yang sangat anggun, dengan gaun putih selutut, memperlihatkan kaki mungilku. Selagi mereka sedang mempersiapkan diri yang juga ikut menyambutnya, merapikan semua yang sudah direncanakan. Rasa ingin berbeda, dan menjadi yang lain akan membuatnya risih dengan perasaan yang sulit dipendam ini.
Bukan orang lain yang datang dihadapan kami, melainkan satu diantara lima yang hilang. Masih lebih tampan dari yang dulu-dulu. Perlahan aku melambaikan kiri tangan menyambutnya. Ia berlari sedikit, dan sampai tepat didepanku.
"Kalian apa kabar?" mata tajam itu menatap kami satu-satu. Dilihatnya kami berpakaian, lalu tersenyum megah. Sangat rindu, laki-laki yang menjadi sahabat paling mengerti, dan paling dicinta.
Mereka pergi. Kejadian 2 tahun yang lalu terjadi lagi. Hanya tersisa dua manusia dengan satu cinta. Kisah dimana hatiku mulai terbentuk menjadi sebuah rasa.
Tempat ini kembali remang, tidak romantis. Ia kembali menjadi yang sanggup kuhayati, yang kuisyarati halus melalui udara, langit, sinar bulan, atau gelembung bir.
"Ternyata masih sama," ia memulai percakapan, aku menghela napas, menghilangkan semua isyarat-isyarat. Itu sudah lebih dari cukup.
"Aneh?" Tawaku menyembul keluar. Ia mengikuti. Aku sampai dibagian bawah, aku telah jatuh cinta.
"Rindu seperti ini, menertawai keanehanmu, membawamu kemanapun, i miss our moments." Menahun, kutunggu kata-kata yang meraungkan semuanya. Aku menyetujuinya.
"Empat tahun, kamu akan membuangnya begitu saja? Ayolah, aku merindukan itu semua," Ujarnya. Semua berubah. Aku bukan orang yang sama tanpa memendam hati. Aku ingin berhenti sekarang
"Ngomong dong!" Tiba-tiba suaramu meledak murka. Pipiku mulai becek, hatiku tercekik. Tidak dapat ku ungkapkan melalui kata. Bibirku membisu, penglihatanku seakan kabur. Sakit ini tak terobati. Dan inilah hatiku, pada dini hari yang hening. Bening apa adanya.
Lama ia mematung, merangkai pengertian sederhana. Ia tidak tahu apa yang aku lakukan. Otakku merekam, menyimpan kamu dan kita. Seberapa banyak hati yang terluka karena ini. Karena satu hati diantara dua manusia.
"Aku memilikinya, dan aku pernah mencintaimu" terasa tajam menusuk, melebamkan semuanya. Berlari kencang, meninggalkan semua separuh jiwa. Menangis dengan lunturan maskara yang melekat, percaya atau tidak, cinta itu isyarat. Hanya dapat dimiliki, namun tidak dapat digapai. Tak juga kupaksakan. Setitik pengertian.
Bahasa yang aku ketahui kini hanya perasaan.
-----
Senja kian sempurna. Dia, yang dicinta, tampak berkilau di bawahnya. Mereka berdua menghambur, mendekap satu sama lain. Bibir saling bertautan, tampak ia sangat bahagia. Lalu kudatang dengan niat ingin memilikinya. Begitu mustahil. Menahan perasaan yang akan meluap menjadi berbutir-butir tetesan air mata yang sedang mempersiapkan diri untuk mengeluarkan diri dari tempatnya, kendati hati terluka. Aku merasakannya. Lelaki yang kucinta mengusap wajah perempuan itu dengan cinta. Aku tersenyum, bergumam betapa bersyukur perempuan yang telah mencuri hati sahabat tercinta.
"Terimakasih untuk semua yang telah hadir disini. Saya sangat bersenang hati karena pada akhirnya perempuan yang paling saya inginkan didunia ini berlabuh pada saya."
Kakiku mulai tidak dapat menyandang tubuhku lagi. Aku berusaha menahan, kuusap cepat-cepat air mata yang tanpa sengaja ingin membasahi pipiku.
Baru kali ini aku benar-benar merasakan cinta. Terluka tanpa meninggalkan yang tersisa.
----
Hari ini aku ingin menyampaikan semua yang ada. Semua yang harusnya aku sampaikan sejak dulu. Pesan ini akan tiba padamu entah dengan cara apa.
Aku memandangmu tanpa menatap, aku mendengarmu tanpa alat, aku menemuimu tanpa perlu hadir. Aku mencintai tanpa apa-apa. Cinta sederhana ini hanya aku berikan kepada kamu, sahabat yang paling kucinta.
Aku tahu apa yang aku tangiskan, aku tahu apa yang bisa menghiburku. Kamu.
Demi hati ini aku bertahan, merasakan yang seharusnya dilenyapkan. Menjalan yang seharusnya, mendukungmu sebagai sahabat.
Aku mencintaimu seperti aku mencintai diriku sendiri. Tidak mungkin bukan aku meninggalkan diriku sendiri? Aku tidak akan meninggalkanmu sekalipun semua akan berubah.
Dan entah bagaimana caranya caranya bersuara jika raga tak ada lagi. Ingin rasanya aku berlari, dan mencengkram tubuhmu. Menarikmu bahwa aku ada disini.
Aku akan tetap menyayangimu. Menyayangi seharusnya. Berusaha untuk melupakan semua cinta yang aku punya. Memilih masa depan, dan merangkai ulang cerita kita. Maaf atas cinta yang datang, sungguh aku sedang menetapkan diri untuk menghempas jauh rasa ingin memiliki. Aku sedang berusaha.
Dan terimakasih karena ... pernah mencintaiku
- Surat dari Sahabat