Bagian 4 (Story of my life...)

14.8K 639 5
                                    

Aron Albern

"Aron!" teriak Helena yang tertatih mengejarku. Aku tak menghiraukan wanita itu terus menguntitku. Kini hanya rasa benci, jijik dan sangat muak yang ada di benakku. "Aron, kumohon dengarkan aku," teriaknya sekali lagi. Bagaimana bisa ia melakukannya dengan Michele? Sahabat karibku. Mereka telah berkhianat di belakangku. Memadu kasih diantara jalinan cinta yang tengah kubina bersama Helena. Sejahat itu Michele?

"Dengarkan aku, Please!" Helena menjamah lenganku, membuat tubuh ini berhenti melangkah. Kutatap wajah sayu wanita yang kucintai, tatapannya masih hangat seperti sebelumnya. Namun, tanda merah di sela dadanya membuatku garang. Kuhempas genggaman tangannya, tanpa menatap ke arah wajahnya.

"Aku hanya mencintaimu," ucapnya membuatku sangat muak.

"Hellena..." suara itu bersumber dari pria yang ada di belakang Helena. Pria itu mendekat dan menjamah pundak mulus wanita sayu yang ada di hadapanku. Tanpa berkutik, wanita itu hanya bergemik. Aku tak menghiraukan keduanya. Diri ini melangkah, meninggalkan wanita yang kucintai, bersama sahabat karibku sendiri.

"Aronn...."

***

Aku tersentak dari lamunanku. Masih terbayang sosok Helena. Masih membekas rasa sakit akibat luka yang telah ia torehkan. Ia dengan mudah bercinta dengan sahabatku, memadu kasih di belakangku, dan menganggap bahwa diriku tak pernah ada.

"Arghhh!" satu pukulan ku lemparkan pada meja kaca yang ada di hadapanku.

"Tuan, kau tak apa-apa?" tanya bibi Tere begitu khawatir. Aku bergeming, menatap sekilas raut wajah bibi Tere, dan berlalu memasuki kamarku. Kubiarkan darah yang mengucur di area tanganku. Menatap sebuah cermin, mengamati tiap inchi wajah malangku.

"Apa yang kau cari dari dirinya? Apa kurangnya diriku," gumamku yang menatap bayangan di dalam cermin.

"Tuan," terdengar ketukan pintu yang diiringi suara bibi Tere. Aku menghela nafas dan berjalan mendekat arah pintu, membukakan pintu untuk Bibi Tere. Senyum wanita tua itu melebar, dan dengan cepat melirik arah tanganku yang masih mengeluarkan darah segar.

"Biarkan bibi mengobati lukamu," pinta Bibi Tere yang ternyata telah siap dengan kotak obat di tangannya. Aku mempersilahkan Bibi Tere memasuki kamarku dan membersihkan luka di tangan. Bibi Tere dengan perlahan membersihkan darah yang mengalir di sela-sela jari, dan membalut lukaku dengan perban.

"Tak perlu kau fikirkan wanita itu. Kau sangat tampan, Tuan. Kau memiliki segalanya. Bahkan semua wanita menggilaimu dengan sendirinya," ujar Bibi Tere menyemangatiku. Aku hanya merespon dengan seulas senyum, tanpa memperhatikan wajah Bibi Tere. "Ada wanita yang saat ini perlu kau utamakan, Tuan," kalimat Bibi Tere membuatku mengangkat wajah yang sedari tadi merunduk. "Nyonya besar sangat memperlukan perhatianmu. Lupakan wanita yang telah melukaimu, dan meinggalkanmu tanpa hormat. Saat ini, Nyonya besar sangat membutuhkan kasih sayang darimu." Bibi Tere benar. Ibu lebih membutuhkan perhatianku.

"Di mana Ibu?" tanyaku.

"Nyonya ada di kamarnya, Tuan. Dia belum makan sejak pagi tadi," ucap Bibi Tere. Tanpa berfikir panjang, aku beranjak dari tempatku dan menuju lantai atas, di mana kamar ibu terletak. Ibu mengalami goncangan jiwa yang teramat dalam. Semua ini karna ulah Ayah. Ayah membuat hidup ibu menjadi seperti ini. Tertekan, hingga mengalami skizofrenia. Tak jarang, Ibu terlihat sedang berbicara sendiri, berhalusinasi dan selalu menyendiri. Profesi ayah sebagai mafia membuat ibu hidup tertekan. Tak jarang kasus yang melibatkan ayah antara lain, pemerasan, perjudian, pengedaran narkoba hingga prositusi. Semua itu membuat hidup ibu menjadi tertekan dan hingga mengakibatkan ibu jatuh sakit.

Semenjak ibu jatuh sakit dan mengalami skizofrenia, aku memutuskan untuk menjemputnya dan merawatnya bersama Bibi Tere. Bibi Tere adalah pelayan setia Ibuku. Ia rela menjaga ibuku sekalipun tak digaji. Aku telah menganggap Bibi Tere layaknya keluarga, kasih sayangnya terhadap ibu membuatku mempercayakan semua urusan ibu padanya. "Ibu..." ucapku saat menghampiri wanita berambut panjang yang tengah duduk menghadap jendela kamarnya. Ibu hanya bergeming tak menoleh kearahku. Tatapan ibu kosong, memandang lurus ke arah depan.

"Ibu sudah makan?" tanyaku perlahan. Lagi-lagi ibu tak merespon ucapanku. Aku bersimpuh dan merebahkan kepalaku pada pangkuan ibu, betapa aku merindukan ibu yang dulu. "Bu..." gumamku sekali lagi. "Aku sangat menyayangimu." Tiba-tiba belaian lembut kurasakan pada kepalaku. Belaian yang kurindukan. Setelah sekian lama, baru kali ini ibu membelaiku. Aku menangis dalam pangkuan ibu, menikmati hangatnya belaiannya yang telah lama tak kurasakan. Perlahan kutatap wajah sayunya yang masih tak menatapku. Bibi Tere menghampiri, dengan sebuah nampan berisi makanan dan susu yang ia sediakan untuk ibu.

"Nyonya, saatnya makan," gumam Bibi Tere. Entah kenapa, saat mendengar suara Bibi, ibu dengan cepat merespon, walau hanya menatap bibi dengan tatapan nanar.

PYAAAARRRR!! Ibu dengan kasarnya menghempaskan nampan yang tengah Bibi bawa. Seluruh makanan dan susu yang telah di siapkan Bibi Tere jatuh berserakan. Ibu terlihat mengamuk, mengacak-acak rambutnya dan sesekali ia tertawa terbaha-bahak dan kembali mengamuk. "Ibu, kumohon tenanglah," ucapku seraya menenangkan. Ibu seolah sangat menyimpan sakit yang amat dalam di batinnya, hingga membuatnya seperti ini. "Bibi, hubungi Andrean segera..."

"Baik tuan-,"

"Aron..." panjang umur dokter muda ini. Baru saja Bibi hendak menghubunginya. Andrean dengan cepat membantuku untuk menenangkan ibu yang semakin kalap. Andrean mencoba menahan ibu dari sebelah kanan, namun na'as. Tangan kanan ibu mendarat bebas tepat pada wajah Andrean, dan membuat dokter itu tersungkur. "Andrean!" pekikku. Ibu kumohon tenanglah ibu! Aku di sini, aku Aron ibu, Putramu!" bentakku pada wanita tak berdaya yang ada di hadapanku. Seketika ibu terdiam, memandangiku dengan tatapan sayunya.

"Aron-," aku merindukan itu, ya... ibu menyebut namaku saat ini.

"Ya, aku Aron. Anak Ibu," ujarku yang diiringi tetesan air mata yang jatuh dari celah mataku. Ibu membelai wajahku dengan gemetar. Diusapnya air mata yang berlinang di pipiku. Dengan sigap, aku memeluk tubuh kurus itu, membelai halus rambutnya dan ku daratkan kecupan hangat pada keningnya.

***

"Untung aku datang tepat waktu," ucap Andrean yang baru saja keluar dari kamar ibu dan menghampiriku. Aku hanya bergeming, menatap bayangan wajahku yang terpantul dari meja kaca yang ada di hadapanku. "Kau harus sabar, Aron. Aku tahu, ini sangat sulit untukmu saat ini."

"Apakah dia bisa sembuh?" tanyaku penuh harap. Namun tatapan Andrean seolah mengisyaratkan bahwa kesembuhan Ibu bukanlah suatu hal yang mudah.

"Aku yakin, Ibumu akan sembuh," ucap Andrean meyakinkanku, walau aku tahu ia sendiri ragu. Kuusap wajahku dengan kedua tanganku. Aku menghela nafas dan mencoba menenangkan diriku sendiri.

Dreet...dreettt! Handphoneku bergetar menandakan sebuah telepon dari hotel. Dengan sedikit malas, kudekatkan benda itu tepat di telingaku. "Ya, ada apa?... sampaikan saja aku sedang tak ingin bertemu dengan siapapu... astaga! Gila! Baiklah, aku segera ke sana. awasi dia."

"Ada apa?" tanya Andrean. Aku tak langsung menjawab pertanyaan Andrean, hanya saja dari gerak-gerikku, aku yakin ia mengerti bahwa saat ini aku sedang dalam masalah.

"Aku pergi ke hotel dulu," gumamku tergesa-gesa dan meninggalkan Andrean yang tengah mematung.

The royal bridal (Complite)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang