[didedikasikan untuk kaka kontra, panutan jiwaku. mangat terus, kak :v]
Anak perempuan dengan warna seragam yang mulai memudar itu melangkah pelan. Rambutnya yang dikuncir dua bergoyang, mengikuti irama langkah sang anak perempuan. Tas bergambar princess yang sudah berumur tua, disampirkan ke pundaknya, menjadi saksi tiap tetes keringat yang keluar dari leher.
Hap!
Anaya, anak perempuan itu, melompati sebuah kubangan. Kemarin hujan lebat, membuat jalanan sepanjang gang sempit itu becek dan penuh kubangan berisi air berwarna cokelat. Sekali lagi, Anaya melompati kubangan, sandal lusuh yang ia gunakan, kini telah belepotan lumpur,
Ya, Anaya bersekolah menggunakan sandal. Ia telah mendapat teguran beberapa kali oleh Ibu Guru, namun tetap saja Anaya akan datang dengan menggunakan sandal jepit keesokan harinya. Bukannya Anaya tidak mendengarkan perkataan Ibu Guru, akan tetapi uang ayah tidak pernah cukup untuk membeli sepasang sepatu hitam bekas.
Waktu sudah menunjukkan pukul satu siang, saatnya anak-anak Sekolah Dasar kembali ke rumah mereka masing-masing. Termasuk Anaya, gadis kecil yang menduduki bangku di kelas empat itu baru saja pulang dari sekolahnya.
Melewati gang-gang sempit yang berbau pesing sudah menjadi makanan sehari-hari Anaya. Pun para pemuda pengangguran yang kerap menjahili Anaya dengan cara tidak senonoh.
Dua hari yang lalu contohnya. Jika saja ia tidak berteriak saat itu, entah jadi apa Anaya sekarang.
Gadis kecil itu terus berjalan, rumahnya masih cukup jauh. Ia akan menghampiri toko Bu Tarmi terlebih dahulu, untuk mengambil hasil jualannya yang ia titipkan. Anaya menghela napas, mengusap keringat di leher, toko Bu Tarmi sudah di depan mata.
"Bu Tarmi, ini Anaya!" seru anak perempuan itu, kaki kecilnya meloncat-loncat, berusaha mengintip apa yang ada di balik etalase kaca.
Tak berapa lama, terdengar suara sahutan dari dalam. Anaya menyeringai, itu suara Bu Tarmi.
"Oh, Anaya, ya? Jualanmu tadi cuma terjual sepuluh, kata orang-orang, mereka bosan sama makanan basah yang kamu jual." Bu Tarmi menyerahkan uang kepada Anaya, tanpa memedulikan perasaan gadis berumur sembilan tahun itu. "Juga, toko saya sepertinya sudah mulai penuh, deh, jadinya untuk sementara waktu makanan basahmu enggak bisa dititipin ke saya."
Anaya yakin itu hanya alasan Bu Tarmi, tetapi ia hanya mengangguk dan pamit pergi tanpa banyak berkomentar. Gadis dengan kulit sawo matang itu menghela napas, pikirannya melayang ke mana-mana.
Sebuah baskom besar berisi sisa gorengan itu kini berada dalam genggaman Anaya. Ketika pertama kali suara ayam berkokok, gadis kelahiran Jakarta itu telah bangun. Mempersiapkan sarapan untuk ayah dan dirinya, sekaligus membuat gorengan yang kemudian dititipkan ke toko Bu Tarmi.
Hingga akhirnya Anaya sampai di rumah--jika itu bisa disebut rumah. Gubuk reyot yang menjadi tempat tinggal Anaya dan ayahnya tujuh tahun terakhir.
Ayah Anaya, Fauzan, merupakan pekerja serabutan, pekerjaan yang tak menentu membuat perekonomian keluarga mereka tak menentu pula. Ibu Anaya pergi tak diketahui rimbanya sejak berpisah dengan Ayah delapan tahun lalu.
Awalnya, sebelum kedua orang tua Anaya berpisah, hidup mereka begitu bahagia. Canda tawa menghiasai rumah kecil kontrakan itu. Hingga sebuah gosip menyebar ke seluruh kampung tentang ibu yang ternyata selingkuh. Ayah yang sudah terlanjur marah, menggugat cerai, tanpa mendengarkan penjelasan dari ibu.
Anaya baru belajar berbicara ketika ibunya pergi, meninggalkan Anaya tumbuh di bawah asuhan ayah.
Anak perempuan itu memejamkan mata, berusaha menghilangkan memori lama yang kembali menghantuinya. Anaya memasuki rumah, ayahnya masih belum pulang, mungkin sedang mengurusi sawah milik tetangga sebelah. Ia bergegas mandi, majikannya akan marah jika dia terlambat lagi.
[]
Senja semakin matang, mobil-mobil yang memadati jalanan, berangsur lancar. Anaya sudah kembali dari rumah Bu Hilda, majikannya, dan kini sedang perjalanan menuju rumah. Di tangannya tergenggam selembar uang berwarna merah hasil jerih payahnya sebulan penuh.
Setiap jam dua siang, selepas Anaya sekolah, ia akan ke rumah Bu Hilda. Di sana ia mencuci seluruh piring yang ada. Kasarnya, menjadi tukang cuci piring. Setiap sebulan sekali anak itu akan mendapat upah untuk membeli kebutuhan keluarga yang entah mengapa selalu bertambah.
Kaki Anaya yang berlapis sandal jepit kebesaran lungsuran ayahnya melangkah ringan, beriringan dengan jatuhnya rintikan hujan dari langit. Anaya mendongakkan kepala. Gerimis, batinnya.
Anaya segera menepi ke salah satu kios, sebelum dirinya terlanjur basah oleh tetesan air. Anak dengan rambut sepunggung itu tersenyum kecil ketika melihat setiap butiran kristal yang menghujami bumi.
Ia suka sekali hujan.
Hujan adalah satu-satunya kenangan manis yang masih ia ingat tentang ibunya. Masih terikat kuat di otak Anaya, ketika ibu menyanyikan lagu tentang hujan untuknya. Saat itu, Anaya Kecil akan menepukkan tangan sesuai irama lagu, matanya berbinar-binar menatap ibu yang bernyanyi sambil mengusap kepala Anaya.
Anak perempuan itu mengangguk-anggukkan kepalanya, seakan-akan mendengar suara ibunya menyanyi. Kakinya diketuk-ketukkan, ia memejamkan matanya hikmat.
Hingga sebuah kesadaran membangunkan Anaya dari lamunan indahnya, membuat ia mau tak mau tertarik kembali ke kehidupan nyata. Anaya menundukkan kepala, memandang jemari-jemari kurus yang beralaskan sandal tipis kebesaran.
Mungkin jika kini ibu dan ayah masih bersatu, Anaya tidak akan murung ketika menatap kakinya. Mungkin jika ibu tidak meninggalkan ayah, Anaya tidak akan merasa malu dengan alas kaki yang dikenakannya.
Anak bernama lengkap Elina Anaya itu menoleh ke etalase kaca milik toko yang terasnya digunakan Anaya untuk berteduh. Etalase itu berisi sepatu-sepatu dengan berbagai macam bentuk dan ukuran. Ia menelan ludah, menatap lekat sepatu berwarna merah muda yang tampak begitu pas di kaki kecilnya.
Ingin rasanya ia menjadi salah satu anak yang di dalam toko sepatu itu. Menjadi anak orang kaya yang bebas memilih sepatu kesukaannya. Menjadi anak orang kaya yang dengan leluasa mengambil sepatu tanpa memikirkan biaya.
Tetapi pada kenyatannya, Anaya hanyalah anak kurus dengan pakaian lusuh, mengintip keindahan sepatu-sepatu itu di tengah teras toko yang tempias basah.
-To Be Continued-
ini cuma selingan ringan di tengah kepenatan nulis ombrophobia :'v
semoga kalian suka, yha :'v
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepatu Untuk Anaya [2/2 END]
Short Story"Tunggulah sebentar, Nak, akan Ayah bawakan sepatu paling hebat yang pernah kau punya." Sepatu Untuk Anaya © adhade