[2/2]

10.3K 1.6K 944
                                        

[kudedikasikan untuk belahan jiwaku, maafkan seluruh kesalahanku, Kak :'v]

Laki-laki dengan garis wajah tegas itu mengikuti arah pandang anak perempuannya.

Di sana, tempat dijualnya berbagai macam sepatu mungil dengan warna yang begitu menggiurkan anak seusia Anaya.

"Anaya ingin membeli sepatu itu?" tanya ayah lirih.

Anaya yang tersadar dari lamunannya, buru-buru mengalihkan pandangan. "Tidak, Ayah, Anaya tidak ingin membeli sepatu, sandal jepit pemberian Ayah sudah lebih dari cukup." Anaya menunjuk ke arah kakinya.

Ayah mengusap puncak kepala Anaya. Kerutan-kerutan di wajah ayah semakin terlihat. Sebenarnya, ayah baru kepala empat, tetapi keadaan membuat fisik ayah berubah begitu cepat.

"Baiklah, ayo." Ayah menggamit tangan Anaya.

Hari ini hari Kamis, ayah akan mengantar Anaya pergi ke sekolah. Seperti rutinitas mereka setiap pagi, dulu mereka menggunakan sepeda motor kredit yang dibayar setiap bulan. Tetapi tiga bulan setelah ibu pergi, motor itu dijual ke kota. Uangnya untuk membayar biaya sekolah Anaya.

Anaya hanya menundukkan kepala, pikirannya masih pada sepatu yang terpajang rapi di toko. Betapa ia ingin dengan sepatu itu, tetapi yang ia bisa lakukan hanya diam, menunggu ayahnya benar-benar mendapat cukup uang.

Untuk sementara waktu, ia harus berpura-pura puas dengan sandal yang diberi ayahnya.

⇦⇨

Anaya melambaikan tangannya, yang dibalas senyuman kecil. Ayah memerhatikan Anaya dari kejauhan. Anak semata wayangnya itu kini tampak berjalan sendiri, berusaha menutupi sandal jepit yang dipakainya. Tampak anak-anak seusia Anaya yang menunjuk-nunjuk sandalnya, membuat gadis kecil itu menundukkan kepalanya.

"Tunggulah, Nak, akan ayah bawakan sepatu paling hebat yang pernah kau punya."

Saat itu tak ada yang menyadari bahwa doa ayah membumbung tinggi, terjalin dengan ribuan doa yang diucapkan saat itu. Berputar di antara penghuni langit yang bersujud, khidmat mengamini doa penuh tenaga yang diucapkan ayah.

⇦⇨

Terik matahari siang membakar ubun-ubun, asap-asap mobil menyesakkan udara, bersatu dengan kepulan rokok. Suara klakson mobil yang tak sabaran saling bersahutan, tak jauh beda dengan raungan mesin sepeda motor yang menyelip curang di sela-sela. Umpatan demi umpatan meluncur tak terkendali, membuat suasana semakin panas. Metropolitan tengah di puncak kesibukannya.

Ayah mengusap peluh di dahi; beban di pundaknya terasa lebih berat. Ini sudah karung yang ke-15, lima karung lagi, pekerjaan ayah selesai. Rasa-rasanya ayah tidak akan kuat mengangkut karung lagi, akan tetapi ia harus. Demi permata hatinya, Anaya.

Mengingat nama itu, pegal-pegal di kaki bagai menghilang begitu saja, karung berisi kentang itu mendadak seringan kapas. Ayah kembali bersemangat, energinya sudah kembali. Ia bisa menyelesaikan semuanya.

⇦⇨

Ayah mengusap wajahnya yang terasa kebas. Ia memerhatikan lamat-lamat harga yang terpampang. Benar-benar di luar dugaannya, fantastis.

Pria berpakaian lusuh itu merasa mendapat hantaman keras di mukanya. Tangannya yang penuh guratan berwarna hijau terkepal, menggenggam erat uang berwarna biru yang ia kumpulkan dengan susah payah.

Matahari semakin terik, sebentar lagi jam pulang Anaya. Ayah ingin memberi kejutan besar dengan membelikan sepatu merah muda yang selama ini Anaya idamkan. Tapi takdir seolah menertawakan ayah, mengolok-olok dengan menunjukkan harga sepatu itu.

Kini seolah ayah yang mendapat kejutan besar, lihatlah, enam digit angka terpampang jelas. Ikut mengejek lembaran uang yang dibawa ayah.

"Maaf, Pak, Anda ingin membelikan sepatu untuk putri kecilnya, ya? Silakan cek yang ini, Pak, sepatu keluaran terbaru dengan kualitas yang terjamin." Seorang penjaga toko dengan celana yang berukuran lebih kecil daripada pahanya menghampiri ayah.

Ayah mendadak gugup, buru-buru menyembunyikan lembaran uang ke dalam saku celana. "E-eh, tidak, Mbak, saya hanya melihat-lihat."

Penjaga toko tadi hanya mengangguk kecil, lantas meninggalkan ayah yang kini termangu. Mata elang laki-laki berusia 43 tahun itu terus mengikuti anak seusia Anaya yang kini sedang dituntun orang tuanya keluar toko. Di tangan sang anak terdapat kantung kresek berisi sepatu berwarna merah muda.

Tanpa pikir panjang, ayah terus mengikuti keluarga bahagia itu. Berbagai rencana tersusun di otaknya. Jantung ayah berpacu lebih cepat, keringat dingin mulai membasahi kening, sudah lama ia tidak merasakan adrenalin ini.

Langkah ayah semakin cepat ketika sang anak mendekati mobil kijang berwarna hitam, hingga tepat ketika tangan kecil itu menyentuh kenop pintu mobil, ayah meloncat.

Sekarang, atau tidak sama sekali!

Sebelum menyadari apa yang terjadi, sang anak telah mendapati bahwa tangannya telah kosong. Tidak ada kantung keresek yang tadi ia bawa. Tak jauh dari tempat ia berdiri, sosok laki-laki paruh baya tampak berlari pontang-panting.

"PENCURI!!!" Teriakan pilu mengiringi langkah ayah, puluhan pemuda yang mendengar teriakan dari sang anak segera berlari mengejar. Justru itu yang diinginkan ayah. Laki-laki dengan rambut gondrong itu tertawa lebar, kakinya tak berhenti untuk terus berlari.

Di tempat lain, bel sekolah Anaya berbunyi nyaring, sorakan gembira menggema dari seluruh kelas. Termasuk Anaya, anak itu kini ikut berhamburan keluar gerbang sekolah.

Ayah terus berlari, melewati berbagai tikungan. Sesekali ia menoleh ke belakang, mengeluh, kenapa massa itu bergerak begitu cepat. Hingga akhirnya, keseimbangan ayah menghilang. Ia terjatuh.

Lututnya berdebam keras, punggung ayah bergesekan dengan aspal kasar.

Anaya, maafkanlah Ayah.

Tak sampai beberapa menit, kerumunan massa telah mengerubungi tubuh terkapar ayah.

Bagai dikuasai iblis, mereka memukuli tubuh tak berdaya itu.

Maafkan Ayah yang telah mengecewakanmu.

Sebuah kaki dengan balutan pantofel hitam, menghantam kepala belakang ayah.

Maafkan Ayah yang tidak bisa membelikanmu sepatu.

Ayah mengerang, perutnya terinjak.

Maafkan Ayah karena tidak bisa menemanimu hingga akhir.

Darah mulai mengotori jalan aspal.

Anaya, kamu jangan nakal, ya?

Massa masih membabi-buta.

Ayah akan tetap menjagamu melalui surga.

Samar-samar, telinga ayah yang hampir terputus mendengar suara sirine polisi.

Teruslah rajin belajar, agar nantinya kamu tidak seperti Ayah.

Kesadaran ayah mulai memudar secara perlahan.

Ayah sayang Anaya selalu.

Anaya, anak kecil berusia sembilan tahun yang resmi menjadi seorang yatim itu melangkah riang. Melompati kubangan sisa hujan kemarin, bersiap menunjukkan nilai sembilan yang ia peroleh di pelajaran Matematika kepada ayah.

Sepatu Untuk Anaya [2/2 END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang