Chapter 2

34.2K 1.4K 13
                                    

Mata hitamnya menatap tajam kearah perempuan yang masih saja menutup matanya walau hari sudah menjelang pagi. Salahnya memang yang menghancurkan hati wanitanya tapi menelisik lagi bagaimana dengan gampangnya wanita yang ia cintai tersebut pasrah akan dirinya hanya agar ia tak menyakiti keluarga sialannya membuat dadanya terasa panas. Bahkan sampai sekarang pemuda yang bertopang dagu itu tak habis pikir tentang hal gila yang telah ia suarakan.

Tangannya terangkat hendak menyentuh wajah si wanita yang masih terlihat nyaman dalam tidur lelapnya, tapi ia menghentikan gerakannya saat ia menyadari kalau derita wanita nya sebab karena kebodohannya.

Yang paling membuat dia bersyukur adalah instingnya yang menyuruh dia mengikuti wanita itu keluar diam-diam dari rumahnya. Hal gila macam apa yang telah di ungkapkan sepupu bodohnya hingga wanitanya jadi hancur tak bersisa seperti sekarang.

Tak ada yang boleh menyakiti wanita nya selama ia ada didunia ini. Bahkan ia berencana menghancurkan kakak tiri wanitanya.

Si pemuda menjambak rambutnya dengan frustasi, tak tahu harus berbuat apa agar semuanya kembali baik-baik saja.

Suara ketukan di pintu kamarnya membuat dia menoleh sebentar dan berdiri dengan enggan. Dia membuka pintu dengan pelan takut membangunkan pemilik hatinya.

"Dia sudah bangun?" Wanita berkaca mata itu bertanya lembut pada anak sulungnya yang terlihat cukup berantakan.

"Kurasa aku tak ingin ia bangun dengan cepat Mi, Mami bawa makanan?" Lucas bertanya terlihat enggan dengan makanan yang di bawa sang Mami. Mata hitam itu kembali menatap ranjang dengan tampang sendu.

Sang Mami tahu betul anaknya sudah lama mengincar anak sahabatnya itu, bahkan Renata sempat menitipkan anaknya pada putra sulungnya. "Mami dengar dia akan di kirim ke Tokyo?" Pertanyaan retoris itu membuat Delila mendapatkan anggukan lemah dari putra pertamanya. "Apa yang akan kamu lakukan?" Delila tak bisa menyembunyikan rasa ingin tahunya, apalagi semua sudah menyangkut gadis yang di cintai putranya.

"Tetap dengan keinginan Tante Renata." Jawaban datar itu tak membuat Delila puas, tapi ia sangat mengerti putranya bukanlah orang yang suka melihat orang lain ikut campur dalan masalahnya walau itu ibu kandungnya sendiri.

"Sebaiknya kamu makan, Mami rasa kamu belum makan dari tadi malam. Kamu juga tidak tidur." Siapapun pasti tahu anaknya tidak tidur semalaman.

"Aku akan makan di luar." Lucas menjawab tapi mata hitamnya tetap lurus kearah ranjangnya. Mata sendunya seolah menyiratkan luka hati yang telah ia derita selama beberapa tahun.

Perempuan itu sekarang di ranjangnya tapi seolah mereka terpisah sangat jauh.

"Kamu akan keluar?" Lucas kembali mengarahkan tatapannya pada Maminya.

"Juan bilang Hendra ingin bertemu denganku." Tanpa di jelaskan Delila sudah tahu kalau anaknya mematikan ponselnya dan ponsel wanita itu.

"Apa tidak sebaiknya Hendra tahu anaknya baik-baik saja, bagimanapun juga Hendra berhak tahu anaknya dimana." Delila mencoba memberikan solusi.

"Dia tidak akan mendapatkannya dengan mudah." Bara kemarahan terlihat di mata putranya dan ia yang sangat mengerti tahu kalau anaknya tak ingin di bantah.

"Baiklah. Tapi Mami harap kamu tidak terlalu membuat Dea menderita sayang. Bagaimana juga dia tak tahu apa-apa."

"Mami tenang saja. Kemarin adalah terakhir kalinya aku membuat kesalahan bodoh itu tapi siapapun yang melukainya akan hancur di tanganku walau itu keluarga ku sendiri." Entah apa maksud dari ucapan putranya, karena pintu itu sudah di tutup dengan rapat. Putranya sedang marah, tapi pada siapa? Ia tak tahu.

***

Matanya menatap marah kearah pria yang sedari tadi tak henti-hentinya memaksanya mengaku. Bahkan saat ia baru tiba di kantornya ia langsung di disuguhi dengan caci maki yang tak jelas tertangkap inderanya.

Hendra marah besar mengetahui anaknya hilang dan ia menuduhnya menculik anaknya. Yang benar saja.

"Katakan di mana putriku? Kumohon." Kali ini nada frustasi itu membuat Lucas menyeringai jijik.

"Seorang Hendra memohon?" Nada hinaan yang di suarakan pemuda berambut hitam pekat itu hanya mampu membuat Hendra menghembuskan nafas lelah.

Anaknya menghilang dan dialah satu-satunya orang yang pantas di salahkan atas semua penderitaan putri kecilnya.

"Kali ini aku sangat memohon padamu. Katakan kalau dia baik-baik saja." Dia merendahkan dirinya tapi tak apa asal ia tahu putri tersayangnya baik-baik saja.

"Kamu tidak malu bertanya seperti itu sementara saat bersamamu ia selalu saja menjadi orang asing di antara kalian. Bahkan Tante Renata benar atas betapa pengecutnya dirimu." Nada mematikan dari bibir Lucas memang tak pernah di tahan jadi Hendra hanya bisa terima atas segala hinaan itu. Walau nyatanya itu memang benar adanya. Dia memang pengecut, bahkan ia tak mampu memperjuangkan wanita yang ia cintai.

Hendra mengangguk membenarkan. "Aku tahu Renata benar tapi bagaimanapun Dea adalah putri ku jadi bagaimanapun kamu membenci atas derita yang di berikan isteriku pada Dea, aku hanya bisa meminta maaf."

Lucas terlihat melotot marah dan detik itu juga tangannya menyeberangi meja hanya untuk bisa merenggut kerah leher Hendra dengan beringas.

"Sialan! Minta maaf mu simpan saja dalam mulut busuk mu itu. Karena kamu Tante yang aku sayangi mati sia-sia. Karena kamu juga wanita ku harus memiliki ibu tiri sialan seperti isterimu itu. Kamu satu-satunya lelaki sialan yang tak bisa apa-apa." Hendra bergeming terlihat sedih dengan setiap kebenaran yang di ucapkan pemuda yang dulu sangat di banggakan Renata.

Rasanya baru kemarin Renata membicarakan pemuda ini, pemuda yang sangat ia inginkan untuk menjadi anaknya. Menjadi suami dari anaknya. Tapi sekarang setelah semuanya seakan terkabul Renata malah tidak ada di dunia ini. Rasanya Hendra seolah di tikam belati.

"Kamu memang busuk." Lucas melepaskan cengkramannya melihat pria tua itu seakan tak berdaya.

Di lihatnya Hendra menunduk tak mau balas menatapnya membuat hati kerasanya sedikit demi sedikit luluh. "Dia baik-baik saja."

Hendra mengangkat wajah sumringah.

"Jangan terlalu senang dulu, kali ini akan ku perketat pengawasanku. Sedikit saja ia kembali di lukai jangan harap keluargamu kembali bisa tersenyum. Aku akan memulangkannya." Akhirnya Lucas mengakhiri pembicaraan yang cukup menguras energinya itu. Lucas berlalu dari sana.

***

Ia melangkah dengan cepat menuju mobilnya dimana asistennya sudah menunggu.

"Semua berjalan lancar?" Juan bertanya pada sahabatnya yang terlihat dingin. Menjadi asisten seorang Lucas Abigail bukanlah hal yang mudah karena sekalipun kamu sahabatnya ataupun keluarganya, ia akan memperlakukan semua orang dengan sama rata.

"Aku tidak bisa yakin ia tidak akan menyakitinya." Lucas menggeleng terlihat enggan melepas Dea kembali pada keluarganya tapi mengekang wanita itu bersamanya juga tak baik baginya.

"Aku harap sih Dea tidak kembali terluka. Tapi hati manusia juga tak mungkin bisa jauh-jauh dari luka. Jadi lihat saja dulu apa yang akan terjadi."

"Aku mau cepat pulang. Kurasa dia sudah bangun."

Juan mengangguk. "Sebaiknya kita makan dulu."

"Ya aku merasa lapar."

***

Crazy In Love {Abigail Book 1}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang