Kasih Ibu Berbuah Duri

89 3 0
                                    

Aku Ihsan, terlahir sebagai anak ketiga dari orang tua sederhana. Aku memiliki dua kakak perempuan dan satu adik laki-laki. Saat dilahirkan, aku adalah anak laki-laki pertama yang menjadi kebanggaaan dan harapan besar bagi mereka.


Beberapa tahun kemudian lentera harapan itu padam tertiup badai. Ketika umurku menginjak 13 tahun, keluh ibu selalu terdengar. Ia merasa letih menasihatiku yang selalu membuat masalah di sekolah maupun di lingkungan masyarakat. Membolos, tawuran antarteman, mencuri buah di kebun tetangga, meninggalkan salat, dan membentak pada ibu adalah kebiasaanku. Sehingga orang tuaku sering mendapat surat pemeritahuan dari sekolah dan keluhan dari tetangga karena kenakalanku. Bapak dan ibu sangat malu. Sejak saat itu pula ibu mengakui bahwa mendidik anak laki-laki tidaklah semudah mendidik anak perempuan. Ya, memang bapak dan ibu selalu dibanggakan dengan prestasi kakak di sekolah. Mereka penurut dan tidak pernah berkata kasar yang melukai hati ibu seperti aku.

Mentari tersenyum di awal bulan Ramadan. Hari ini bapak mengkreditkan sepeda mahal model terbaru untukku dengan syarat aku tidak boleh menyakiti hati ibu dan harus menjadi anak penurut. Sejak saat itu, aku berusaha menjadi anak sholeh. Salat dan mengajiku tepat waktu karena aku takut kehilangan sepeda baruku.


Selang waktu 1 bulan aku merasa jenuh karena aku dilarang mengotak-atik sepedaku sendiri, terutama ibu yang selalu menceramahiku. Karena itu, aku ingin dibelikan sepeda baru yang sederhana agar aku bebas menuangkan ideku terhadapnya.
Saat cahaya rembulan menyeruak di kegelapan malam. Aku kembali melihat ibuku menangis. Tidak kusangka perkataanku tadi sangat melukai hatinya. Tetapi aku tidak peduli, Kuakui bahwa aku sangat kesal dengannya yang selalu menghalang-halangi hampir semua keinginanku dengan alasan khawatir. Sehingga pernah terlintas dalam benakku, jika ibu tidak ada mungkin aku dapat hidup bebas.

Kuhampiri ibu di ruang musholla, "Bu, kapan aku dibelikan sepeda baru yang sederhana? Aku ingin bebas merubahnya" tanyaku dengan penuh harap.
"Nunggu bapak punya uang, Ihsan," jawab ibu sembari melipat mukenah yang baru ia digunakan.

Apa yang kucita-citakan harus selalu terwujud, itulah prinsipku.

"Aku bosan memakai sepeda bagus itu, Bu. Karena aku tidak dibebaskan untuk mengotak-atiknya. Itu sama saja dengan meminjam bukan memiliki!" jelasku pada ibu.

"Iya Ihsan, bapak masih menabung buat membeli sepeda itu. Cobalah sedikit sabar," nasihat ibu dengan penuh kelembutan.

"Ah! Terus disuruh sabar, tapi kapan?" tanpa peduli kutinggalkan ibu. Hasrat ini membuat aku semakin malas sekolah dan selalu berkata kasar kepada ibu, kakak, serta adikku.

***

Jam dinding menunjukkan pukul 04.00 WIB. Ibu dan kakak membangunkanku untuk sholat shubuh. Aku pun tidak segera bangun. Pukul 06.00 WIB, aku baru bangun untuk sholat shubuh. Aku tidak membantu ibu belanja seperti biasa karena rasa kesalku. Aku tidak mau tahu, aku pura-pura tidur di atas sajadahku usai sholat shubuh. Sedangkan ibu, Kak Izzah, dan Kak Zahira memasak di dapur.

"Kalau menurut Nduk Izzah dan Zahira, apa yang harus ibu lakukan? Ibu lelah, dari dulu Ihsan tidak pernah berubah. Ia bersikap baik kalau kita turuti kemauannya saja. Tetapi setelahnya, ia kembali seperti ini," keluh ibu sembari memotong wortel.

Kak Zahira pun menjawab, "Menurut Zahira semua sudah cukup, Bu! Sudah berapa kali Ihsan mengingkari janjinya." mengambil napas dalam-dalam lalu melanjutkan,
"Saya tidak habis pikir dengan sikap Ihsan, Bu. Bapak ingin dia bahagia, susah payah bapak membelikan sepeda terbaru. Hingga teman-temannya pun iri pada Ihsan. Malah Ihsan meminta sepeda lain. Bahkan Zahira pernah dengar, ia menjelek-jelekkan sepeda barunya. Zahira tidak tega dengan bapak dan ibu yang selalu dipermainkan Ihsan."

Kasih Ibu Berbuah DuriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang