3

332 34 12
                                    

Kami bersiap kembali untuk membuka pintu. Tentu saja pikiranku melayang tak tentu arah. Memikirkan bisa saja kami dapat berlari dengan tenang tanpa gangguan, atau kami harus membunuh makhluk itu sebelum kami dapat berlari kencang. Itu membuatku menghela napas cukup keras, dan berhasil membuat Arisa menepuk bahuku.

"Kita harus berjuang." Aku tersenyum kecil.

"Kita akan berlari secepat mungkin jika makhluk itu ada di luar sana."

Ibu memberi anggukan kepada pria itu sebagai tanda bahwa ia dapat membuka pintu didepannya.

Kami sudah siap untuk berlari. Namun ketika pria itu membuka pintu, tak ada seorang pun disana. Bahkan makhluk itu pun tak ada.

Semuanya nampak bersih, tak ada noda darah di manapun. Kami berjalan perlahan, mengamati setiap sudut. Meskipun sudah kami perhatikan, di lantai satu memang tidak ada jejak makhluk itu.

"Bukankah sepertinya mereka semua sudah berlari keluar ketika mendengar ledakan? Jadi menurutku ini masuk akal." Ujar Arisa yang seakan mengetahui setiap pertanyaan kami.

"Kalau begitu kita manfaatkan kondisi ini!" Dan kami berlari mengikuti ibu yang memimpin.

Kami berhenti. Terkesiap dengan sesuatu di depan kami.

Seperti sebuah kejutan dimalam natal ataupun tahun baru, kami disuguhkan dengan pemandangan yang tidak akan pernah dilihat siapapun selain kami.

Puluhan--ah tidak maksudku ratusan zombie seperti menunggu kami diluar rumah sakit. Dengan amunisi penuh, ibu menggenggam sepasang Glock-17. Ibu melempar mantelnya sembarang dan terlihat amunisi terikat di perutnya dengan menggunakan ikat pinggang khusus. Pria itu mengeluarkan sepasang senjata api juga, jenis FN 57. Sama seperti ibu, amunisi terikat di pinggangnya.

"Sepertinya akan ada kesulitan sebelum kita dapat melarikan diri." Ujar ibu tertawa miris.

"Well, bukan sepertinya namun kenyataannya." Respon ku.

"Agent broun memiliki apartemen di sekitar rumah sakit ini." Lelaki itu memeriksa kembali senjatanya.

"Bagus. Sebelum si tua itu sampai, sepertinya kita harus ke apartemennya. Apa kau tau sandinya?" Ibu menatapnya dari sudut mata.

"Seperti biasa"

Seperti biasa? Aku bahkan tak mengerti apa yang mereka bicarakan. Demi tuhan kami tak mengerti.

Zombie berjalan ke arah kami dengan pandangan yang haus akan manusia. Nafsu makan mereka yang tak terhingga membuatku ngeri. Aku menangkap sosok Arisa dari sudut mataku.

"Arisa, apa kita akan melakukan ini?"

Aku melirik Arisa sembari melepaskan jas kerjaku, melemparnya ke sembarang arah.

Sungguh, sebenarnya aku sesak menggunakan jas itu setelah berlari kesetanan seperti tadi. Aku mengeluarkan sepasang pisau dari balik rok kerja ku.

"Tentu saja! Kita akan menghabisinya. Untuk apa selama ini kita berlatih bela diri?"

Ibu tersenyum puas ketika mendengar perkataan Arisa. Tanpa melirik sedikitpun, Arisa mengeluarkan pisaunya yang berada dibalik jas kerjanya itu.

Aku iri dengannya, dia bekerja menggunakan celana sedangkan aku menggunakan rok.

"Misa, apa kamu siap?"

Ujarku tetap memandang penuh konsentrasi pada zombie yang berjalan lamban ke arah kami. Ia mengangguk, memposisikan diri di belakang Arisa.

"Ibu, jagalah kami dari kejauhan ok?" Arisa kembali berseru.

"Ini akan sedikit menyulitkan, kalian tau itu?" Ujar ibu sembari memasang senyuman yang terlihat sangat licik.

REACT | Mystery Behind the ExtinctionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang