Utah, Negara bagian Amerika Serikat.
Lengkungan atap rumah itu bergoyang-goyang diterpa angin kencang musim kemarau. Debu-debu beterbangan menyusuri sekitar membuat udara kotor, dan halaman rumah-rumah penduduk tertutupi oleh lapisan debu. Memang, Utah merupakan dataran gurun yang luas di Amerika Serikat, dan musim kemarau yang melanda negara bagian tersebut membuat Utah mengalami cuaca yang ekstrim.
Seorang wanita berusia sekitar 35 tahun, sedang berdiri di depan rumahnya, mengawasi kedua anak kembar yang sedang bermain di luar. Dia sedikit khawatir akan kesehatan kedua anak itu, maka dia melangkah mendekati mereka, dan menggamit lengan keduanya.
"Sudah mainnya, Al, El," serunya sambil menuntun kedua anak itu masuk ke dalam rumah.
Sebenarnya kedua anak tersebut enggan berhenti bermain, mereka masih ingin menikmati angin musim kemarau yang dapat menerbangan pesawat mainan milik mereka lebih tinggi. Akan tetapi sang ibu tidak mau mengambil resiko berlebih, lebih baik menggiring kedua anaknya ke dalam daripada mereka terkena gangguan sesak napas.
"Mom," panggil anaknya yang berkelamin perempuan sambil memasang mimik tak rela, "Mainanku tertinggal di luar," dia ingin beranjak, namun lengannya tak dilepaskan oleh sang ibu.
Dia mendongak, memandang iris biru terang ibunya, ibunya seakan mengatakan tidak hanya dari sorot mata. Dia beringsut, mencoba melepaskan tangan ibunya, dan berjalan lesu ke sofa.
Sang ibu menghela napas, lalu memandang anaknya yang satu lagi, "Mainanmu tertinggal juga di luar?"
Anak itu menggeleng, kemudian mengangkat sebelah tangannya, berusaha menunjukkan bahwa mainannya sudah terselamatkan.
"Ok," ujar sang ibu, "Tunggu di sini, aku akan mengambilkan mainanmu, Al, dan kau El, duduk di sana. Jangan berbuat gaduh. Mommy hanya sebentar."
Lantas wanita itu meninggalkan kedua anaknya yang masih berusia enam tahun itu di ruang tamu.
Dia melangkah ke luar rumah sambil sesekali menyelipkan helai rambut pirang platinanya yang terbang tertiup angin. Berjarak 15 meter dari pintu rumah, dia mendapati mainan gadis kecilnya tergeletak di tanah.
Wanita itu mengambilnya, meniup debu-debu yang menempel di pesawat mainan itu, lantas mendongak ke atas menelisik angkasa. Otaknya berusaha menerka cuaca, karena jika siang hari angin kencang seperti ini, malam hari mungkin angin akan bertiup lebih kencang lagi.
"Sebaiknya aku menutup pintu, dan jendela mulai dari sekarang," gumamnya pada diri sendiri.
Firasat buruk cepat merasuk di dalam hatinya. Entah kenapa dia merasa akan ada hal buruk yang terjadi. Dia bergegas menuju rumah, berjalan cepat sambil menoleh ke sana kemari seakan ingin memastikan bahwa apa yang dirasakannya saat ini hanyalah isapan jempol belaka. Andai dia tahu, bahwa bahaya besar sedang merangkak ke arahnya, dia akan memilih pergi, menggeret kedua anaknya jauh-jauh dari Utah.
***
Benar saja, angin bertiup makin kencang ketika malam datang. Tiada orang yang sudi ke luar rumah hanya untuk sekadar menengok keadaan. Lengkungan atap rumah bergoyang semakin kencang, dan meninggalkan bunyi berderit-derit yang menulikan.
Wanita itu sesekali membuka gorden rumahnya, mengecek keadaan di luar sana. Suasana sepi menghiasi pandangannya. Para penduduk sekitar seolah lenyap ditelan kegelapan. Dia bergidik saat merasakan angin dingin menyapa kulit putih pucatnya kemudian bergegas menuju kamar si kembar.
Retinanya menangkap kedua sosok bocah kecil itu sedang tertelungkup di atas kasur, memainkan alat tulis, dan buku gambar mereka.
"Kalian belum tidur?" tanya wanita itu seraya melangkah menuju kasur, dan duduk di samping El. Dia membelai lembut pucuk rambut pria kecilnya, merasakan kehalusan helai demi helai.
"Belum. Al mengajakku menggambar, namun dia hanya mengoleskan tinta merah di tiap kertas," El mendengus seraya merajuk, namun jemari kecilnya secara lantang menunjuk gadis kecil yang menelungkup di sampingnya.
Merasa diperhatikan, Al menoleh, menatap heran lalu membuang muka, dan melanjutkan aksinya kembali. Dia seolah malas meladeni kembarannya. Sedikit demi sedikit kertas yang awalnya kosong kini telah terisi warna merah gelap. Dia menyeringai saat menatap hasil karyanya lalu mengangkat kertas itu ke depan muka sang ibu, "Lihat, Mom," serunya sambil tersenyum polos, "Aku suka warna merah seperti ini. Bagai semburan hujan darah!" lanjutnya kemudian kembali mewarnai kertas itu lagi tanpa mempedulikan tatapan heran ibu dan adik kembarnya.
Saat wanita itu merasa bahwa jam tidur si kembar telah tiba, dia lalu mengambil pensil warna di tangan Al dan El, "Ok, waktunya tidur," lalu menaruh benda itu di atas meja belajar. El langsung mengambil ancang-ancang dengan berbaring sempurna memeluk guling, namun Al seperti hendak memprotes, dia masih ingin menggambar!
"Tidak, Al. Lanjutkan besok," dia berjalan menuju pintu lantas menekan saklar lampu--mematikan penerangan, "Ok, Babies, good night."
***
Kini keadaan rumah itu benar-benar sunyi. Hanya terdengar suara napas saling bertalu, dan suara kertas dibolak-balik secara perlahan. Wanita bersurai pirang platina itu sedang duduk di ruang tamu seorang diri, membaca novel historical kegemarannya. Matanya terfokus pada tiap bait tulisan. Kadang, kedua alisnya menyatu saat mendapati adegan demi adegan yang mengguncang jiwa. Dia seolah tenggelam dalam kehidupan fiksi para tokoh dalam novel itu, dan tiba-tiba saja dia tersentak, bangun dari duduknya.
Keributan di luar sana, menjadi sebuah alasan. Dia mengendap ke arah jendela, membuka gorden sedikit lalu mengintip keadaan.
"Astaga!" Dia terkejut. Menutup mulutnya dengan telapak tangan.
Di luar sana, beberapa orang bersenjata sedang berdiri. Mereka menatap ke arah perumahan warga. Tatapan mereka terkesan lapar, kejam, dan penuh aura membunuh.
Wanita itu sampai harus mundur selangkah demi menenangkan deru jantungnya yang tak normal. Dia bergegas, mendorong beberapa kursi di ruang tamu itu untuk membuat perlindungan.
Teriakan para warga, dan bunyi desingan peluru membahana, mengusik malam, dan memecah keheningan.
Dia tampak ketakutan nan gemetar. Keringat dingin membasahi pelipis, dan mengalir turun ke pipinya. Suasana di luar makin mencekam kala kobaran api menari-nari, dan warna jingga memenuhi pandangan.
Dia berlari menuju kamar si kembar dengan tergesa, sesekali kakinya saling terantuk, dan hampir terjerembab mencium lantai.
"Ruiel, Alewndra, bangun," serunya, mengguncang-guncang bahu mereka.
Kedua anaknya menggeliat, tampak malas karena baru terpejam selama satu jam.
Tidak ada cara lain, dia menggendong El menuju pojok ruangan yang tertutup lemari. Keadaan gelap tampak menyamarkan pojok ruangan itu, seolah tak terlihat. Kemudian dia mendudukkan El di sana, "Tetap di sini, El! Jangan ke mana-mana apa pun yang terjadi."
Pria kecil itu sebenarnya bingung, namun dia mengangguk seakan mengerti.
Lantas wanita itu melakukan hal yang sama kepada gadis kecilnya, "Jaga Al. Ingat pesan Mommy, jangan keluar apa pun yang terjadi," peringatnya sekali lagi.
Saat dia ingin beranjak pergi, dia sempat melihat pria kecilnya memeluk gadis kecilnya dengan erat seolah enggan melepas. Hatinya teriris, namun tekad untuk melindungi sang buah hati begitu besar, "Mommy akan menjaga kalian," selangkah demi selangkah dia ke luar dari kamar tersebut. Berbagai kilasan akan kebersamaan mereka tampak seperti roll film yang diputar ulang, "Mommy janji."
***
Dia meratap dalam tidurnya, memanggil-manggil sebuah nama yang sudah 10 tahun tak pernah terlupakan. Sebuah nama yang sangat berarti, sebuah nama yang memiliki peran penting, sebuah nama yang membuatnya hidup sampai sekarang, "Sheridan, Mom, Sheridan, Mom."
Suara tepukan tangan tertangkap oleh indra pendengarannya, namun matanya menolak membuka. Dia sadar namun tak sadar. Dia tahu seolah tak tahu. Dia seakan dibawa ke alam lain, ke alam masa lalu. Sekuat tenaga, dia memaksa kelopak matanya terbuka, pandangannya mengabur, hanya ada putih, putih dan putih, sampai sebuah suara familiar menyadarkannya.
"Akhirnya kau bangun juga, aku merindukanmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Fighters (Not The End of)
AçãoTEN' SERIES "Ayo kita buat jantung mereka semua berhenti berdetak." "Muncratkan semua darah yang ada di tubuh mereka." Silakan baca Adventure of Hell Town terlebih dahulu, siapa tahu bersinggungan 22 Feb 2016 Cover by NINO ADIKIA