Part 1

77 5 0
                                    

"Lina, kau mau coklat?" Tawarku sambil mendekatinya. Lina menoleh ke arahku. Seperti biasa, tatapan matanya kosong, menandakan dia tidak tertarik. Tapi, jawaban lain yang keluar dari mulutnya. "Boleh." Balasnya lirih, lalu beralih memandang taman yang dipenuhi oleh anak-anak yang sedang bermain dengan riangnya.

Aku menghela nafas, menggaruk kepalaku yang tidak terasa gatal sama sekali dan malah dibuat bingung lagi olehnya. Sudah tiga bulan berlalu, tapi tampaknya tak ada tanda-tanda Lina akan kembali seperti yang dulu. Lina yang cerewet, ceria, menyenangkan. Lina sahabat yang aku sukai.

Lina memang menyukai coklat. Dulu, jika pergi ke sebuah toko makanan, Lina pasti membeli coklat. Bahkan seringkali ia memaksaku mentraktirnya. Sebanyak apapun jumlah coklat yang ia minta, selalu kubelikan. Namun kini berbeda. Sejak kejadian tiga bulan yang lalu, dia berubah menjadi Lina yang tidak aku kenal, Lina yang selalu memiliki tatapan kosong dan wajah yang selalu datar. Tak ada senyuman.

"Makan coklatnya, Lin!" Kataku sambil menunjukkan coklat itu di hadapannya. Seperti dugaanku, wajahnya tetap datar dan tidak sedikitpun menunjukkan bahwa Lina menginginkan coklat itu. Tapi, dia tetap mengambil coklat itu dari tanganku. "Terima kasih." Katanya. Dia hanya memegang coklat itu tanpa memakannya, masih terpaku melihat pemandangan anak-anak kecil di depan sana. Aku memperhatikan wajahnya. Sepertinya dia sedang mengingat kenangan sebelum tiga bulan yang lalu, ketika bermain bersamaku di taman ini. Aku juga bisa mengingat betapa bahagianya kita dahulu. Aku sudah bersahabat dengan Lina sejak kecil. Sejak keluargaku pindah ke daerah ini dan tinggal persis di sebelah rumah keluarga Darmawan, alias keluarga Lina.

"Adik kecil, kemari!" Teriak Lina. Aku cukup kaget mendengar suaranya. Aku tercengang melihatnya tersenyum, tapi tetap, itu hanyalah senyuman yang dipaksakan. Anak kecil perempuan yang merasa dipanggil itu segera menghampiri Lina, bersama seorang temannya. Tunggu, bukan. Aku rasa itu kakak dari anak kecil yang dipanggil oleh Lina. Apa yang akan Lina lakukan?

"Kau mau coklat?" Tanya Lina kepada gadis kecil itu dan gadis kecil itu mengangguk, lalu menerima coklat dari Lina dan langsung memakannya. "Heh! Gina, kau harus mengucapkan terima kasih kepada kakak ini!" Kata anak kecil laki-laki disebelahnya. Aku bisa melihat Lina tersentak lalu menutup mulutnya dengan telapak tangannya. Pemandangan ini, persis sepertiku dulu jika sedang memarahinya.

Anak laki-laki itu terus mendesak adiknya dan Lina mulai tidak bisa menahan air matanya. "Gina, kau membuat kakak ini menangis. Cepat minta maaf!" Ucap anak laki-laki itu. "Kakak, maafkan aku. Terima kasih juga untuk coklatnya. Ini enak sekali. Kakak jangan menangis! Ayo kak tersenyumlah!" Ucap gadis kecil yang bernama Gina itu. Lina tidak mengatakan sesuatu, tetapi dia langsung pergi menjauh.

"Lina!" Teriakku, tetapi sama sekali tidak digubrisnya. Kedua anak kecil yang ada di hadapanku memasang tampang bingung. "Adik-adik, kakak tadi sedang bersedih. Dia menangis bukan karena kalian. Mengerti?" Tanyaku sambil tersenyum lalu disambut anggukan oleh mereka berdua. Aku pun pergi dan meninggalkan mereka berdua, bermaksud mengejar Lina. Aku sudah tau tempat yang biasa ia datangi.

Aku menemukan Lina meringkuk di bawah pohon dekat danau besar yang dulu terdapat ayunan dari sebuah ban mobil yang diikatkan dengan tali, dibuat oleh kita berdua, yang menjadi tempat yang paling sering didatangi olehku dan Lina dulu. Aku menyentuh bahunya. Dia menunjukkan wajahnya yang tertunduk dan kini sarat akan kesedihan. "Dia... Dia mirip sekali denganmu." Aku tahu yang dimaksud Lina adalah anak kecil yang tadi. Tangisnya semakin menjadi. Aku mengusap pipinya yang penuh dengan air mata. Jika sudah begini, aku tidak tahu apa yang harus aku lalukan. Kubiarkan dia menangis sepuas yang ia mau seraya kubelai rambut panjangnya. Tidak banyak membantu memang, tapi hanya ini yang bisa aku lakukan saat ini.

To be continue


*di multimedia itu Lina Darmawan yaa

Seulas Saja Sudah Cukup (Greyson Chance Sad Short Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang