Aku berbaring di kasurku sambil memegang sepatu roda yang sering kugunakan dulu jika pergi ke sekolah bersana Lina. Aku menghela nafas. Kenangan itu berputar kembali di kepalaku. Kenangan yang membuat Lina menjadi seperti ini, kecelakaan tragis itu. Jujur, aku juga tidak mengerti mengapa harus seperti ini. Tidak tahan, aku melempar sepatu itu dan segera keluar kamar. Hari ini aku harus mengajak Lina jalan-jalan. Membuat Lina tersenyum dan tertawa bahagia seperti dulu. Sesulit apapun itu, aku akan tetap mencobanya.
Sudah satu jam lebih aku dan Lina mengitari pusat perbelanjaan ini. Sebenarnya aku tau Lina lelah, tetapi aku bersikeras ingin mengelilingi tempat ini. Jadi terpaksa dia mengikutiku kemana pun aku pergi. Apalagi keadaannya seperti ini, antara sadar dan masih terpaku pada masa lalu. Aku takut dia melakukan hal-hal yang, ah, aku sendiri tak berani membayangkannya.
Kita berhenti mengelilingi tempat ini saat melewati toko alat olahraga. Matanya terpaku pada salah satu sepatu roda yang di pajang di bagian depan toko itu. Wah, ini gawat. Kulihat wajahnya kembali memperlihatkan kesedihan. "Kau kenapa?" Tanyaku. Hatiku berdebar menanti jawabannya. Lina menatapku dengan mata yang sudah berkaca-kaca, lalu menggeleng dan kembali menatap sepatu roda itu. "Kau ingat? Dulu aku ingin sekali membeli sepatu roda itu." Gumam Rena sembari menerawang. Aku mendengus kesal. Entah sudah beberapa kali aku menahan kesal seperti ini sejak tiga bulan lalu. "Masalah itu lagi." Gumamku kesal. Lina langsung menoleh ke arahku. Sepertinya dia marah. "Dulu memang aku ingin membeli sepatu ini Grey. Kau tak ingat?" Tanyanya. "Tentu saja aku ingat. Sangat ingat. Tapi sadarlah Lina! Kau tidak boleh seperti ini terus! Kita tak akan bisa seperti dulu lagi. Lupakan saja kenangan itu. Kumohon, lebih baik kita mulai hal yang baru, Lin." Balasku dengan nada tertahan. Lina tersentak mendengar perkataanku. Seketika air mata menggenang di pelupuk matanya. Aku benci suasana ini. Aku memeluknya. "Grey, lepaskan aku!" Pintanya lirih. Aku melepaskan pelukanku. Lina menunduk dan berusaha menghapus air matanya sendiri. "Lin?" Aku menggerakkan tanganku hendak mengusap pipinya juga, namun dia menepisnya pelan. Aku menghela nafas. "Lina, mau sampai kapan kau terus begini? Apa kau pikir dengan sikapmu yang seperti ini dapat mengembalikan keadaan seperti dulu?" Tanyaku lembut. "Jangan berkata seolah kau tidak merasakannya Grey." Lina bersuara. "Aku merasakannya. Bahkan lebih dari yang kau tahu." Balasku. "Kau tahu sendiri kan bagaimana kejadiannya? Semua ini salahku!" Lina setengah berteriak. Nafasnya memburu. "Kau aneh Grey! Harusnya aku yang melakukan semua ini padamu. Bukan sebaliknya!" Tambahnya lagi. "Lina, jaga ucapanmu!" Kataku cepat. Lina menggeleng lalu menatapku tajam. "Mengapa kau tidak membenciku, hah? Mengapa kau tetap peduli padaku, Grey? Mengapa?" Lina mulai kehilangan kendali emosinya. Aku mengepal tanganku, sudah tidak tahan dengan sikapnya. Aku sudah mendengar ribuan kali dan biasanya reaksiku hanya diam. Tapi kali ini tidak.
"Aku memang tidak akan pernah mengerti perasaanmu, Lina. Tapi aku mulai mengerti sekarang bahwa ternyata kau tidak menyayangiku. Meskipun aku yang merasakan sakit, tapi satu hal yang harus kau sadari. Kenapa aku rela mengorbankan diriku dan kehilangan kakiku untuk menyelamatkanmu?!" Lina terdiam. "Karena aku menyayangimu, Lina. Aku tak ingin kau terluka. Aku ingin kau tersenyum. Aku ingin kau bahagia. Jika sikapmu yang sekarang ini adalah caramu membalas apa yang telah aku lakukan untukmu, aku rasa sia-sia saja aku mengorbankan kakiku." Jelasku setengah emosi, kuberpaling dan kudorong kembali kursi roda yang sudah kugunakan selama tiga bulan ini lalu pergi meninggalkan Lina.
Ya, kakiku lumpuh karena kejadian dua minggu lalu saat hendak menolong Lina yang ingin menyebrang. Aku tertabrak mobil yang menerobos lampu lalu lintas.
Aku pulang ke rumahku, masuk ke kamarku dan merebahkan tubuhku di kasur. Satu jam kemudian terdengar suara ketukan di pintu kamarku. "Greyson kau di dalam?" itu ibuku. "Ya, bu. Kenapa?" Tanyaku dari dalam. "Ini ada Lina. Dia datang untuk menemuimu. Hah? Tidak salah? "Ya, ya bu. Biarkan dia masuk." Pintaku seraya duduk bersandar di kasurku. Ibuku pun membukakan pintu kamarku lalu Lina langsung berlari ke arahku. "Grey maafkan aku!" Dia menangis lagi. "Lina,,, " belom sempat aku selesai bicara dia sudah memotong, ",,, seharusnya aku tidak seperti ini. Seharusnya aku yang menyemangatimu. Bukan kau, Greyson. Maafkan aku karena telah menjadi Lina yang bodoh." Aku kaget sekaligus senang melihatnya seperti ini karena mungkin setelah ini dia akan kembali seperti Lina yang dulu. Ibuku yang melihatku dan Lina seperti ini ikut terisak di ambang pintu. "Ayolah ibu! Kau jangan ikut menangis. Lihat aku! Aku tetap ceria kan? Aku masih bisa berjalan walapun menggunakan kursi roda. Aku masih bisa sekolah." Lina menangis semakin menjadi karena kalimatku tadi. Aduh salah lagi, batinku. Ibuku lalu tersenyum lebar walaupun dengan wajah penuh dengan air mata. "Ibu akan membuatkan sup untukmu dan Lina ya?" Kata ibuku. Aku hanya tersenyum dan mengangguk.
Lina masih terisak di hadapanku. "Sudahlah, Lin. Semua ini bukan salahmu. Ini sudah takdir. Aku lebih bahagia karena melihatmu masih bisa berjalan. Tidak sepertiku. Coba saja jika aku tidak sempat menyelamatkanmu saat itu. Mungkin aku akan lebih sedih lagi darimu." Kataku seraya menenangkannya. Dia tetap menangis. "Lin, kumohong berhenti menangis. Sungguh, aku tidak apa-apa. Ayo senyum, Lin! Seulas saja sudah cukup." Tambahku. Perlahan Lina pun berhenti menangis dan terukir senyuman yang mungkin tulus dari bibirnya. "Nah gitu dong. Kan jadi cantik lagi kamu, Lin." Pujiku. Senyumnya pun melebar dan tertawa kecil. "Tunggu, Lin! Aku ingin ke kamar mandi dulu. Jangan kemana-mana ya!" Pintaku, lalu dia mengangguk seraya tersenyum kecil.
Lina memperhatikan Greyson yang berusaha susah payah meraih kursi roda dan duduk diatasnya. Air mata Lina kembali mengalir. Lina tak sanggup melihat ini. Greyson pun masuk ke kamar mandi. Pintu tertutup. Lina manangis sejadi-jadinya di kamar Greyson tanpa bersuara dan ia berkomitmen, ia tak akan pernah meninggalkan Greyson dan akan selalu tersenyum untuknya.
The end
Vote sama komen nya jangan lupa:))
![](https://img.wattpad.com/cover/63811566-288-k156461.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Seulas Saja Sudah Cukup (Greyson Chance Sad Short Story)
Novela JuvenilBaik atau buruk, siapa yang tahu? Nyata atau khayalan, siapa yang tahu? Nasib tak selalu cocok dengan pilihan. Tragedi dan masalah selalu mengikuti dari belakang. Menyayat, bahkan memeras air mata. Terkadang jauh dari yang diharapkan. Diharapkan? Be...