Aaron
Laki-laki yang membuat Aleesha selalu merasa penasaran dan berhasil membuatnya gugup. Kemarin sikapnya tiba-tiba berubah, lalu tadi, ia tersenyum manis dan dengan ramahnya memperkenalkan dirinya sendiri.
Aaron...
Aaron...
Aaron...
Bahkan namanya selalu berputar di fikirannya. Senyumnya. Dan caranya berbicara. Like irish accent. Jika saja bukan di sebuah masjid yang agak sepi, ia mungkin saja dikira sudah gila, stres, atau tekanan batin. Dan adzan isya menyadarkannya dari lamunan manis tentang pemuda yang baru saja ia kenal. Ia yang sedari tadi duduk di sisi kanan teras masjid, langsung bangkit begitu adzan sudah berkumandang.
Ia memang sengaja singgah sebentar di masjid ini. Ia begitu rindu shalat berjama'ah. Semenjak ia menginjakkan kakinya di tanah kelahiran ibunya, ia tak pernah lagi mendengar merdunya suara imam yang membacakan ayat suci Al-Quran setelah surah Al-Fatihah. Selesai shalat, ia berdzikir. Mengucap nama Allah yang Maha Satu. Mensucikan nama-Nya yang Maha Tinggi, lagi Maha Suci.
Setelah shalat berjama'ah selesai, ia melipat mukenahnya yang selalu dibawa di tasnya. Memasukkannya ke dalam tas jinjing berbahan kulit berwarna hitam yang ia bawa. Lalu mulai beranjak. Ia melihat perempuan yang tadi shalat di sampingnya yang tersenyum ramah kepadanya lalu berbalik badan. Ia keluar dari pintu utama masjid di sebelah kanan. Khusus untuk perempuan.
Langkahnya terhenti saat melihat begitu banyaknya laki-laki yang ikut shalat berjama'ah tadi. Pakaian mereka berbeda-beda. Ada yang memakai baju muslim berwarna putih, ada juga yang nampaknya pemuda kantoran, ada yang memakai jaket dan dalaman kaus, and then, anak berseragam sekolah. Salah satu anak berseragam sekolah itu menoleh saat ia sadari ada yang memperhatikannya sedari tadi.
"Assalammu'alaikum, hai nona, apakah Anda butuh bantuan?"
Dengan senyum manisnya, ia menawarkannya bantuan. Tidak seperti yang ada dalam bayangannya selama ini. Tentang orang-orang Barat yang bergaya hidup bebas dan ia pikir tak akan seramah ini dengan orang yang bahkan belum ia kenal. Aleesha membalasnya dengan senyum yang manis pula. Lalu, menggelang pelan.
"Wa'alaikum salam, tidak, saya hanya merasa kagum dan sedikit tertarik dengan kalian. Berseragam sekolah.... Ini kan sudah malam. Apa kalian selalu pulang sekolah semalam ini?", tanya Aleesha.
"Oh tidak, nona. Kami baru hari ini saja pulang sekolah selambat ini. Sebenarnya, kami sudah pulang tadi sore. Namun, kami ada kegiatan dalam organisasi bela diri taekwondo. Dan pasti setelah latihan , kami harus mengganti pakaian kami. Hari ini, kami dilantik untuk mendapatkan sabuk di tingkat yang lebih tinggi lagi. Dan apa anda tau, selangkah lagi, kami akan mendapatkan sabuk tertinggi, sabuk hitam...."
Ucapannya terhenti saat seorang temannya yang berseragam sekolah sama sepertinya menepuk pundaknya.
"Hey, Musa! Apa yang kau lakukan, bro?"
"Tidak, guys. Aku barusan sedang menawarkan bantuanku kepada nona ini, karena kukira ia butuh bantuanku. Namun, ia malah bertanya mengapa kita masih berseragam sekolah sampai semalam ini. Ya, jadi kuceritakan saja padanya.", ujarnya pada ketiga temannya yang sedari tadi memeluk pundaknya.
"Eh, ehmmm iya... Maaf telah mengganggu dan menyita waktu kalian."
"Tak apa, nona. Anda pulang sendiri?"
"Emm... Begitulah. Kebetulan juga apartementku tak jauh dari sini. Kalian?", sambil mengarahkan pandangannya kepada anak-anak di hadapannya ini.
"Tidak. Kami akan dijemput paman kami. Oh ya, nama saya Musa , yang ini David dan yang ini Zakaria. Anda sendiri?", terangnya sambil menunjuk ke arah teman-temannya satu per satu.
YOU ARE READING
Orlin
Teen FictionSeorang gadis muslim bernama Aleesha Orlin yang mendapat beasiswa untuk menimba ilmu di negeri impiannya, Inggris. Di sanalah awal kisahnya dengan seorang pemuda bernama Aaron William Ezekiel, seorang yang membenci Islam karena masa lalunya dan perg...