Mata Uang [1/1]

572 39 3
                                    

Namanya Diandra. Ceria, aktif di kegiatan OSIS, cantik, pintar, dan baik. Siswi paling rajin di kelas 9-3.

Namanya Reza. Ganteng, tim utama futsal, kurang menonjol, tidak suka menjadi pusat perhatian. Siswa paling pendiam di kelas 9-3.

Bagaikan dua sisi mata uang. Selalu bertolak belakang.

Diandra akan datang untuk mengikuti berbagai kegiatan setiap harinya. Orkestra, paduan suara, OSIS, band, dance. Mengasah bakat dan hobi, katanya. Membuatnya kadang lupa diri dan jatuh sakit karena kelelahan.

Reza akan datang ke sekolah selain jam pelajaran hanya untuk bermain basket. Basket adalah hidupnya, katanya. Membuatnya kadang lupa waktu dan terlambat pulang sekolah.

Mereka sering bertemu. Di kelas, di sekolah, di jalan, bahkan di arena basket. Mereka akan pura-pura tidak melihat. Ya, pura-pura. Karena Reza selalu menangkap sosoknya di sudut pandangan. Karena Diandra selalu mencarinya dalam ujung mata.

Kadang mereka berbicara. Beberapa kata dari Diandra yang membuat hari Reza begitu cerah. Sepatah dua patah kata dari Reza yang membuat hari Diandra begitu cerah. Hal-hal kecil di antara mereka.

Kadang orang merasa iri. Iri kepada Diandra karena punya seorang Reza yang selalu memandangnya walau di tengah pertandingan. Seorang Reza yang selalu menjaganya walau dari kejauhan.

Kadang orang merasa iri. Iri kepada Reza yang punya seorang Diandra yang selalu memandangnya lekat dari kejauhan. Seorang Diandra yang selalu dipihaknya walau diam-diam.

Tapi mereka tak pernah sadar. Mereka mempertahankan diri, menyimpan rahasia kecil antara mereka dan Tuhan. Bagaimana Reza tak pernah menyadari perasaan Diandra. Bagaimana Diandra tak pernah menyadari perasaan Reza.

Mereka hanya mengejar. Saling mengejar tanpa saling mengetahui perasaan. Saling mengejar walau hanya berputar di tempat. Membuat dunia mereka sendiri.

Diandra tak pernah berani. Reza tak pernah berani. Tak ada yang pernah berani menghubungkan keduanya. Karena keduanya selalu menyangkal, menyangkal perasaan yang lain.

Kadang mereka cemburu. Cemburu, walau bukan siapa-siapa. Menorehkan luka yang seharusnya takkan pernah ada jika mereka berani.

Hari itu, mereka bertemu. Di sebuah taman, pertemuan yang disengaja. Diandra datang, cantik dan buru-buru karena takut Reza menunggu. Reza datang, simpel dan datang cepat karena takut Diandra menunggu.

Berdua. Duduk bersebelahan. Saling mencintai. Tapi tidak saling mengungkapkan.

Berbicara seakan mereka teman biasa. Diterpa sejuknya angin, ditemani embun pagi.

"Senang ya, udah lulus."

Diandra, tak bisa menutupi perasaan lebih lama. Mereka akan berpisah. Mungkin mereka takkan bisa bertemu lagi. Mungkin mereka takkan pernah sedekat ini lagi.

"Ya, seneng, sih. Walau harus ninggal temen." Perlahan, pandangan Diandra jatuh ke manik Reza. Reza yang selalu diharapkannya. "Mungkin aku lanjut ke luar kota."

Reza, tak bisa menutupi perasaan lebih lama. Mereka akan berpisah. Mungkin mereka takkan bisa bertemu lagi. Mungkin mereka takkan pernah sedekat ini lagi.

Tapi mereka tak memutuskan mengakhiri siksaan mereka.

Hari itu juga, mereka berpisah. Menyimpan dalam semua perasaan dan harapan yang sebenarnya telah terwujud. Meninggalkan semua usaha yang sebenarnya sudah berhasil.

Bagaikan dua sisi mata uang. Selalu bertolak belakang. Tapi, diam-diam juga selalu bersama, merindukan sisi yang lain.

Dimana mereka, selalu saling mencintai tanpa pernah saling mengetahui.

JarakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang