Bagian 2 - End

917 108 8
                                    

Aku menaiki gedung kosong berlantai 5 itu melalui tangga. Pukul 8 malam, ah, lebih sedikit. Wonwoo memberitahuku untuk datang ke sini, sendirian. Dia bilang ada yang harus diselesaikan denganku. Dan aku pun mengiyakannya.

Dia ingin aku menyelesaikan masalah, aku juga.

Dia memintaku datang sendiri, aku menyanggupi.

Tak ada yang perlu ditakutkan. Tak ada...

"Kau sudah datang?" Wonwoo menyapaku dengan ramah ketika aku sudah sampai di atap gedung, lantai 5, seperti yang ia mau. Aku mengangguk.

Cowok bertubuh jangkung itu duduk disebuah bangku reyot yang nyaris patah.

"Kau sendirian?" ia kembali bertanya tanpa beranjak. Aku mengangguk.

"Kau ingin aku datang sendiri, aku datang sendiri," jawabku, tenang.

Woonwoo kembali tersenyum, tanpa melepaskan pandangannya dariku.

"Kau tak takut padaku?" Ia bertanya lagi. Aku tersenyum.

Dan aku yang berinisiatif mendekatinya.

"Kenapa harus takut? Kau 'kan orang baik," jawabku.

Aku sempat melirik sekelilingku untuk melihat situasi dan kondisi atap gedung tersebut, sebelum melemparkan senyum lagi ke arah Wonwoo.

Wonwoo terkekeh. Ia bangkit dan melangkah mendekatiku. Dan tanpa kuduga, ia mengeluarkan sebuah pisau dari balik jaketnya, menodongkannya ke leherku, lalu mendorongku ke arah dinding.

Lelaki beralis tebal itu tersenyum puas.

"Kau pikir aku bodoh? Aku tahu kamu hanya pura-pura. Senyummu palsu, sikap baikmu juga palsu," ia mendekatkan mata pisau lebih dekat ke leherku.

Dan aku merasakannya.

Perih.

Sialan, pisau itu pasti menggores leherku!

"Aku sudah tak punya ide lagi selain ini. jika aku tak bisa mendapatkanmu, maka tak seorangpun yang boleh mendapatkanmu. Jadi, akan lebih baik lagi jika ... kita mati bersama-sama," ia mendesis, licik.

Dan aku kembali merasakan rasa perih di leherku.

"Kamu sakit jiwa," desisku.

Wonwoo terkikik.

"Terima kasih," ucapnya, bangga.

Aku terkekeh.

"Dan aku menolak mati di tangan orang gila!" Aku meraih tangan Wonwoo yang terulur ke leherku, menggigitnya kuat-kuat, dan setelah pisau ditangannya terjatuh, dengan sekuat tenaga aku membenturkan keningku ke wajah Wonwoo. Lelaki itu mengaduh kesakitan. Ia memegangi mulutnya sambil mengumpat. Aku yakin telah berhasil merontokkan gigi depannya!

Aku pernah ikut taekwondo ketika masih es-em-a. Dan aku yakin aku bisa membela diri dari cowok sialan ini!

Dan tanpa membiarkan Wonwoo pulih dari sakitnya, aku menendang perutnya dengan sekuat tenaga. Cowok itu terjatuh, mengaduh lagi. Tanpa menunggu lama, aku meraih kayu yang berada di bawah bangku rusak yang tadi ia duduki – dan yang telah ku amati sejak aku sampai di atap ini – lalu memukulkan balok kayu itu ke kepala Wonwoo dengan sekeras-kerasnya!

Cowok itu menjerit kesakitan. Kepalanya berlumuran darah. Dan sesaat kemudian, ia diam tak bergerak. Aku menata nafasku yang naik turun, dan terduduk lemas.

***

Keesokan harinya, Mingyu sudah siuman. Dokter bilang ia sudah melewati masa kritis. Aku menarik nafas lega, begitu pula dengan Yuri. Aku juga bersyukur karena ia tak mengalami patah tulang.

"Lehermu kenapa?" Yuri bertanya sambil menunjuk leherku yang dibalut perban. Perban itu memang tidak terlihat mencolok karena hanya menutup luka goresku dan hari itupun aku sengaja mengenakan baju dengan kerah agak tinggi. Wajar jika Yuri baru menyadarinya.

Aku tersenyum dan menggeleng.

"Tak apa-apa. Cuma tergores kawat berduri saja," jawabku.

"Kok bisa?"

"Iya, kawat berduri di belakang rumah tuh. Bolanya adikku terlempar ke halaman belakang tetangga, jadi aku harus merayap dan melewati kawat berduri untuk mengambilnya," jawabku.

"Untung tak kena mukamu yang mulus," ujar Yuri lagi. Aku tersenyum. Adikku memang sering bermain bola. Dan seperti biasa, dia memang sering membuat bolanya melayang ke halaman rumah atau perkebunan tetangga. Dan aku memang biasa merayap melewati pagar berduri di sekitar rumahku untuk membantu mengambilkannya. Jadi, memang sudah sewajarnyalah Yuri tak curiga.

"Oh iya, kau sudah lihat berita?" Yuri menambahkan. Aku mengangkat bahu.

"Hari ini aku tak sempat nonton tivi. Ada apa?" Aku balik bertanya.

"Jadi kau tak tahu kabar itu?" Yuri nampak kaget. Aku menggeleng.

"Kau ingat Wonwoo?"

"Namja tak waras yang ngejar-ngejar aku itu 'kan?" jawabku. Yuri mengangguk.

"Dia bunuh diri," ucapnya. Aku melotot.

"Hah? Bunuh diri?"

Sahabat baikku itu mengangguk.

"Dia terjun dari lantai 5 dari sebuah gedung kosong di pinggir kota,"

"Jinjja??!" Aku kembali berteriak kaget. Yuri manggut-manggut.

"Kenapa dia begitu nekat? Memang kenapa dia bunuh diri?" Aku tak berhenti berpura-pura kaget.

Yuri mengangkat bahu.

"Mungkin sakit hati karena cintanya kau tolak. Tapi kata polisi, belum diketahui motifnya. Yang jelas, berdasarkan bukti-bukti di TKP, polisi menyimpulkan kalau pemuda itu bunuh diri," Yuri kembali menjelaskan. Aku manggut-manggut.

"Kasian sekali," gumamku.

"Yaa, itu sudah takdirnya mungkin. Lagipula, sekarang kau bisa tenang karena tak ada lagi yang menguntitmu,"

Aku manggut-manggut.

Tidak, Wonwoo tidak bunuh diri.

Aku yang mendorong tubuhnya dari lantai 5 ketika namja itu tak sadarkan diri. Aku terpaksa melakukannya. Sungguh.

Dan, Yuri tak perlu tahu yang sebenarnya.

Ia tak perlu tahu apapun.

Tak ada yang boleh tahu.

Wonwoo harus mati karena bunuh diri. Aku tak punya pilihan, aku hanya membela diri.

Well, aku memang berhadapan dengan orang tak waras, tapi aku tidak bodoh.

Bahkan jika Polisi datang menanyaiku, aku sudah menyiapkan alibi yang kuat. Dan barang bukti itu, pisau, balok kayu, tempat kejadian di atap gedung kosong itu, aku sudah membereskannya ...

Selesai

Help!Where stories live. Discover now