Langit sudah diliputi gulita ketika aku turun dari pesawat yang membawaku pulang ke Jakarta. Kulirik sekilas arloji ditanganku, waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Pantas saja Ayu tidak mengangkat telponku. Mungkin istriku itu sudah tertidur.
Seorang supir taksi menawarkan jasanya untuk mengantarku pulang begitu aku tiba di pintu kedatangan. Kuanggukkan kepalaku tanda setuju, lantas menyerahkan koperku kepada bapak itu agar dibawanya menuju taksi.
"Kita mau ke mana, Pak?"
"Kalibata, Pak." Jawabku, lalu menyebutkan kompleks di mana aku tinggal.
Supir taksi itu mengangguk, lantas segera membawa mobil yang kami tumpangi meninggalkan bandara.
Kulirik sekilas tanda pengenal yang biasa diletakkan di kursi depan. Dari situ aku tahu namanya Juhaeri. Kulirik lagi wajahnya, yang membuat otakku dengan cepat menaksir umurnya. Sekitar setengah abad.
"Udah lama narik, Pak?" Iseng aku bertanya.
Pak Juhaeri mengangguk. "Kira-kira dua puluh tahun, lah, Pak."
"Wah, seumuran anak saya yang kedua itu." Candaku, yang hanya ditanggapinya dengan tertawa.
"Yaa alhamdulillah, Pak. Dari narik ini saya bisa menghidupi keluarga saya. Walaupun nggak seberapa, tapi ya... disyukuri saja, lah," ujarnya, lengkap dengan aksen Jawa-nya yang khas. "Hidup itu memang harus disyukuri saja, toh, Pak?"
"Betul, Pak." Aku mengangguk setuju.
"Hidup kita ini kalau mau menuruti nafsu saja ya nggak akan selesai, Pak," ujar Pak Juhaeri. "Nanti pada akhirnya kita semua kan pasti kembali ke yang Di Atas. Betul begitu toh, Pak?"
Mendadak kata-kata yang diucapkannya dengan ringan itu mampu membuat dadaku seperti ditikam sembilu.
Mengapa baru kusadari bahwa kita semua akan kembali?
Apa yang selama ini sedang kucari?
Bagai proyektor teknologi mutakhir, otakku segera memutar kembali kegiatanku akhir-akhir ini. Bekerja siang-malam mencari dana untuk pemilihan yang akan diselenggarakan dua bulan lagi. Pulang-pergi ke pelosok untuk tebar pesona agar nanti terpilih. Kongkalikong dengan pengusaha, menjanjikan agar usaha kotor mereka tidak memasukkan mereka ke dalam bui.
Adrian, apa yang selama ini sedang kau cari?
"Bapak nggak kepingin ganti perusahaan, Pak?" Iseng aku bertanya lagi, mencoba mengusir bayang-bayang mengganggu yang lama-lama merambati dadaku, membuat rasa bersalah tiba-tiba muncul. "Sekarang kan ada taksi online. Saya pernah dengar dua jam aja udah dapat satu setengah juta mereka. Lumayan, Pak, buat nambah biaya sekolah anak-anak."
Masih tersenyum, Pak Juhaeri menjawab, "Nggak, Pak. Banyak manusia yang semakin tinggi penghasilannya, semakin tinggi hatinya. Cukuplah saya kerja sekarang ini. Yang penting bisa untuk makan dan bayar sekolah anak-anak saja."
"Anak-anak bapak nggak minta macam-macam?"
Pak Juhaeri menghela napas. "Terkadang saya juga pingin anak-anak saya seperti teman-temannya, Pak. Tapi ya apa boleh buat? Rejeki memang segini. Pokoknya saya sudah sering bilang ke mereka, yang penting itu bersyukur."
Bersyukur.
Kenapa susah sekali rasanya mengamini?
Segera aku teringat dengan anak-anakku yang mungkin sekarang sedang terlelap di rumah. Kemal, anak pertamaku sedang ngotot ingin kuliah ke Amerika. Sedangkan adiknya, Anggi, baru kemarin memaksaku untuk membelikannya ponsel canggih seperti yang dimiliki teman-temannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ada Cerita di Ibukota
Short StorySiapa bilang kejamnya ibu tiri tak sebanding dengan ibukota? Jakarta, ibukota Indonesia punya cerita menarik di setiap sudutnya. Ada kisah tentang remaja yang sedang dimabuk cinta. Ada kisah tentang para petinggi yang dirudung rasa bersalah. Ada kis...