2. Something

9K 498 21
                                    

Bel istirahat sudah berbunyi sebagian teman-temanku berlarian menuju kantin untuk membeli makanan. Sebagian lagi memilih tetap stay di kelas dan memakan bekal mereka ada juga yang memilih pergi ke perpustakaan untuk membaca buku atau sekedar menyejukkan diri, karena kekuatan AC di perpustakaan sangat besar sehingga ruangan terasa dingin dan nyaman.

Ketika aku tengah merapikan buku-buku ku, tiba-tiba salah satu temanku berteriak..

"Ra, di cari imam lo tuh." Teriak Rendi yang kebetulan tengah berdiri di ambang pintu kelas. Aku terkekeh saat mendengar ucapan Rendi. Imam yang Rendi maksud adalah Syam. Entahlah bagaimana asal mulanya. Namun Rendi sering sekali menyebut Syam sebagai imamku.

"Iyaa.. suruh tunggu sebentar." Teriakku kemudian.

Setelah siap dengan mukenaku, aku segera berjalan menghampiri Syam.

"Kalau gue lihat-lihat, kalian ini lebih kayak pengantin baru ketimbang sahabatan. Ngaku lo, Ra. Diam-diam lo udah nikah kan sama Syam?."

Aku terkekeh. "Ngaco banget."

"Udah deh, nikah aja. Udah cocok kok kalian, iya nggak Syam?."

"Iya Ren, tunggu undangan gue sama Ai ya.." ucap Syam yang membuat Rendi terkekeh.

"Siappp.. di tunggu."

Melihat Syam dan Rendi aku hanya bisa geleng-geleng kepala. Ada-ada saja dua orang ini.

"Udah ah.. buruan mau ke masjid nggak? Keburu jam istirahatnya habis!" Gerutuku.

"Ya udah Ren, kita duluan!." Ucap Syam lalu menarik tas mukenaku menuju masjid.

Sudah menjadi rutinitasku dan Syam setiap kali istirahat pertama adalah sholat dhuha. Setiap itu pula Syam selalu menghampiriku ke kelas. Dan gara-gara hal itu, sering kali aku mendapat nyinyiran dari orang-orang yang menyukai Syam. Menjadi sahabat Syam itu bisa disebut berat, karena selalu saja ada hal-hal yang menggangguku. Awalnya aku benar-benar merasa terganggu. Tapi sekarang sudah terasa biasa saja. Aku jadi teringat percakapanku dengan Syam dulu ketika aku merasa sangat lelah karena terus saja di ganggu oleh orang-orang yang menyukai Syam.

"Tahu nggak sih Syam, kadang aku ngerasa capek jadi sahabat kamu."

Saat itu aku sedang duduk di kursi yang ada di tepi danau bersama Syam untuk menatap senja.

"Kenapa? Aku nyebelin ya? Jangan bikin takut Ai."

Aku menghela nafas, sejujurnya sejauh ini aku tidak pernah memberi tahu Syam jika aku sering mendapat gangguan dari orang-orang yang menyukai Syam. Tapi sekarang rasanya aku sudah lelah dan mungkin sudah saatnya Syam tahu.

Aku menyerahkan ponselku yang menampilkan beberapa direct message di instagramku. Di sana ada beberapa pesan dari orang yang tidak ku kenali. Mereka mengatakan bahwa aku tidak cocok dengan Syam, aku sok kecantikan bahkan ada pula yang mengancamku akan menerorku jika aku tidak menjauh dari Syam. Syam bisa dibilang bintang sekolah, juga artis instagram atau selebgram yang mempunyai banyak sekali followers. Maka dari itu, setiap kali Syam habis memposting foto bersamaku atau aku yang memposting foto bersama Syam, selalu saja ada komentar tidak mengenakkan.

"I-ini serius?."

Aku mengendikkan bahu. "Aku tidak tahu apakah itu serius atau tidak. Tapi menurutku itu cukup keterlaluan dan melelahkan."

"Ini bukan cukup lagi, Ai. Ini sudah keterlaluan banget. Kamu udah berapa lama dapet pesan-pesan kayak gini?."

Aku terdiam, mencoba mengingat. "Cukup lama sih, tapi sejak masuk SMA jadi semakin parah."

Syam melongo mendengar ucapanku. "Berarti sudah lama banget dong??. Kenapa baru bilang sekarang?."

Aku tersenyum. "Ya, awalnya aku berusaha bodo amat sih, toh aku juga enggak ngapa-ngapain. Aku enggak pernah melarang mereka dekat ke kamu. Enggak pernah melarang mereka suka ke kamu. Ya sudah. Tapi ternyata menjadi bodo amat terus menerus itu enggak mudah. Walaupun bibir berucap bodo amat atau enggak peduli, nyatanya hal-hal itu tetap saja mengganggu pikiran. Jadi yah, gitu. Kadang ngerasa capek aja jadi sahabat kamu. Dan enggak hanya sekali aku pernah mikir untuk berhenti jadi sahabat kamu. Tapi rasanya lucu aja, kita deketan dari kita kecil, sudah seperti saudara kandung. Terus gara-gara hal ini tiba-tiba kita jauhan. Aneh kan?."

Syam tampak terdiam menatapku. Tatapannya benar-benar sulit di artikan. "Ai, I didn't know you were having a hard time because of me." Ucap Syam kemudian menundukkan kepalanya.

"Enggak apa-apa Syam, bukan salah kamu."

"I really want to hug you, but I can't." Aku terkekeh mendengar ucapan Syam. Kemudian menjitak kepalanya.

"Jangan aneh-aneh. Nggak boleh peluk-peluk."

Syam mengusap kepala bekas jitakanku. "Ya kan aku bilang nggak bisa peluk, karena sudah pasti kamu enggak akan mau."

"Nah itu tahu.."

Aku tersenyum menatap Syam, pria itu kemudian mengembalikan ponselku sembari berkata. "Kalau ada apa-apa, langsung bilang aku, jangan di pendam sendiri. Kalau ada yang usil juga langsung bilang, pokoknya kamu nggak boleh kenapa-kenapa. Aku nggak akan rela, just remember disini aku ada untuk jaga kamu okay."

Aku tersenyum mengingat percakapan panjangku dengan Syam, sejak saat itu aku tidak begitu peduli lagi dengan omongan orang yang membully ku gara-gara aku dekat dengan Syam.

"Ai ngapain senyum-senyum?" Tanya Syam membuyarkan lamunanku. Aku hanya menggelengkan kepala. Tanpa terasa kita sudah sampai di halaman masjid.

"Ai, nanti kalau balik ke kelas tungguin ya, nanti ketemu di sini lagi." Aku menganggukkan kepalaku, kemudian kita segera berpisah menuju ke dalam masjid.

**

Sepulang sekolah, aku dan Syam mampir ke kedai es krim langganan kita yang ada di dekat komplek rumah kita. Kedai es krim ini sudah ada sejak aku dan Syam duduk di bangku sekolah dasar. Dan sejak saat itu pula kita sering mengunjungi kedai itu. Hingga pemiliknya sampai hafal dengan kita berdua.

"Btw, katanya semalem mau ngasih tahu sesuatu. Siapa penulis yang kamu bilang itu? AR?." Tanya Syam sesaat setelah kita mendapatkan tempat duduk.

"RA Syam. Bukan AR."

"Nah iya itu lah pokoknya. Jadi bagaimana?."

"Sebentar."

Aku mengambil ponselku dan segera membuka blog milik RA. Akan ku perlihatkan kepada Syam betapa mengagumkannya penulis itu. Hampir semua puisi yang dia buat, aku suka.

Syam tampak membaca karya RA sambil sesekali mengangguk-anggukkan kepalanya. Seolah-olah dia adalah seorang juri yang sedang menilai.

"Bagus-bagus tulisannya. Tapi kok kayak enggak asing gitu ya."

"Maksudnya enggak asing?."

"Kayaknya aku pernah lihat, tapi dimana ya? Yang jelas bukan disini. Apa mungkin dia upload di platform lain?."

Aku menggeleng. "Setahu ku, RA cuma upload karyanya di sini."

"Oh iya? Mungkin aku salah kali ya." Ucap Syam dan aku hanya mengendikkan bahuku dan memilih untuk menikmati es krimku sebelum mencair.

"Oh iya Ai." Ucap Syam yang seketika membuatku mengangkat kepala dan menatapnya.

"Apa?."

"Kamu pernah suka sama aku, enggak?."

Mendengar pertanyaan Syam seketika aku tersedak. Pertanyaan macam apa itu, mengapa dia tiba-tiba menanyakan hal yang sangat random.

"Tiba-tiba?."

"Penasaran aja sih. Tapi nggak apa-apa, kamu enggak harus jawab dan kayaknya lebih baik kamu enggak usah jawab saja deh."

Aku terkekeh mendengar ucapan Syam.

"Kamu kenapa sih?. Aneh banget."

Syam tidak menajawab. Ia hanya menggaruk lehernya yang tidak gatal.

"Sudah-sudah. Enggak usah dipikirin."

***

Hati Yang Bicara [DREAME]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang