JJU

117 9 5
                                    

Menjadi salah satu dari yang menerima kenyataan bahwa seseorang tengah dengan iseng- bisa dibilang begitu- mengirim surat entah dari siapa tidaklah menyenangkan. Benarkah dia satu satunya?- pikirnya.
Selalu sepagi ini, bodyguard tampan yang 3 tahun lebih tua dari Jay itu selalu mengajak Jay untuk 'bermain' di ruangan 5 X 5 tersebut. Ruangan yang berisi semua tentang hidup seorang Jay. Namun sebelumnya, ia bersama -Hanrei- bodyguard tampannya itu, harus mengelilingi halaman rumah yang luasnya seperti lapangan sepak bola tersebut. Bagi orang biasa mungkin ini adalah sebuah hal yang gila namun, bagi seorang Jay ini adalah hal kecil yang biasa. Setelah 'hal kecil' ini selesai, ia langsung pada bagian yang paling menyenangkan : meninju samsak, mengangkat besi, berlatih karate dan lain sebagainya. Selesai semuanya berakhir, tiba-tiba terbesit di benak Hanrei untuk mengajak Jay pergi dengannya.
"Jay, apakah kau mau pergi ke sebuah kafe kecil bersamaku?" Tanya Hanrei pada Jay. Dengan antusias Jay menjawabnya dengan berteriak penuh semangat hingga membuat Hanrei tertawa melihatnya. Kemudian, mereka berdua berjalan beriringan menuju kafe tersebut, ah mungkin mereka sudah seperti sepasang kekasih namun sayang, mereka hanyalah sebatas bodyguard dan majikan yang harus selalu dilindungi.
Jay menatap kagum kafe kecil yang baru dikunjunginya itu. Mungkin setelah ini, kafe tersebut akan menjadi tempat paling sering dikunjungi oleh gadis tomboy itu. Mereka berdua berbincang banyak hal hingga waktu yang membisu memberikan peringatan kepada mereka 'bahwa waktunya untuk pulang'.
Beberapa menit setelah Jay pulang dari kafe, ia menerima selembar surat dari balik jendela kamarnya. Ia bingung. Entah darimana surat itu bisa sampai kamarnya di lantai dua. Tapi siapa peduli. Dia menaruh surat itu di meja riasnya -tanpa membacanya- beralih pada samsak tinju dipojok kamarnya. Ia mungkin belum puas sepenuhnya dengan jadwal latihannya sehari-hari. Ia memukul, menendang, berkali kali samsak tak bersalah itu. Bahkan tak ingat akan waktu, dunia. Sekitar 1 jam, ia berhenti, mengambil air mineral dan membasuh wajahnya dengan handuk. Sesekali mengeluh akan tangannya yang sedari tadi terkilir namun tak ia hiraukan. Matanya tertuju pada secarik amplop hazel tua itu. Ia penasaran. Orang mana yang bahkan rela mengirim surat itu kesini? Mengapa tak melalui pesan singkat?
Orang ini pasti ketinggalan zaman-pikir jay-. Diambilnya amplop itu, dibukanya setelah ditatap beberapa saat.
•••
Kala itu, hujan mengguyur kota, Ui mendorong pintu ruangan agar sepenuhnya terbuka. Sedikit berderit, Ui langsung mengambil salah satu buku dari jajaran buku-bukunya. -Two Treatises of Government- buku karya John Locke ini sekarang sedang berada di tangan gadis berkacamata tebal tersebut. Mata elangnya terus bergerak dari kiri ke kanan, seperti itu hingga buku tersebut selesai terbaca dan dengan rapinya ia letakkan kembali di rak buku usangnya. Karya John locke memang tak pernah membuatnya kecewa. Namun, sebenarnya ia tidak sedang benar-benar fokus saat membaca buku tentang ekonomi tersebut, hanya satu dipikirannya saat ini. Amplop hazel tua. Sekarang ini, dia benar-benar penasaran dengan apa yang ada di dalam amplop kuno tersebut dan kenapa dia tidak membukanya jika penasaran? Ya, gadis itu terlalu takut karena jika ia membukanya mungkin hal buruk akan terjadi di hidupnya.
Dia mungkin terlalu takut jika dia akan bernasib sama seperti kakak perempuannya. Kepalanya pening ketika memikirkan orang paling berharga di hidupnya yang telah pergi selamanya.
-Zia- kakak perempuan Ui yang telah pergi dengan cara mengenaskan. Tapi, persetan dengan masa lalu. Bahkan begitu pilu untuk hanya sekedar diingat. Secarik amplop bisa membuatnya pening, tentu saja hebat. Diusapnya permukaan amplop itu, bahkan meskipun ia membantah untuk tak memikirkannya. Layaknya film lama, semua kenangan seketika berkelebat di pikiran Ui.
"Sudah lama, tapi mengapa aku masih bisa merasakan perihnya?"
Cukup untuk film lama, karena, jujur. Ui pun pasti tak sanggup. Dibukanya amplop itu dengan perlahan dan dibacanya dengan perlahan, hingga ia tertarik dengan isi di dalamnya.
•••
'Hei, aku punya ide, tapi gila'
'Apa?'
'Kau tau software dari amerika itu? Ah, aku lupa namanya'
'Memang kenapa?'
'Mengapa tak kau utak atik sebentar siapa tau bisa menjadi milikmu. Bagaimana?'
"Gila! Apa yang dipikirkan orang ini sebenarnya?" Dengan spontan Jen mencabut kabel komputernya. Mengacak rambutnya frustasi dan berfikir apakah hidupnya bisa damai sedikit? Tidak, ia harus meralat pertanyaannya. "Akankah hidup bisa damai?"
Jen menerawang. Menyusuri setiap sudut bahkan setiap inci langit - langit kamarnya. Dahinya berkerut, menandakan ia berfikir terlalu keras. Hidupnya terlampau rumit. Terlalu rumit dibanding sandi - sandi morse yang biasa ia pecahkan. Mengapa banyak orang yang menjadi setan dalam hidupnya? Mempengaruhinya?
Ia tak ingin hidup seperti ini lagi. Terlalu sepi. Bersembunyi, bersembunyi dan bersembunyi lagi.
Ia lelah, harus bernaungkan atap dan diselimuti ruangan gelap. Menatap lebih dari 10000 huruf dan angka setiap waktunya.
Setidaknya pekerjaan itu sudah ia tinggalkan lama -padahal baru 2 minggu-. Setidaknya ia mau berhenti. Jika saja, ia tak pergi. Jika saja ia tetap melanjutkan sekolah. Jika saja, semua tak terlampau jauh seperti ini. Ya, jika saja. Dan kata Jika saja entah kenapa bisa begitu sakit.
Pandangan Jen beralih pada madding kamarnya yang berantakan. Menatap kertas disana satu persatu. Ia tersenyum pahit ketika melihat salah satu kertas yang mengatakan bahwa dirinya lah yang menjadi orang paling dicari diseluruh London. Bodoh, bahkan mereka tak bisa menemukan namaku, pikirnya. Ia mengambil kertas itu, menyobeknya menjadi beberapa bagian dan membuangnya ke tempat sampah. Ia tertegun, melihat secarik amplop terbengkalai di tempat sampahnya. Ia bingung mengapa ada surat di tempat sampahnya?
"Ah, ya" Ia menepuk dahinya dan menertawai dirinya sendiri. Kemarin ia membuang surat itu. Baginya, hanya orang bodoh yang mengiriminya surat di era canggih seperti ini.
Diambilnya amplop itu, dicarinya nama pengirimnya. Tak ada, hanya amplop polos tanpa ada jejak pena disana. Aneh, bahkan sahabatnya tak tahu dimana ia tinggal sekarang. Mengapa surat ini bisa sampai disini?

To: Mr. Jen
.....

TBC

JJUHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin