HopeMin

5.8K 359 22
                                    

Seven Eleven
(Seven Eleven)

Sebelumnya tak pernah seramai ini suasana didalam bus, tapi kehadiran sekawan pelajar membuat segala ketenangan menghilang.
Hoseok menyingkirkan pandangannya dari jendela menuju ponsel, dengan ekspresi terganggu oleh bisingnya tawa centil gadis-gadis. Alisnya bertaut, jemarinya mengetuk layar, menulis sesuatu dan mengirimkannya pada orang yang hendak ia temui.
Sampai halte kesekian, bus berhenti, menurunkan Hoseok pada lokasi tujuan: sebuah apartemen disekitar halte. Sambil berjalan, ia menaikkan kerah jaket hingga sebatas dagu, mengeratkan topi, lalu membenahi tas. Sepatu putihnya nampak mencolok dibanding setelan abu-abu yang ia kena. Ini bulan Februari dan suhu masih agak dingin, bibirnya nampak pucat tapi hidung serta telinganya memerah. Seharusnya ia gunakan earmuff tapi itu tak terlalu penting ketimbang sebuah pesan singkat berisi rengekan yang memintanya datang ke sebuah apartemen. Rengekan. Setidaknya itulah yang dianggap Hoseok karena pengirimnya memang orang yang suka merengek.

772

Hoseok berdesis. Selalu begitu tiap matanya menyorot angka dan nama disamping pintu. Pintu urutan ke 772, disusul papan nama pemilik. Ia tak perlu menekan bel, tak perlu mengetuk, tak perlu bicara lewat intercom. Ia tahu sandi pintunya dan yang harus ia lakukan sekarang hanya memasukkan enam digit angka untuk segera masuk sebelum pesan selanjutnya kembali menginterupsi.
KLEKㅡPintu terbuka dan Hoseok melangkah masuk, menghempas tasnya pada sofa kemudian berlalu menuju sebuah kamar didekat pantry. Diketuknya kamar dengan keramik lucu sebagai penghias pintu, menyapa 'halo' dan segera mendapat sambutan.
"Aku tahu kau pasti datang!"
"Aku selalu datang." Hoseok tersenyum. Mungkin orang-orang akan melihat seolah senyum itu terpaksa, tapi percayalah, Hoseok melakukannya dengan tulus.
Untuk Jimin, apapun akan selalu tulus.

Hoseok mengenal Jimin sejak lebih dari empat tahun silam, sejak festival budaya yang diadakan universitasnya mengundang sekolah menengah tempat Jimin belajar. Kini Jimin bekerja pada sebuah perusahaan jasa sedangkan Hoseok sedang dalam masa penulisan skripsi.
Sejak dulu, Jimin sering meminta bantuan pada Hoseok soal pelajaran atau konsultasiㅡsoal apapun. Dimanapun, kapanpun Jimin butuh bantuan, ia akan menghubungi Hoseok dan Hoseok akan selalu datang. Selalu. Pasti. Meskipun sibuk, Jimin seolah menjadi prioritasnya.
Kali ini, Jimin memanggil Hoseok untuk membantunya mencari restoran enak yang tidak terlalu mahal. Hoseok menjenguk tanggal di jam tangannya dan mengangguk paham. Ia paham, ia tak butuh penjelasan dari mulut Jimin. Ia ingat dan hafal dengan persis ada apa pada akhir Februari.
Sementara Hoseok berkutat dengan gadget, menelusuri rekomendasi lokasi dan nama-nama restoran, Jimin sibuk memilih pakaian. Ia berulang kali menjajal baju, memadu-padankan ini dan itu hingga Hoseok menyeru 'yup', memberi tanda bahwa ia telah selesai dengan tugasnya. Jimin, masih dengan pakaian yang ia jajal, berjalan mendekat menjenguk layar laptop. Oh, Hoseok memesan sebuah restoran di daerah yang lumayan ramai, lewat dua halte jika menggunakan bus. Budget-nya pun sesuai dengan yang diinginkan Jimin.
"Hyung, kau memang selalu bisa kuandalkan," Anak itu tertawa senang, melihat Hoseok yang sedang memandanginya dengan senyum. "Aku sayang hyung." Jimin beringsut dan memberi pelukan. Hoseok tentu saja membalas pelukan itu, didekap erat dan dihayati. Sentuhan Jimin memang selalu sehangat ini.

Tapi sayang sekali, sentuhan itu bukan sepenuhnya milik Hoseok.

Kim
Adalah nama yang tertulis didepan pintu, berdampingan dengan nomor 772.

Kim
Adalah nama orang yang hidup bersama Jimin, mendampinginya setiap hari.

Kim
Adalah yang seutuhnya memiliki Jimin; sentuhannya, kehadirannya, kasihnya

Kim
"Taehyung," Jimin melonjak ketika ponselnya bergetar dan menampilkan foto seorang laki-laki, memeluk anjing kecil dengan cengir kekanakan. Hoseok melirik foto itu, lalu kembali berdesis seperti ketika melihat papan nama di pintu. Taehyung memang selalu membuat Hoseok bereaksi seperti ini.
Setelah terlibat obrolan singkat, Jimin mengakhiri telepon dan kembali berkemas. "Aku berangkat sebentar lagi. Hyung boleh pulang, terima kasih!" Masih dengan nada ceria, ia berpaling menuju kamar mandi. Hoseok tetap duduk ditepi ranjang, tak bergerak. Ia menunduk, mengusap tengkuk dan menarik nafas dalam-dalam. Ada secarik rasa kecewa pada ekspresi yang berusaha ditampilkan setenang mungkin olehnya. "Jimin,"
"Hm?" Dari kamar mandi, Jimin mendengung.
"Jimin, aku menyayangimu."
Diam sebentar, lalu Jimin tertawa. "Aku tahu, aku juga sayang hyung."
Alis Hoseok mengernyit, arti sayang yang ia sampaikan dengan yang Jimin sampaikan tentu saja berbeda. Dan Jimin tak pernah tahu. Tak pernah.

BTS Dirty DraftsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang