Part 1

24 2 1
                                    

Mendung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mendung..

Lagi-lagi mendung. Awan hitam akhir-akhir ini selalu menghiasi langit tiada bosan. Aku mengegadahkan wajahku keatas. Menatap lagit yang dipenuhi dengan gumpalan-gumpalan besar berwarna hitam. Suara gemuruh langit dan angin yang berhembus kencang menandakan sebenter lagi hujan akan turun.

Aku merapatkan sweeter sederhana milikku. Mengusap kedua telapak tanganku dan meniup-niup telapak tanganku agar hangat.

" Ngga bawa payung lagi, Yur?" Tanya Reika sahabatku yang sudah berdiri disampingku.

" Iya Rei. Mana hujannya deras banget lagi." Keluhku. Mataku menatap satu persatu tetesan air langit yang mulai turun membasahi bumi dari tempatku berdiri. Aku menjulurkan tanganku kedepan. Merasakan setetes demi stetes air hujan yang jatuh di tanganku. Kupejamkan mataku menikmati sentuhan air hujan di telapak tanganku.

" Kebiasaan! Udah tau musim hujan masih aja ngga bawah payung." Sindir Reika padaku. Aku membuka mataku. Kutolehkan sedikit kepalaku kesamping. Kulihat Reika memasang wajah masamnya padaku. Aku mengulas senyum padanya.

" Mana aku tau kalau mau turun hujan. Lagipula tadi pagi juga mataharinya masih nongol jadi aku ngga bawa deh payungnya. Aku nebeng payung kamu ya sampai perempatan di depan. Boleh ya Rei?" Pintaku memohon. Kuhentikan kegiatanku merasakan air hujan ditelapak tanganku. Kurai kedua telapak tangan Reika dan mengengamnya erat. Memasang puppy eyesku agar Reika luluh. Biasanya cara ini selalu berhasil.

Reika menghembuskan nafas gusarnya. Dia mungkin sudah terlalu bosan mengingatkanku jika sekarang sedang musim hujan.

" Makanya, kalau dikasih tau itu dengarin. Kemarin kan udah aku bilangin besok bawah payung. Sekarang lagi musim hujan Yura bukan musim salju." Marah Raika padaku.

" Maaf..." Cicitku pelan sambil nyengir kearah Reika.

" Ya udah boleh. Tapi ingat! Besok bawah payung Yura! Bawah payung!" Peringat Raika yang kuanguki. Kulihat Reika memutar bola matanya jegah. Ini salahku juga memang yang tidak mau mendengarkan nasehatnya kemarin.

Kami berjalan dalam diam menyusuri jalan yang sudah dipenuhi air hujan. Malam semakin terasa dingin. Payung yang kami gunakan tidak sepenuhnya dapat melindungi kami berdua dari air hujan. Aku dan Reika berpisah diperempatan jalan sesui permintaanku.

Aku menunggu angukatan umum yang lewat dengan badan yang sudah mengigil. Tak ingin basah kuyup aku memilih berdiri di emperan tokoh menunggu dengan sabar. Tak berapa lama angukatan yang kutunggu melintas didepanku. Tanpa menunggu lama, kuterobos hujan dan meiki angkutan tersebut.

***

Lima belas menit kemudian aku tiba didaerah tempat tinggalku. Aku merogo saku celana jeansku dan membayar.

Hufff..!!

Aku membuang nafas gusar. Lagi-lagi aku harus menerobos hujan. Sesaat setelah turun dari angkot aku berlari menuju sebuah gang sempit di ujung pos ronda.

Setibanya aku duduk di teras rumah sederhana milik kedua orang tuaku sambil menikmati angin yang berhembus lembut menerpa wajah lelahku. Merentangkan tangan keatas untuk meregangkan otot-ototku yang terasa sedikit kaku. Pakaianku jangan ditanya lagi. Aku basah kuyup.

" Loh kok duduk disini? Kenapa ngga masuk Yur? Itu baju kamu kenapa basah semua?" Tanya suara yang sejuk itu menghampiriku. Dari nada bicaranya, sepertinya ibu terlihat mengkhawatirkanku.

Aku berdiri dari dudukku, meraih tangan wanita tanguh itu lalu mencium punggung tangannya sebagai rasa hormat serta terima kasihku atas jasanya selama ini. Ibu, wanita yang sangat teramat kucintai melebihi diriku sendiri adalah sosok seorang ibu yang tagar. Sejak kepergian Ayah lima tahun yang lalu akibat radang paru-paru yang dideritanya membuat wanita paruh baya yang masih terlihat segar diusianya yang sudah cukup berumur ini harus membanting tulang menafkahi biaya hidup kami.

Wanita kuat didepanku ini tidak pernah mengeluh atas apa yang sudah digariskan Tuhan untuknya. Bagi ibu semua makhluk ciptaan Tuhan sudah mendapatkan porsi mereka masing-masing. Ada yang kaya dan ada yang miski sudah menjadi suratan takdir yang harus kita terima dengan lapang dada.

" Biasa bu, Yura lupa bawa payung tadi makanya kehujanan." Jawabku mengulas senyum.

" Ayo masuk trus mandi dan istirahat." Ajak ibu padaku.

Aku mengekori ibu dibelakangnya. Ibu memberikanku sebuah handuk. Aku kemudian menaruh tasku di atas meja disamping tv dan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

Setelah memakan waktu lima belas menit untuk membersihkan diri dan berganti pakaian, aku berjalan menuju ruang makan yang diberi sekat dengan ruang keluarga. Aku menarik kursi didepan kak Renata. Dan makan dalam diam.

" Bu, Rena mau kejakarta buat kerja lusa. Kebetulan Rena diterima di sebuah perusahaan dijakarta bu." Kak Renata mulai membuka percakapan.

" Kamu yakin mau kerja dijakarta? Bukannya ibu mau ngelarang kamu Ren, tapi jakarta itu jauh Ren. Ibu ngga mau pisah dari anak-anak ibu." Aku menghentikan kegiatan menguyahku. Kutatap wajah ibu lekat-lekat. Terlihat gurat kesedihan diwajah senjanya itu.

" Bu, Rena kan pergi buat kerja. Buat bantu ibu cari nafkah. Rena janji sama ibu tiaap liburan Rena bakalan kunjungi ibu sama Yura disini. Bu ijini Rena ya bu buat berangkat kejakarta?" Pinta kak Renata pada ibu.

Ibu menghela nafas berat dan mengengam tangan kak Renata. Ibu menatap kak Rena tepat di manik matanya. Ibu sepertinya sangat berberat hati melepas kepergian kak Renata. Semua terlihat jelas dimata ibu yang mulai berkaca-kaca.

" Ya sudah ibu ijinkan. Tapi kamu harus ingat pesan ibu. Jaga diri baik-baik. Jangan bergaul dengan sembarang orang. Jangan lupa telfon ibu. Kamu harus kasih kabar ibu setiap hari." Ucap ibu diselingi air mata yang sudah mengalir membasahi kedua pipi. Kak Renata berdiri dari duduknya menghampiri ibu dan memeluk ibu erat.

" Rena janji sama ibu Rena akan jaga diri baik-baik dan kasih kabar ibu setiap hari." Ujar kak Renata ikut menangis.

Aku menyaksikan semua itu dengan mata berkaca-kaca. Kuhapus air mata diujung mataku yang mulai mendesak ingin keluar.

Ibu mengurai pelukannya. Ibu menatap lekat wajah kak Renata, mengusap lembut wajah kak Renata. Ibu menghapus kasar air matanya.

" Kalian lanjut makannya saja dulu. Ibu mau istirah dulu." Ibu kemudian bangkit dari duduknya dan berjalan meninggalkan aku dan kak Renata.

***
Setelah makan malam yang kulalui hanya sendiri karna kak Renata memutuskan untuk kembali kekamarnya duluan meninggalkanku seorang diri.
Aku kembali kekamarku. Membereskan semua peralatan untuk kuliah besok dan bersiap-siap untuk tidur.

Kubarungkan tubuh lelahku setelah beraktivitas seharian diatas kasurku yang sudah usang ini. Aku menatap langit-langit kamarku. Membayangkan hari-hari hanya berdua saja bersama ibu nantinya.

Dinginnya angin ditambah derasnya hujan membaut malam ini begitu dingi dari malam-malam sebelumnya.
Aku bangun dari posisi tidurku lalu mulai berdoa. Sejak kecil ibu sudah mengajarkan aku dan kak Renata agar sebelum tidur wajib berdoa. Hal itu terus kulakukan hingga sekarang.

Aku menarik selimut menutupi seluruh tubuhku. Memejamkan mata berharap semoga besok semua aktivutasku berjalan dengan lancar sebelum alam mimpi benar-benar menyapaku.

***
T.B.C
Sorry for typo..

Salam

miho_MRose87

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 30, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

YuraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang