Airendra Dinata dan biasa dipanggil Air, aku seorang staff adminstrasi di salah satu hotel bintang empat di Kota Bandung. Umurku dua puluh tiga tahun, namun tak jarang orang mengira aku masih SMA karena perawakanku yang imut, hanya dahi lebarkulah yang menandakan bahwa sebenarnya aku jauh dari kata imut layaknya remaja tanggung yang wara wiri di sinetron sore. Masih pegal rasanya badanku ini, setiap serat ototku bagaikan tumpukan benang wol basah yang dicabut satu persatu dengan paksa. Dua hari kemarin baru saja aku pindah dari kosan petak ke rumah dua kamar tipe 46 yang lumayan nyaman meski kita bisa dengan mudah menemukan gelembung - gelembung di tembok yang mulai usang. Meskipun tak banyak barang yang harus ku pindahkan, namun tetap saja sesak rasanya. Ya, aku akan tinggal bersama adikku yang bersekolah di sebuah SMK Farmasi dekat rumah kontrakan kami.
Meskipunkakak beradik, Adit dan aku nampak berbeda. Perawakan Adit lebihtinggi,meskipun baru kelas 1 SMA dia sudah lebih tinggi dariku.Dengan kulit yang hitam dan mengering karena terlalu akrab denganasap rokok, bibirnyapun tak mau kalah gelap. Sikapnya pun tak kalahberantakan dengan penampilannya, tak jarang aku memarahinya karenasering menyimpan pakaian kotor dimana saja sampai kecoak beranakpinak disanaIbu kami tinggal di Ciamis, sementara ayahku tinggal bersama keluarga barunya, masih satu Kota denganku dan adikku.
Hari ini pagi - pagi sekali seperti biasa aku sudah berangkat kerja. Sebelum tukang bubur keliling memekikkan suaranya memecah lelapnya tidur banyak orang, aku sudah memanaskan motorku dan bersiap berangkat. Memang, di pagi hari aku harus menyiapkan beraneka ragam dokumen untuk bahan meeting bosku. Namun sebenarnya, hal yang lebih penting dari itu adalah setiap hari aku menyempatkan diri datang disaat orang lain masih sibuk membereskan tempat tidurnya, untuk melihat matahari terbit di ufuk timur. Terkadang aku harus kecewa karena langit mendung atau kadang awan sedang tak bersahabat. Aku memang hanya seorang pria yang selalu kegirangan bak anak kecil, dikala sinar mentari menyentuh kulitku. Setelah kulewati semua kesibukkan di pagi hari, secangkir kopi hitam tanpa gula seperti biasa selalu jadi sahabat terbaikku, pahit memang. Kuteguk kopi itu, ku tahan dalam ujung lidahku agar nikmatnya bisa perlahan terasa. Namun tak sempat kopi itu masuk kerongkongan keringku, nafasku terdiam sejenak melihat kehadiran Nilam yang masuk ke ruanganku. Angin yang biasanya pongah pun, terdiam sejenak bak mengerti, tak ingin memecah kebahagianku hanya dengan melihatnya.
"Hai Nilam, bisa dibantu?" tanyaku congkak.
"Oh enggak mas, saya sedang mencari Pak Rusydi. Liat gak mas?" sahutnya dengan suara agak cempreng, yang justru menurutku sangat merdu.
Beribu orang memanggilku mas, namun entah mengapa ketika Nilam yang memanggilku terasa sangat istimewa.
"Saya gak liat dek, kalau nanti ketemu ada pesan yang mau saya sampaikan ?" tanyaku sudah mulai mencair.
"Boleh ,tolong sampaikan Nilam nyari gitu Mas," tersenyum sambil sedikit menipiskan bibir.
"Siap, kalau gitu boleh Mas minta nomor HP Dek Nilam, biar nanti mas bisa langsung hubungi Dek Nilam" Jawabku, dalam hati gembira mendapatkan kesempatan emas karena akhirnya aku bisa mendapatkan nomor handphone nya Nilam.
Nilam Azani, seoarang gadis muda yang cantik. Ah, tak kusangka dia akan secantik ini, aku tahu dia sejak dia masih SMA. Gadis yang selalu menenteng susu kemasan dengan rasa stroberi dan makanan ringan ketika pulang sekolah. Gadis dengan rambut yang hanya rapi di bagian depannya saja sementara masih kusut di bagian belakang. Tak kusangka Tuhan mengizinkanku untuk bertemu kembali dengannya di tempat kerja yang mungkin hanya dia lah motivasi terbesarku untuk bertahan di sini. Cinta itu seperti hujan gerimis kecil, kita sering mengabaikannya dan tetap berjalan, hingga tanpa disadari kita sudah basah.
Hari senin pagi, situasi yang tidak begitu menarik bagiku. Selimutku yang bak melambai - lambai membujukku untuk kembali terlelap, kemacetan yang serasa membuatku sepuluh lebih tua dalam perjalanan, dan diatas segalanya yang paling menyeramkan bagiku adalah melihat Nilam duduk dalam mobil bersama Indra, pacarnya. Nilam selalu diantar oleh Indra untuk berangkat kerja. Pagi itu, seberapapun macetnya jalanan atau sebanyak apapun cucian yang harus aku cuci sebelum berangkat kerja, aku selalu datang paling pagi. Selain karena aku merindukan mentari pagi, aku adalah pria yang sangat menghargai waktu. Waktu bagiku waktu adalah masalah dedikasi. Mereka bilang waktu adalah uang, namun bagiku waktu bahkan lebih berharga daripada uang.
"Pagi Otong.... kelimis banget deh hari ini, udah sarapan tong?"sapa Bu Carol, yang sebenarnya bernama Kiki, namun entah karena ingin menyesuaikan kehebohan diri dan namanya, maka terciptalah panggilan carol.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menggenggam Pasir
General Fiction" Ditemani kopi hitam, di halaman rumahku, ku menanti bulan."