Amerika, 2020.
Aku bangun dari tidur lelapku dengan semangat. Aku akan terbang ke Jepang! Bertemu dengannya!
Aku segera menggunakan seragam yang diimpikan banyak orang, seragam untuk pilot, setelah aku mandi dan mengemas barangku. Aku juga akan langsung terbang ke Jepang siang ini.
Sekarang, aku sudah duduk di kedai Indonesia, di pusat kota. Aku rindu soto.
Dengan berhati-hati, aku menyesap kuah berwarna kuning itu. Tapi ditengah-tengah kenikmatan yang aku rasakan, ponselku mengeluarkan lagu milik The 1975 yang berjudul chocolate. Aku berdecak sebal saat tahu ada yang menelponku di saat aku tidak ingin diganggu.
Tapi kekesalanku meluruh saat aku membaca 'Yukimoto Axel' terpampang di layar ponsel. Oh astaga, temanku ini. Sudah lama tidak jumpa masih saja mengesalkan.
Akhirnya, dengan dengusan kecil, aku menggeser opsi berwarna hijau. Lalu terdengarlah suara Axel diujung sana.
"Heyho, buddy!"
"Maaf ini siapa?" Dengan nada bercanda, aku membalas sapaan riang Axel.
"Ya! Jangan main-main, Rio!" Dengan nada membentak, Axel berbicara diujung sana lagi.
"Okay, okay. Maaf!" Aku tertawa mendengar nada marah Axel.
"Kau dimana, Rio?" Axel bertanya disusul suara gaduh.
"Kedai kecil Indonesia, di Amerika." Aku menjawab dengan tenang, ingin tau apa tujuan Axel menanyakan ini.
"KAU SEDANG DI AMERIKA 'KAN?" Dengan hebohnya, pemuda berdarah Jepang ini berteriak. Membuatku harus menjauhkan ponsel jika tidak ingin telinga seksiku kenapa-kenapa.
"Bisa tenang sedikit?" Aku mendengus setelah mendekatkan ponsel kembali.
"TIDAK!" Axel berteriak lagi.
"Oh, kalau begitu kau dokter yang tidak bisa disebut dokter berwibawa, Axel." Aku berkata dengan nada mengejek.
"Hey! Tentu aku bisa!" Suaranya meninggi, tidak setuju.
"Baiklah terserah kau. Jadi ada apa?" Aku kembali membahas topik utama.
"Aku juga di Amerika." Axel menjawab dengan tenang kali ini.
"HAH? KAU? DIMANA?" Mendengar jawaban Axel, aku yang tidak tenang sekarang. Beberapa orang bahkan menolehkan kepalanya kepadaku dengan penasaran.
"Huh. Kau bukan pilot yang berwibawa, Rio." Giliran, Axel yang mengejekku.
"Kau dimana?!" Aku bertanya lagi.
"Di hotel. Nanti aku akan kembali ke Jepang. Maa–"
"Kenapa cepat sekali?" Aku bertanya dengan nada tidak setuju.
"Hei! Jangan memotong!"
"Ya, ya! Lanjutkan."
"Maaf aku baru bisa menghubungimu sekarang. Aku sudah empat hari disini dan itu sudah lama. Aku sangat sibuk kemarin karena harus menangani pasian yang penting kemarin." Axel menjelaskan dengan sangat cepat di ujung sana.
"Baiklah. Lalu apa?"
"Kau tidak mau mengobrol denganku sebentar? Mengantarku ke bandara?" Axel bertanya dengan nada memohon.
"Aku kebetulan ingin ke bandara juga." Aku menjawab dengan pelan. "Tapi aku tidak bisa. aku ada penerbangan."
"Penerbangan? Kemana?" Kali ini nada bertanyanya sedikit pelan.
"Jepang, kenapa? Wajar bukan kalau aku ada jadwal penerbangan. Kau tidak lupa ingatan bahwa aku ini pilotkan, Dokter Axel?" Jawabku dengan sedikit menekan kata Dokter Axel.
"Berarti kau dan aku akan berada dalam satu pesawat? Wah kebetulan sekali" Jawabnya dengan gembira.
"Entahlah. Maskapai penerbangan tidak hanya satu, tuan."
"Menyebalkan. Dari dulu sifatmu tidak pernah berubah ya." Ucapnya sinis. "Yasudah aku ingin berangkat sampai ketemu!" Lanjutnya di telepon.
Belum lama ingin membalas perkataan Axel, sambungan telepon sudah diputus sepihak. Begitulah Axel, aku saja tidak diberitahu jika dia di sini dan sekarang dia sudah ingin kembali.
Tak perlu menunggu waktu lama aku segera berangkat menuju bandara. Tentunya setelah menghabiskan makanan berkuah kuning ini.
Ya! Pemandangan yang sudah biasa ku liat. Di bandara memang ramai dan padat terutama pagi-pagi seperti ini, pasti banyak orang yang ingin standbay duluan supaya tidak ketinggalan pesawat.
"Yo!" Sapaan yang tak asing di kedua telingaku, akupun segera mencari sumber suara tadi.
Mataku terbelalak melihat tubuh jangkung Axel. "Bagaimana bisa kau menemukanku secepat ini diantara banyaknya orang?" Aku bertanya.
"Mudah saja. Aku hanya harus mencari pemuda dengan wajah datar yang membosankan." Axel menjawab dengan cengiran.
"Sialan." Aku mendengus.
"Jadi, kita berdua satu tujuan?" Mata Axel berbinar lucu.
"Ya, tentu. Tapi belum tentu kita berada di satu pesawat. Memangnya, kau memilih maskapai apa?"
Axel merogoh tiket di tas ranselnya, lalu ia menyebutkan nama maskapai yang kukendarai.
Kebetulan sekali!
"Jadi, apakah kita benar-benar ditakdirkan bertemu lagi?" Axel bertanya sambil terbahak.
"Entahlah, mungkin. Tapi, aku harap, aku ditakdirkan bertemu dengannya lagi. Bukan denganmu, dokter ingusan." Aku membalas.
"Nya? Nya siapa? Dan, lagi. Dokter ingusan katamu?" Mata Axel membesar. Ngeri.
"Masa laluku. Kau tahu, yang pernah aku ceritakan. Aku ke Jepang untuk menghampirinya. Aku selama ini tahu dia ada di Jepang. Tapi selama ini juga aku masih mengumpulkan keberanian untuk menemuinya. Dan sekarang adalah harinya." Aku membusungkan dada bangga.
Axel mengangguk kecil dihadapanku.
"Gadis itu? Namanya siapa?" Axel menarik seragamku agar aku mengikutinya kedalam ruang tunggu.
"Rai. Raihanah Valora. Bekerja sebagai dokter di rumah sakit besar Jepang. Bersekolah di Indonesia tapi melanjutkan perguruan tinggi di Jepang. Mengambil jurusan kedokteran. Ulang tahunnya tanggal sembilan maret. Selisih satu hari denganku." Aku menjelaskan tentang Rai panjang lebar kepada Axel.
Axel diam. Aku menolehkan kepalaku agar dapat melihat Axel. Tapi yang kudapati, Axel malah diam membisu.
"Rai? Raihanah Valora? Kurasa aku mengenalinya. Rai adalah dokter di rumah sakit tempat aku bekerja. Dia sudah kuanggap adikku. Adik yang baik."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past
Teen Fiction[3/3] Ini cerita tantang masa laluku yang masih terbawa sampai sekarang. Copyright 2016 project by Onizzhr & Sekkararrum.