Rio

122 26 7
                                    


Aku sedang mengatur tuas dan tombol tombol di hadapanku sambil berkonsentrasi penuh.

Aku sudah mengudara kira-kira lima belas jam, dan setengah jam lagi, aku, co pilot, seluruh kru pesawat, dan penumpang akan menginjakkan kaki bersama di negeri sakura, Jepang.

Pesawat memang beberapa kali mengalami turbulensi, namun aku dan Aga, co pilot, dapat mengatasinya dengan hati-hati.

Sekarang, aku sudah mendarat dan tinggal memarkirkan pesawat dengan rapi agar penumpang dapat dengan nyaman turun di bandara Haneda.

Seluruh penumpang sudah meninggalkan pesawat dan hanya awak kabin yang tersisa. Aga bahkan sudah keluar dari ruangan untukku dan Aga mengendalikan pesawat. Tapi saat kukira Aga sudah meninggalkan pesawat, Aga malah kembali menemuiku dan berkata bahwa ada temanku yang menungguku agar dapat keluar bersama. Sedetik setelahnya, aku mengangguk paham. Pasti Axel.

Aku segera bergegas keluar dan menemui Axel yang mungkin sudah sedikit bosan karena lama menungguku keluar dari pesawat. "Kenapa lama sekali sih!" omelnya.

"Kau pikir memarkirkan pesawat segampang itu? kau saja sangat kesulitan jika sudah memarkirkan mobil" Axel hanya terkekeh saat aku membalas pertanyaannya itu.

"Aih, sudah jangan bahas itu lagi. Aku memang kurang handal dalam memarkirkan mobil, itu sangat susah" ujarnya seraya membela diri.

"Tidak masuk akal" celetukku yang tanpa sengaja Axel mendengarnya.

"Hei, apa yang barusan kau katakan? wajar bukan jika aku kesusahan. Aku ini orang sibuk, banyak pasien yang harus aku rawat sehingga aku tidak punya waktu untuk bisa belajar memarkirkan mobil dengan benar"

Dengan bangga dia mengangkat sedikit kera bajunya supaya sedikit terlihat keren.

"Aku harus menunggu seseorang di sini" Axel langsung duduk di salah satu bangku sekaligus menarik bajuku sehingga aku terpaksa mengikutinya untuk duduk di situ.

"Bisa-bisa bajuku robek jika kau tarik seperti tadi." Dengan nada sedikit marah, aku langsung merapikan bajuku yang tadi ditarik Axel

"Kau ini pilot tempramental ya!"

Mendengar ucapannya tadi aku hanya bisa menggelengkan kepalaku dan mencoba untuk sabar dengan teman seangkatan yang aneh ini. Aku sudah lelah untuk berdebat dengan Axel, karena itu akan menguras banyak tenaga.

Axel berdiri dari tempat duduknya, sekarang ia pergi menuju kearah seseorang. Entah itu siapa karena aku tidak bisa melihatnya dengan jelas mengingat jarak yang terlalu jauh.

Aku tidak mengejar Axel. Tiba-tiba saja aku teringat dengan kertas yang berisikan alamat apartement gadis itu. Aku segera membuka resleting tasku untuk mengambil kertas yang sudah ku simpan dengan baik. Setelah kudapatkan, aku berniat untuk pamit kepada Axel serta bertujuan mencari alamat yang tertulis di kertas ini dan menemui gadis masa laluku.

Aku berjalan, yang kuliat Axel sedang berpelukan dengan seorang gadis. Aku tidak mengenali gadis itu dengan baik, tapi aku rasa aku mengenal tatapan mata itu.

"Rio, kemari!" Dengan nada semangat, Axel memanggilku untuk menuju ke arahnya.

Perlahan maju, aku mulai mengenali wajah gadis yang berada di samping Axel. Astaga itu Rai... apakah itu benar Raihanah Valora?. Gadis itu banyak berubah.

Aku yang sudah berada di depan Axel masih bingung dengan pertemuan ini. Aku menatap Axel dengan menaikkan satu alisku dan mulai memasang wajah kebingungan.

"Sini, aku kenalkan dengan Rai!" Saat Axel mulai menyebutkan nama Rai Jantungku mulai berdetak tak karuan dan mungkin wajahku sudah mulai memerah sekarang.

Aku rasa Rai sedikit memperhatikanku, sebaiknya aku cepat-cepat menyembunyikan raut wajahku yang memalukan ini. Yang benar saja.

"Nah, Rai, ini Rio. Rio, ini Rai." Axel yang berada di tengah-tengah Aku dan Rai memperkenalkan kami.

Aku melihat gadis itu mengulurkan tangannya duluan, mungkin dia sedikit gugup "Raihanah Valora" ia menyebutkan nama panjangnya itu.

"Satrio Gatra Admaja." Dengan sedikit lantang aku menyebutkan nama panjangku seraya menatap lekat wajah gadis yang sudah aku rindukan enam tahun lalu.

"Enam tahun bukan waktu yang singkat ya, Rio?" Gadis itu menatapku lekat. Rasanya aku ingin memeluknya, aku sangat merindukannya.

"Tentu saja, enam tahun waktu yang sangat lama untuk menahan rindu, Rai. Maka dari itu, aku ke Jepang. Aku tahu kau berada di Jepang." Aku mengangkat tanganku dan mulai menyentuh pelan rambutnya yang lembut.

Aku benar-benar merindukannya. Rasanya pertemuan ini sudah membuatku senang, bahkan aku merasa kami sudah ditakdirkan untuk bersama. Aku harus berterimakasih pada Axel, kalau bukan karenanya mungkin aku tidak akan bertemu dengan Rai.

Tapi kemana perginya Axel?, aku sudah melihat sekelilingku tapi dia tidak ada. Aku rasa gadis itu juga sedang mencari Axel. Entahlah.

Aku terus mengamati gerak gerik matanya "Hhm, bagaimana bisa kau mengenal kawan lamaku, Rai? Axel bilang kau adalah adik yang baik."

Gadis itu terdiam cukup lama setelah mendengar pertanyaanku. Entah apa yang dia pikirkan, saat aku bertanya tanya apa yang gadis itu pikirkan teleponnya berbunyi.

Rai sedikit menjauhkan jaraknya dariku, mungkin dia tidak ingin aku mendengar percakapannya.

Aku sudah berdiri dan menunggu gadis itu menjawab teleponnya cukup lama. Apa mungkin dia mendapat kabar? Oh tuhan jangan sampai dia pergi.

Tak lama kemudian Rai kembali sambil berlari dengan wajah yang ceria. Terlihat seulas senyum di bibirnya saat dia sudah sampai di depanku.

Aku membalas senyum lebar sambil menatap matanya "Rai, kau tidak mau memelukku atau apapun itu? Kita sudah tidak bertatap muka selama enam tahun, bukan"

Aku melihat Rai tertawa kecil setelah mendengar candaanku tadi. "Aku merindukanmu,Rio. Rio yang sekarang sudah menjadi pilot sungguhan."

"Aku juga merindukanmu, Rai. Rai yang sekarang sudah menjadi dokter sungguhan" Aku mulai mendekat dan mendekapnya hangat.

Tak lama gadis itu melepaskan pelukannya, aku menatapnya bingung. "Kenapa kau meninggalkanku begitu saja enam tahun lalu, Rio?!" Dia tak segan segan memukul tulang keringku, dia benar benar memiliki tenaga seperti badak.

"Itu tuntutan kerja ayah-AW Rai" Segera aku mengusap tulang keringku dengan wajah yang sudah menahan sakit karena pukulan mautnya tadi.

"Setidaknya meminta maaflah Rio" Dengan wajah cemberut gadis itu membalikkan badannya dan berjalan meninggalkanku.

Dia berjalan sangat cepat, bahkan suara koper yang digeretnya ikut terdengar.

Aku segera berlari mengejarnya sambil berkata,

"Rai! Jangan berjalan terlalu cepat!"

Menggemaskan.

The PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang