One Shoot Story

3.9K 167 17
                                    



Warning!!! Ratingnya NC alias yang belum 18 tahun jangan baca-baca yah!


Cerita ini dimulai ketika kota Bandung dilanda hujan lebat, gemuruh petir ditambah cahaya kilat memperlihatkan betapa gelapnya langit di atas sana. Bandung, kota yang terkenal dengan segudang keindahan nampaknya tidak bisa memperlihatkan sisi indahnya ditengah cuaca ekstrim seperti malam ini. Jalanan tidak terlihat, hanya ada keresahan terpancar dari orang-orang yang terjebak di jalanan.

Berada di atas gedung bertingkat ternyata bisa membuatku melihat jelas betapa kacaunya Bandung malam ini. Banyak orang ingin segera sampai ke rumah mereka, berselimut dan menikmati coklat hangat, bukan terjebak di jalanan dengan hujan yang tak kunjung reda.

Aku,

Tidak seperti manusia kebanyakan, yang takut akan hujan dan petir, atau menjadi sakit jika terguyur hujan.

Aku...

Bagaimana aku mendeskripsikan diriku?

drrrt... drrrt..drrrt...

Sebuah getaran membuat perhatianku beralih. Aku lantas membuka buku yang selalu aku bawa dan melihat isinya. Sebuah notifikasi bahwa malam ini aku harus pergi menuju lokasi yang tertulis di halaman terakhir buku ini.

***

Sayap yang menempel di punggungku mengepak dengan bebas, membawaku terbang menembus pekatnya malam tanpa bulan yang menerangi.

Beginilah aku, mengabdi pada sosok Tunggal pemilik dunia yang menggerakan Bumi dan Matahari. Aku menjadi salah satu utusan sosok Tunggal, tugasku memastikan orang-orang yang telah habis waktunya untuk pergi ke dunia lain dengan waktu dan cara seperti yang telah Ia rencanakan, dimana semuanya telah tertulis di dalam buku.

Aku...

Adakah satu kata yang tepat untuk menyapa diriku?

Iblis? Tentu bukan. Aku mengabdi pada sang pencipta, aku bukan pembangkang.

Malaikat? Aku bukan makhluk sesuci itu!

Manusia? Hm, apa kalian lupa? Mana mungkin manusia memiliki sayap yang bisa membawanya terbang tinggi.

Lalu, apa?

***

Sampailah aku di tempat ini, tempat dimana banyak manusia dari berbagai kalangan menghabiskan malamnya. Aku hanya bisa tersenyum miris melihat bahwa ternyata masih banyak manusia-manusia yang menikmati malam kelam tak bersahabat. Sungguh sebuah realitas kehidupan yang berbanding terbalik dengan situasi alam.

Aku membuka buku, melihat dengan jelas identitas manusia yang akan menghadap ke sang pencipta. Lembar demi lembar aku buka dan berhentilah di lembaran terakhir. Sebuah foto dengan nama yang menurutku indah terpampang.

Jessica Veranda...

Kupandangi potret dirinya. Wajah elok bagaikan penghuni nirvana, gambaran kelembutan seorang gadis terpancar jelas dari wajahnya dan namanya yang indah sejenak membuatku berpikir, apa dia benar seorang manusia?

Lama aku mengagumi keelokan wajahnya, tiba-tiba sebesit pikiran hinggap di benakku. Apa yang ia lakukan di tempat seperti ini? Pandanganku lantas beralih ke bagian terbawah dari identitas seorang Jessica Veranda. Aku terkejut ketika membaca bagaimana cara ia akan pergi meninggalkan dunia. Pancaran elok wajahnya bagaikan keindahan semu, hatinya kelam bagaikan lentera yang tak bercahaya.

***

Aku masuk ke tempat yang penuh gemerlap ini. Dengan berpakaian layaknya manusia, aku berjalan sambil mengedarkan pandanganku, mencari sosok Jessica Veranda. Cukup susah bagiku mencari seseorang ditengah sesaknya manusia dalam ruangan yang gelap dan samar karena hanya mendapat penerangan dari lampu bar.

TenShintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang