SMU Panca Duta digegerkan dengan kasus penganiayaan seorang siswi kelas sepuluh, yang dilakukan oleh lima seniornya di sekolah.
Hujan deras turun membubarkan upacara yang baru berlangsung setengah jalan. Serempak murid-murid berlari menuju koridor kelas dengan berdesakan. Sebagian tangan mereka diangkat menghalangi tetesan air menerpa kepala. Beberapa orang terpekik senang, dan sisanya menggerutu karena sepatunya terinjak murid lain.
"Ayo, semuanya masuk ruangan!" gelegar suara Bu Wenti mengalahkan petir yang menyambar-nyambar di langit.
Pun kerumunan kelas tujuh, delapan, dan sembilan itu berangsur bubar. Mereka bergerak menuju pintu kelas masing-masing tanpa berniat menambah komando dari Wakasek kesiswaan yang konon katanya super horor itu.
Hujan makin keroyokan mengguyur setiap sudut tanpa pelindung. Menciptakan bising bersahutan di jendela ruang kerja kepala sekolah. Pak Avnas, duduk sambil menyeruput teh hangat buatan Mang Ujang. Setelah terputusnya upacara sepuluh menit tadi, ia langsung beranjak menuju kursi kebesarannya dalam ruangan kusus di lantai satu gedung utara, dengan pintu berpapan nama 'Headmaster'. Di depan laki-laki pertengahan empat puluhan itu, seorang siswa terlihat gemetar saat merasakan tatapan prihatin yang Avnas berikan.
"Mereka sudah saya drop out dari sekolah ini,"
Siswa di sofa tak bergeming. Hanya matanya sesekali terlihat melirik tirai jendela. Avnas, si kepala sekolah, bangkit mendekat. Wajahnya penuh raut bersalah ketika mengambil sikap jongkok di depan wajah kuyu siswanya. Anak asuh, sekaligus keponakannya yang selama ini disembunyikan dari dunia luar.
"Aku minta maaf, Klea.
"Aku minta maaf sudah membiarkanmu menderita sendirian. Andai Zoi tidak merahasiakan tentangmu, kau pasti~"
Tiba-tiba siswa itu mendongak. Ada kilat di matanya saat menatap balik iris kecoklatan Avnas. "Mereka sudah tidak ada. Dan aku gak peduli, kepala sekolah. Berhentilah membicarakan kedua orang tuaku. Mereka sudah ..." ia mendesah, lalu menunduk kembali dan menambahkan pelan, "Membuangku." dengan sedikit penekanan.
___❇❇❇___
SMP Panca Duta digegerkan dengan kasus penganiayaan seorang siswi kelas sepuluh, yang dilakukan oleh lima seniornya di sekolah.
Revando melipat koran paginya dan mendongak. Menatap kumpulan awan putih di langit kota Jakarta, lalu mendesah.
Gadis malang.
"Ini kopi anda, tuan."
Mengabaikan Aminah, pembantu paruh baya yang ia sewa, perhatian lelaki ini beralih pada sosok yang sedang berjalan mendekati garasi. Sosok itu sudah lebih tinggi sejak terakhir mereka bertemu beberapa bulan lalu. Revando tersenyum. Padahal dulu, sosok itu hanya sebetisnya ketika mulai menggumamkan 'papa' dengan artikulasi tak jelas. Lihat, apa saja yang sudah berubah dua belas tahun terakhir ini.
"Tuan, Tuan Bara beberapa kali menelpon mengatakan ingin bertemu segera, kalau tuan sempat ke Jakarta." Revando menggeser alas minumannya mendekat, kemudian mengangkat gagang cangkir berisi kopi yang masih mengepul miliknya. Detik selanjutnya, fokus Revando berhasil diambil alih.
"Bara sering kemari, Mbok?"
Aminah mengangguk. Mendekap nampan di dada. Raut lelahnya tampak kentara di usia awal empat puluh. "Sebenarnya, Tuan Oka juga sering saya pergoki mengamati rumah ini dari luar." kontan Revando mengeryit.
Oka? Kenapa? Bukankah dia pergi ke Jerman?
Begitu banyak hal langsung menyesaki kepala lelaki ini menyangkut satu nama itu. Setelah bertahun-tahun berusaha membangun kembali Gutomo lewat puing-puing yang ditinggalkan bedebah Remy, ayah Oka. Rasanya sulit untuk menerima kehadiran si penghancur itu lagi. Oka, entah apa masalahnya dengan keluarganya yang terkutuk, sampai Gutomo ikut menjadi korban. Lalu, sekarang Oka kesini. Mau apa dia?
KAMU SEDANG MEMBACA
REGANZA
Roman pour AdolescentsRega yang tengah dipusingkan oleh fakta tentang keluarga Permana, mesti sabar ketika rencananya serba direcoki si pendek, Anza. Walau gak sengaja, keterlibatan gadis itu membuat posisi Rega menjadi tambah sulit. Ketika di hadapkan pada dua pilihan t...