Swiss, 24 Februari 1998.
Ziv terbangun. Udara dingin menusuk masuk menembus kulitnya meski telah dibungkus selimut tebal. Tapi bukan itu yang mengganggunya. Dia telah beradaptasi dengan suhu rendah di pegunungan itu.
Suara-suara mesin yang
berdesing, percikan api dari semacam kabel listrik, dan suara-suara lain yang entah timbul dari mana. Ziv masih terlalu kecil untuk mengetahui semua itu.Dia beranjak dari kasurnya dan dengan langkah gontai mencoba mengikuti arah suara-suara itu. Tidak terlalu jauh, pantas jika dalam tidurpun dia bisa mendengarnya.
Dengan wajah polos, Ziv membuka pintu yang dari kacanya terpancar cahaya menyilaukan. Dia melihat ayahnya meronta dalam sebuah kotak mesin bercahaya
yang besar. Di depannya berdiri sebuah mesin aneh mirip senjata tentara yang secara langsung menembakkan sinar merah ke tubuh ayahnya.Suara-suara bising semakin keras terdengar. “Ayah?” Ziv mencoba memanggil ayahnya, namun suara kecilnya larut dengan suara mesin disana. Dia berniat mendekati kotak mesin itu, tapi bahkan sebelum langkah pertamanya selesai, dengan sekejap ayahnya menghilang.
Bandung, tanggal yang sama.
Guntur bergemuruh, hujan turun sangat deras. Malam itu, di suatu rumah yang temaram seorang wanita menjerit kesakitan, sendiri. Darah mengalir membasahi selimut dan tempat tidurnya, dia sedang melahirkan. Tak seorang pun
membantu.Wanita itu terus berusaha menahan napas, mengatur tenaga, menjerit, kesakitan, berlomba dengan guntur dan hujan deras di luar sana, dia berhasil.
Wanita itu menghela napas panjang. Sambil menghapus air mata yang bercampur
dengan keringat di pipi, wanita itu memeluk anaknya yang masih merah.Anak itu lahir tanpa tangisan. Dia terdiam dalam pelukan ibunya yang terpejam.
***
Langit tampak kuning kemerah-merahan bercampur dengan pekatnya malam. Asap kelabu mengepul, membumbung tinggi ikut bergabung menambah
warna kelam tempat itu.Semua terasa mengerikan. Suara jeritan terdengar di setiap penjuru beriringan dengan erangan dan tawa.
Api berkobar, membakar atap
dan dinding-dinding bangunan. Zey berdiri di sana, di tengah makhluk-makhluk aneh yang berlari pontang-panting. Dia tak mengerti apa yang terjadi.Tiba-tiba Zey dikejutkan dengan sebuah tangan yang menariknya lari. Seorang gadis dengan rambut ikal merah menyala. Mereka berlari tanpa suara.
Di tengah langkah lari dan di antara suara gemuruh di belakangnya, dengan cara yang masih tidak dimengerti, semua yang dilihatnya kini jadi buram dan perlahan hilang.
Seberkas cahaya terang mengganti semuanya. Sunyi. Zey berusaha bangkit dan memfokuskan mata.
Silau, sinar matahari ternyata. Zey
langsung menutup mata dengan lengan kiri ketika menyadari dia berada di kamar tidurnya. Zey terdiam sejenak. "Tadi mungkin hanya mimpi,‟ pikirnya. Mungkin.Diapun bangkit dan turun dari tempat tidurnya untuk segera mempersiapkan diri.
Ini adalah hari pertamanya masuk Sekolah Menengah Atas, harusnya ini jadi salah satu hari paling bersejarah dalam hidupnya, tapi nyatanya tidak. Tak ada yang
spesial baginya, karena itu mungkin saja hari ini dia akan datang terlambat lagi seperti biasanya saat masih duduk di bangku SMP, Zey tak peduli.Dia membuka keran wastafel dan mencuci muka. Menatap cermin di
hadapannya, Zey kembali teringat akan mimpi yang baru saja dialaminya.Api yang berkobar, langit kuning kemerah-merahan, dan gadis berambut ikal merah menyala. Zey masih ingat semuanya.
Sentuhan tangan yang menariknya itu... tiba-tiba Zey dikejutkan dengan sebuat tangan kecil memeluk kakinya. Dia menatap
kebawah, seorang –atau seekor- makhluk kecil berhidung panjang dan bertelinga lancip menatapnya dengan mata yang berkaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dimensi Ke 4
FantasyKosong... tempat itu begitu bersih dan bercahaya. Tak ada lagi aku di sana, tak ada kita, juga kamu, maupun mereka. Yang ada hanyalah Dia. Dia bukanlah aku. Dia juga bukan kita maupun mereka. Bukan juga kamu. Dia adalah... segala. Kosong... tak a...