Aku melihat banyak orang memasuki rumahku. Berbondong-bondong memasuki ruang tamuku yang meja kursinya sudah dipindahkan, diganti tikar yang terbuat dari anyaman sedotan. Satu per satu dari mereka masuk dan duduk di ruang tamu. Bahkan si Merry yang selalu membullyku di kelas, yang selalu mengejekku si lamban, hadir dalam kerumunan itu. Aku makin tak mengerti. Mengapa semua orang mengunjungi rumahku? Ada pesta kah? Atau ada syukuran ? Ah ya, mungkin syukuran karena aku sudah sembuh dari penyakit kanker darahku. Tapi tetap saja, aku malu untuk menemui mereka dalam keadaan tanpa rambut seperti ini.
Sudah berapa lama ya kanker ini menemani hidupku? Umm mungkin 3 tahun ? Atau 4 tahun? Entahlah, aku bahkan sudah lupa kapan terakhir kalinya aku menyisir rambut semenjak kemoterapi pertamaku dilakukan. Aku mungkin lupa bagaimana cara mengucir rambut hitam bergelombang yang sering dikepang oleh Mama. Aku lebih sering memakai sehelai kain untuk menutupi kepalaku yang gundul. Bahkan menginjakkan kaki ke salon wanita saja tak pernah aku lakukan semenjak Mama mendapat laporan bahwa aku positive terkena kanker darah.
Ahh !! Aku sebal !! Aku muak !! Kata-kata itu sering keluar dari mulut ini. Kata-kata depresi (mungkin?) . Aku sering merindukan saat-saat di mana aku dan teman-teman sekelasku bermain ke pantai bersama. Rambut yang menari-nari terkena sejuknya angin pantai. Yaa. Aku merindukan saat-saat itu, sebelum mereka satu per satu menghindar setelah mengetahui bahwa aku 'penyakitan' .
Aku rindu Rey, sahabat laki-lakiku yang paling baik. "Aih, kau ini. Kita sahabat? Hanya itu?" tanyanya. Hmmh. Aku tak mengerti apa maksudnya. Bukankah dia yang selalu mengatakan "Sahabat selamanya !" ? Hingga akhirnya ia menghilang setelah tau penyakit yang aku miliki. Penyakit yang bersarang di tubuhku. Ahh. Sial. Begitu banyak orang yang berpura-pura berlabel baik.
"Lisa, janji ya kita akan tetap menjadi sahabat selama-lama-lama-lamanya,oke?" ucap Rey sembari mengacungkan jari kelingkingnya, simbol berjanji dan meminta janji.
"Oke. Pokoknya, kalau salah satu dari kita suka atau duka karena seseorang, harus cerita ya." tambahnya. Aku hanya mengangguk senang sembari mengaitkan kelingkingku pada kelingkingnya.
Sekarang aku hanya mampu tersenyum pahit mengingat hal itu. Hhh. Munafik. Pembohong. Sekarang dia di mana? Menghubungi dan menanyakan keadaanku saja tak pernah. Mungkin aku yang terlalu polos karena semudah itu mempercayai janji persahabatannya. "Rey, kau tau? Kebaikanmu memperbanyak kupu-kupu yang berterbangan di kepalaku. Ini suka atau duka, Rey?" Perasaan itu masih saja muncul. Perasaan kepada penghianat itu. Sudah berapa tahun bertahan hah? Umm, mungkin 4 atau 5? Entah. Atau mungkin, sekarang aku mati rasa? Karena tak ada satupun teman yang mendampingiku di saat-saat tersusahku. Kecuali keluargaku.
"Ma, Lisa takut. Lisa lemes. Lisa nggak kuat." ucapku satu jam sebelum kemoterapiku yang terakhir.
"Biasanya kamu bisa kan, Sayang? Pasti yang ini bisa. Jangan khawatir. Mama, Papa, Nia, selalu mendoakanmu. Yang kuat ya, Sayang. Mau sembuh kan?"
"Ma, aku mau pulang." Mama hanya menggenggam tanganku kemudian melepaskannya dan menunggu di luar ruang kemoterapi. Pandanganku kabur. Entah mengapa. Aku tak bisa merasakan apa-apa lagi. Semuanya gelap. Gelap.
Aku membuka mataku. Aku sudah dibawa pulang. Aku berada di kamar tidurku sekarang. Sprei ungu kesukaanku. Bantal panda kesayanganku. Ah, akhirnya. Aku pulang. Ya ! Setelah aku pingsan saat kemoterapi terakhirku. Mungkinkah aku sudah sembuh total? Kuharap iya. Hanya saja, di luar sangatlah ramai.
Aku melihat banyak orang memasuki rumahku. Berbondong-bondong memasuki ruang tamuku yang meja kursinya sudah dipindahkan, diganti tikar yang terbuat dari anyaman sedotan. Satu per satu dari mereka masuk dan duduk di ruang tamu. Bahkan si Merry yang selalu membullyku di kelas, yang selalu mengejekku si lamban, hadir dalam kerumunan itu.
Tu..tunggu. Itu.. Bukankah itu Rey? Ya. Aku kenal rambut hitam itu. Untuk apa ia datang kemari? Mengapa wajahnya dibuat-buat prihatin seperti itu? Kasihan? Hah. Ke mana dia selama 4 tahun ini? Menghindar? Menungguku benar-benar sembuh? Penghianat. Ku hampiri saja dia.
Aku memakai kain yang biasa aku gunakan untuk menutupi kepalaku. Aku menghampirinya yang kini tengah duduk di pojok ruang tamu, menunduk.
"Heh. Ada apa kemari? Ke mana saja kau selama ini? Ah ya, sahabat selamanya. Itu mash berlaku ya? Omong kosong." Ia terus saja menunduk, tak memperhatikanku. Bahkan tak meminta maaf !
"Hey, Reyhan Aji Satya Priambada. Kau dengar aku tidak?" Apa-apaan ini ? Mengapa ia tak mampu mendengar teriakanku? Aku berlari menghampiri Mama di teras depan. Hingga akhirnya, aku terduduk lemas. Melihat seseorang mirip denganku sudah berada di tengah-tengah ruang tamu ditutupi kain berwarna putih. Papa tengah mengusap pundak Mama yang tengah menangis tersedu-sedu. Sementara Nia sedang dipeluk oleh tetangga sebelah. Rey ? Ia tampak tengah mengusap bulir air matanya yang kini semakin deras ! Sembari mengucapkan maaf berulang-ulang kali. Merry menutupi wajahnya sembari menangis sesenggukan.
Aku mendekati seseorang yang mirip denganku itu. Wajah pucat dan bibir tipis berwarna putih keabu-abuan. Kepala gundul tanpa sehelai kain. Itu aku ! Tak salah lagi. Itu aku..itu aku..itu akk...SPLASSHH. Cahaya putih menyilaukan pandanganku yang masih duduk bersimpuh di depan jasadku. Satu hal yang harusnya kusadari dari awal cerita.. "Aku sudah pulang..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Pulang !! (1/1)
Short Story"Biasanya kamu bisa kan, Sayang? Pasti yang ini bisa. Jangan khawatir. Mama, Papa, Nia, selalu mendoakanmu. Yang kuat ya, Sayang. Mau sembuh kan?" "Ma, aku mau pulang." Mama hanya menggenggam tanganku kemudian melepaskannya dan menunggu di luar rua...