Chapter 3 | Terror

16.6K 2K 64
                                    

Menjatuhkan kepala di meja kerja, Sani menghela napas berat. Sebentar lagi akhir pekan, itu berarti kepulangannya ke kota kelahiran semakin dekat, dan tanggal reuni pun di depan mata. Sebenarnya bisa saja gadis itu memutuskan untuk tidak pergi, tapi ancaman Finka padanya beberapa hari terakhir membuat Sani pusing sendiri. Sahabatnya yang satu itu bersikeras akan menyeretnya pulang jika Sani berniat tidak datang. Ah, kenapa masalah reuni saja bisa jadi pelik begini.

"Kenapa lo?" tegur seorang pria memukul kepala Sani pelan menggunakan majalah yang dibawanya.

"Sakit, kunyuk!" dengus Sani mengusap kepalanya yang bekas dipukul.

Pria itu hanya mengangkat bahu tak peduli. Bersandar pada meja kerja Sani yang kini menatapnya tajam.

Namanya Asta Braga Diningrat, salah satu photografer redaksi majalah tempat Sani bekerja. Dari apa yang nampak, Asta mungkin terlihat normal layaknya pria lain. Tapi bagi Sani tidak! Teman satu universitasnya itu tidak lebih dari pria freak yang kadang akan sangat menyebalkan tanpa tahu tempat. Meski di satu sisi kehadiran Asta punya keistimewaan tersendiri dalam hidup Sani.

Asta mengangkat majalah di tangannya, menunjukan cover majalah yang memuat

salah satu pengusaha muda yang baru-baru ini disorot publik karena karir cemerlang yang orang itu miliki. "Design-nya lumayan, lebih bagus dari minggu lalu. Berkat foto yang gue ambil juga sih ya."

Mencibir tanpa suara, Sani mengalihkan perhatiannya pada monitor komputer di meja. Berusaha menggeser tubuh besar Asta agar pria itu tidak menganggu pekerjaannya.

"Minggat lo sana, ganggu kerjaan orang aja."

Asta melirik monitor yang kini menjadi pusat perhatian Sani, bergantian mengarahkan matanya pada gadis itu lalu kembali ke monitor. Pria itu melipat tangan di dada, menggeleng takjub pada gadis yang sudah dikenalnya 7 tahun belakangan.

"Jadi kerjaan lo baca novel online? Lo digaji si Bos buat itu?"

Pura-pura tuli, itulah cara satu-satu yang akan Sani lakukan jika dirinya sedang tidak ingin diganggu siapa pun. Sayangnya Asta terlalu hafal tingkah sahabatnya itu, hingga dengan melihat dan membaca raut wajahnya saja Asta sadar, bahwa ada yang sedang mengganggu pikiran Sani hingga gadis itu bertingkah sensitif seperti ini. Dan bukan Sani jika dia dengan sukarela mau menceritakan masalahnya, gadis itu tipe yang akan menyimpan masalahnya hingga busuk hingga bangkainya saja sulit tercium baunya.

"Ada masalah?"

"Anak SMA ngajakin reuni."

Dan satu lagi sifat Sani yang membuat Asta tidak bisa jauh-jauh dari gadis itu. Meski dia tipe yang tidak akan cerita jika tidak ditanya, Sani gadis menyenangkan yang akan to the point jika rekan bicaranya sudah mengenalnya dengan cukup baik, lantas menceritakan semuanya tanpa basa-basi.

"Bagus dong, kesempatan ketemu cinta lama belum kelar."

Ucapan Asta memancing Sani untuk meliriknya tajam. Sepertinya keputusan untuk menceritakan masalahnya pada Asta salah besar. Seperti yang diduga, Asta selalu membawa arah pembicaraan mereka menjadi sebuah lelucon. Meski Sani tahu, itu hanya cara Asta untuk meringankan sedikit kadar kemelut benaknya. Tapi kali ini Sani benar-benar tidak sedang ingin bercanda.

"Nggak lucu ya?"

"Perlu diperjelas?"

Asta menggeleng, meletakan majalah di tangannya lalu meraih pundak Sani lantas menggerakan tubuh gadis itu agar beranjak dari tempat duduknya. "Dari pada lo uring-uringan mending kita isi perut dulu," ucap Asta menggiring Sani keluar dari kubik kerjanya.

Kedua orang itu akhirnya memutuskan makan siang di warteg dekat kantor. Sambil menghabiskan waktu istirahat siangnya, Asta tidak lupa mengintrogasi Sani lebih dalam. Pasalnya jika sambil makan begini Sani lebih enak diajak bicara.

ReuniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang