Chapter 5 | Menatap Mereka

15.2K 1.9K 30
                                    

Sani bersandar di jok belakang, dengan dahi menyentuh kaca menatap ke luar jendela. Sementara Finka mengisi back sound situasinya saat itu. Ada saja yang Finka komentari setelah setengah jam lalu menjemput Sani di kosan. Yah, wanita itu benar-benar menjemputnya sesuai janji, meski Sani tidak terlalu serius saat memintanya.

"Loh tuh ya, hidup yang layak bisa kali, San. Kamar kosan kok berantakan kayak kandang ayam gitu." Itu komentar pertama Finka setelah Sani mendudukan dirinya di mobil Hendra—tunangan Finka. Belum lagi komentar-komentar sadis setelah itu yang hanya Sani tanggapi dengan desahan napas.

Hendra melirik Sani dari kaca spion, memastikan gadis itu masih dalam keadaan baik-baik saja setelah diceramahi Finka habis-habisan. Beruntungnya Hendra lumayan mengenal Sani, sahabat tunangannya itu cukup bisa mengerti kalau tunangannya cerewet itu berarti untuk kebaikan orang itu sendiri.

Finka masih terus mengoceh hingga lima belas menit kemudian ia akhirnya diam. Entah karena lelah terlalu banyak bicara atau sudah habis bahan omelan. Yang pasti meski Sani tidak bereaksi apa-apa karena omelannya, ia tahu Sani tetap mendengarkan. Sekali lagi Hendra melirik Sani, gadis itu masih setia mengarahkan pandangannya keluar jendela mobil.

"Gimana kalau kita makan siang dulu?" tawar Hendra, beralih pada Finka setelah Sani membalas tatapannya.

"Ide bagus!" seru Sani tanpa membuang waktu.

Hendra tersenyum, sementara Finka sudah kembali mengoceh panjang lebar karena reaksi Sani lebih baik dibanding saat Finka bicara panjang lebar padanya tadi.

***

Menyeruput es jeruk sampai habis, Sani mengakhiri sesi makan siangnya hari itu. Entah mengapa setelah mendengar ceramahan Finka perutnya terasa amat lapar, padahal sebelum berangkat dari kosan tadi ia sudah makan nasi uduk langganan yang biasa ia beli tidak jauh dari kosan.

Lagi-lagi Finka cuma bisa menggeleng jengah melihat Sani. Gadis itu bisa makan amat lahap tanpa khawatir jika berat badannya naik. Meski Finka akui, tubuh Sani saat ini dengan saat di SMA dulu tidak jauh berbeda. Lain halnya dengan Finka, ia harus susah payah menjaga berat badannya yang bisa kapan saja naikdan merusak ukuran gaun pernikahannya.

"Jadi, nanti malem lo berangkat bareng gue kan?"

"Bukannya lo bareng Mas Hendra?" tanya Sani balik, menaikan pandangannya.

"Ya kan bisa berangkat bertiga."

Sani mengibaskan tangannya, menyeruput es jeruknya sampai habis lantas bersuara. "Nggak deh, gue berangkat sendiri aja. Berasa apa banget gue berangkat bareng sama orang yang pacaran."

"Kayak sama siapa aja, San." Hendra tertawa, disambut Finka dengan anggukan.

"Ini bukan masalah kita udah kenal lama atau belum gitu loh, Mas. Tapi masalahnya ada pada kata 'dua orang yang pacaran'-nya itu. Berasa setan yang ada di tengah-tengah saya."

Finka memutar bola mata. Alasan macam apa itu? Seperti baru pertama kali saja mereka pergi bertiga. "Jangan bilang lo pakek alesan buat nggak dateng kan nanti?"

"Ya ampun... Gue dateng, Fin. Dateng! Nggak percayaan amat sih sama gue?"

Menatap sinis, Finka membuang pandangannya dari Sani. Mengaduk-aduk es teh pesanannya yang tinggal separuh. "Ya siapa tahu aja. Lagian lo segitu ngototnya nggak mau dateng setiap kali ada reunian. Memangnya kenapa sih?"

Hampir saja Sani tersedak air liurnya sendiri. Pertanyaan Finka ini apa tidak bisa di skip saja? Bertahun-tahun berusaha menghindar jika ada reunian, kenapa baru kali ini Finka mengajukan pertanyaan macam itu?

Menggaruk hidung, dagu, dahi. Sani memutar otak untuk mencari cara bagaimana ia bisa menghindari pertanyaan ini dari Finka yang pasti akan mengintrogasinya habis-habisan. Jangan kali ini, Sani mohon jangan kali ini Finka memaksanya untuk cerita. Sani bahkan berharap Finka tidak sadar atau bahkan lupa pada pertanyaannya. Karena sungguh, jika bisa, Sani tidak ingin menjawab pertanyaan itu selamanya.

ReuniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang