l è x i

Batasan

Malam ini kia kembali menangis. Sudah dipastikan besok matanya akan sembab lagi. Siang tadi, dia baru saja dikerjai hingga kaki dan tangannya berdarah. Belum lagi cacian yang ia terima

Jangan tanya kenapa. Ini bukan pertama kalinya dia dibully karena membela yang benar. Kadang abi, pacarnya menyuruhnya untuk berhenti ikut campur. Tapi, hatinya menyuruhnya untuk membela yang tertindas.

Jujur saja dia sendiri lelah. Entah memang dia baik atau terlalu baik.

Kia dulunya seorang gadis periang. Dia punya beberapa teman dekat. Dia bukan tipe gadis eksis yang punya banyak teman, tapi dia mau berteman dengan siapa saja.

Tapi kia tidak bisa terus berada di smp, bukan. Dunia yang baru menunggunya.

Tapi sayangnya, dunia itu tidak seperti yang ia bayangkan. Disini seperti hutan rimba. Yang kuat yang berkuasa. Mereka seolah lupa dengan ideologi kecil yang mereka junjung tinggi dahulu, pertemanan yang tulus. Cih, apanya yang tulus! Mereka bahkan rela mem- bully orang lain, merendahkan otang lain, demi berada di puncak rantai makanan. Menjadi yang disegani.

Kia termenung memikirkan hal itu. Bukannya orang baik yang akan menang? Batinnya. Tapi ini bukan akhir.

Dia berbuat baik kepada orang lain, mencoba mengerti segala keluh kesah orang lain. Tapi apakah ada yang mau mendengarkannya setulus saat dirinya sendiri?

Apa mungkin aku hanya iri?.

Dunia nya terasa begitu tidak adil. Ia berusaha selalu berbuat baik, sementara mereka dengan sengaja menyakiti orang lain. Tapi lihat apa yang ia punya? Kia cuma anak yang didik secara sederhana, tidak punya banyak barang mewah juga kenalan yang banyak. Tapi kia merasa mereka punya segalanya.

Rasanya tidak adil! Mereka berbuat jahat dan pubya segalanya. Mereka menyakiti kia, fisik dan mental.

Aku sudah lelah. Kepalanya mulai terasa berat akibat 10 kaplet painkillers. Seharusnya obat ini meredakan sakit di fisik juga fikirannya.

Tidak beberapa menit ia sudah tidak bisa merasa sakit apapun, dan detik itupun ia jatuh kedalam tidur lelap yang sangat panjang.