Pertandingan

13.6K 475 15
                                    

Bunyi peluit panjang dari wasit, disambut sorakan ramai para supporter dua klub sepakbola yang sedang bertanding, memenuhi stadion Gelora Bung Karno sore itu. Papan angka menunjukkan skor 3-1 untuk kemenangan Gerilya Persada melawan Sangkuriang Utama dalam laga final Liga Piala Indonesia. Para Gerilyawan, sebutan untuk supporter Geripa, yang mengenakan kaus serba merah, bersorak tidak henti dari bangku mereka, menyerupai lautan darah di sana. Di sisi lain, masuk dalam kaum minoritas, supporter Satama tampak kecewa. Kaus biru yang mereka kenakan tampak mencerminkan suasana hati yang sendu. Berbagai yel-yel yang disorakkan oleh para Gerilyawan terselip ejekan atas kekalahan Satama.

Keadaan di lapangan tidak jauh berbeda, meskipun jumlah manusia yang merayakan kemenangan di sana lebih sedikit. Pemain Geripa saling berjabat tangan akrab dengan Satama. Beberapa dari mereka sampai bertukar kaus. Satama menerima kekalahan dengan suportif, tanpa drama. Permainan hari ini juga cukup bersih, tanpa ada pertumpahan darah di lapangan. Garvin Julian, kapten tim Geripa, mengusap keringat di dahinya dengan lengan kaus. Tubuhnya benar-benar lelah. Dia ingin pulang, mandi air hangat, dan pergi tidur. Tetapi, dia tahu semua ini belum selesai. Masih ada upacara penerimaan medali dan trofi yang harus diikutinya, juga konferensi pers untuk kemenangan timnya.

"Kerja bagus." Coach Guntur, pelatihnya, menepuk punggung Ega pelan. Wajah pria 50 tahun itu terlihat sangat berbinar. Ini kemenangan pertama Geripa sejak beliau menjabat sebagai kepala pelatih. "Orangtua kamu jadi datang?"

Ega hanya tersenyum tipis, seraya menggeleng. Dia melayangkan pandangan ke bangku penonton VIP. Ada tiga bangku kosong di barisan paling depan. Tempat yang seharusnya diisi Papa, Mama, dan Marvin, adiknya.

Coach Guntur mengikuti arah pandang Ega, lalu kembali menepuk punggung kaptennya itu. "Ayo," ajaknya.

Ega mengikuti sang pelatih ke arah podium. Pemilik Geripa, Wirya Gardapati, sudah lebih dulu berada di sana, bersama Andi Wiguna, manajer Geripa. Di belakang Ega, anggota Geripa satu-persatu ikut naik untuk menerima medali mereka. Sebagai kapten, Ega berhasil menampilkan wajah senang. Setidaknya, cukup senang untuk ukurannya sendiri. Dia menyunggingkan senyum kecil saat medali dilingkarkan di lehernya. Juga saat trofi diserahkan padanya, dia berhasil ikut bersorak. Setelah segala macam hal itu selesai, Ega turun lebih dulu.

Seorang wanita berusia akhir dua puluhan, langsung menghampirinya sebelum Ega benar-benar menghilang. "Kamu harus ikut konferensi pers dulu, habis itu kita baru pulang."

Ega menatap Andrea dengan kesal. "Kenapa harus aku?"

"Karena kamu kapten mereka, Darling. Kamu tahu peraturannya." Andrea merangkul lengan Ega, menariknya ke dalam mobil manajemen yang akan membawa mereka ke Gardapati Tower, salah satu gedung milik Gardapati Group. Markas Geripa berada di Lantai 7 gedung 17 lantai itu, sejak setahun terakhir.

Setahun terakhir yang membuat Ega mempertimbangkan untuk menerima tawaran pindah klub.

"Kamu udah jadi trending topic world wide." Andrea bergumam takjub. "Akun official-mu juga penuh mention." Dia menyodorkan tabletnya pada Ega. "Bales gih, satu apa dua gitu."

Ega menggeleng, menatap ke luar jendela.

Andrea berdecak. "Sekali-kali kamu berinteraksi sama fans dong, Ga."

"Aku bukan artis."

Andrea menyerah, membiarkan Ega sibuk dengan pikirannya sendiri, sementara dia membalas beberapa mention atas nama Ega. Sesekali Andrea membacakan isi mention¬ yang menurutnya cukup menarik, tetapi Ega tidak menanggapi. Sepanjang perjalanan mereka, Ega lebih banyak diam, seperti biasa.

Sebuah banner iklan raksasa sebuah produk pembersih muka untuk lelaki, membuat Ega mendengus, lalu membuang muka ke dalam mobil. Andrea ikut melongok untuk melihat, kemudian tersenyum lebar.

Injury TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang