Interested

2.9K 389 13
                                    

Shareefa harus berulang kali mengingatkan dirinya untuk tidak terlalu sering melirik Ega. Dia tidak boleh mempermalukan diri lebih jauh daripada kemarin. Siang ini jadwal pemotretan dan wawancara Ega untuk TeenALova. Seperti rumor yang sering didengarnya, lelaki itu sangat profesional dan on time. Dia sudah ada di gym Geripa setengah jam lebih cepat dari jadwal. Sementara para anak buahnya sedang menyiapkan set untuk pemotretan, Shareefa duduk tidak jauh dari tempat Ega sedang didandani. Andrea tampak sibuk berbicara dengan bagian wardrobe untuk membahas pakaian mana saja yang bisa dipakai Ega.

"Kapan terakhir lo wawancara langsung?" tanya Gili, penasaran, membuat Shareefa mengalihkan lirikannya dari Ega ke gadis itu.

"Dulu, awal-awal gabung. Lupa." Shareefa membaca ulang daftar pertanyaan yang sudah ditulisnya. Dia sudah menghindari semua forbidden question yang diberitahukan Andrea. Meskipun sebenarnya semua pertanyaan itulah yang menarik untuk dibahas, dia tidak ingin membuat Ega murka jika melanggar.

"Oke, guys." Dee, Pimred Lapangan menarik perhatian semua yang ada di sana. "Pertama kita wawancara dulu, nanti Bimo sambil ngambil-ngambil foto juga suasana wawancaranya, buat ngisi layout. Kelar wawancara, baru ke set pemotretan."

Shareefa mengatur napasnya yang tiba-tiba terasa sesak, juga degub jantungnya yang menggila, ketika Ega berjalan mendekat. Lelaki itu mengenakan kaus oblong putih yang dilapisi blazer hitam.

"Hai," sapa Shareefa, berusaha mencairkan kegugupannya ketika Ega duduk di hadapannya.

Ega mengangguk kecil.

"Clip on-nya nyala?"

Shareefa ingin mengutuk dirinya menjadi semut saat itu juga. Pertanyaan macam apa itu?

"Nyala, tadi udah dicoba," jawab Ega.

Shareefa berdeham. "Oke, kita mulai, ya?" Sebelum dia melakukan kebodohan lain. "Sebelumnya, saya sebagai perwakilan TeenALova mau ngucapin makasih karena bersedia diwawancara."

Anggukan lain.

"Boleh kita mulai dengan cek biodata singkat?"

"Silakan."

"Oke..." Shareefa menunduk, melihat catatannya. "Nama lengkap, Garvin Julian, usia 22 tahun. Golongan darah B. Tinggi badan 184 sentimeter, berat 67 kilogram. Pendidikan terakhir SMA Mutia. Kuliah di Universitas Negeri Jakarta, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Jurusan Somatokinetika." Dia menatap Ega. "Bisa dijelasin itu jurusan apa?"

"Olahraga Kepelatihan," jawab Ega, seraya menjelaskan secara singkat jurusan kuliah yang diambilnya.

Shareefa seketika tampak tertarik. "Jadi, kalau boleh saya tebak, cita-cita kamu sebenernya jadi pelatih, ya?"

"Rencana jangka panjang, iya." Ega lalu menceritakan kalau usia karier seorang atlet olahraga tidak bisa berlangsung selamanya. Begitu usia bertambah dan stamina menurun, karier bisa perlahan tamat. Untuk itulah sudah seharusnya semua atlet memiliki plan B dalam hidup mereka, apa yang ingin mereka lakukan begitu sudah tidak menjadi atlet.

"Saya tertarik masalah itu," Shareefa melupakan sejenak Pedoman Wawancaranya. "Saya pernah beberapa kali mendengar kasus seorang atlet yang terpaksa berhenti, entah karena cedera berat atau memang sudah faktor umum, intinya mereka tidak bisa lagi melakukan olahraga yang mereka jalani. Beberapa dari mereka seolah... kehilangan identitas, bingung dan takut untuk melakukan hal lain di luar itu. Mungkin itu juga, ya, yang membuat mereka semua seharusnya memang punya plan B dari awal."

Ega mengangguk. "Nggak usah jauh-jauh, salah satu rekan saya baru saja menjalani operasi lutut karena cedera saat latihan. Itu mengubah hidupnya. Makin membuka mata saya untuk selalu memiliki rencana panjang."

Injury TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang