S a t u

342 16 7
                                    

Rintikan hujan terus terdengar. Dengan jendela transparan sebagai sekat, Litta memandangi tetes demi tetes air yang seakan berlomba menjatuhkan dirinya ke bumi. Ditemani secangkir kopi hangat dengan asap yang mengepul keatas seakan menjadi selimut atas dinginnya udara pagi ini.

Disinilah Litta sekarang berada, disebuah cafe yang interiornya bergaya art deco, dengan lampu bercahaya kuning dan kursi booth berwarna merah. Bagian luarnya bergaya klasik dan khas Perancis, dengan jendela-jendela kaca besar berbingkai kayu dan tempat duduk outdoor di pinggir trotoar. Para pelayan juga mengenakan seragam hitam-putih dan apron putih yang mempertahankan kesan tradisional cafe ini.

Beberapa pelayan sudah mengenal Litta karena hampir setiap hari Litta mengunjungi cafe ini. Namun, beberapa hari terakhir ini Litta tak lagi pernah datang. Kesibukkannya dengan tugas kuliah hampir membuat Litta tidak memiliki waktu untuk bersantai sejenak. Sekarang Litta sedang libur kuliah, sehingga ia menyempatkan untuk datang.

Dengan kebisuannya menatap rintikan hujan, Litta merasakan ada seseorang yang menyentuh pundaknya.

"Hai sayang, " kata Aksel dengan mengulas sebuah senyum yang selalu sukses menbuat hati Litta merasa damai.

"Kamu kok tau aku disini?" tanya Litta.

"Tadi aku habis dari rumah kamu, tapi kamunya gak ada makanya aku kesini," jelas Aksel.

Aksel yang duduk dihadapan Litta merasa kalau sejak tadi Litta menatapnya dengan tatapan tersirat penuh makna. Kekuatan cinta Aksel seakan menjadi pusat informasi yang mengatakan kalau Litta sedang dalam keadaan, takut.

"Kamu kenapa ngeliatin aku gitu? Kangen ya?" Kata Aksel sembari mencubit hidung Litta dengan manja.

Aksel mencoba mencairkan suasana. Ia tahu kalau Litta saat ini sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja. Litta hanya diam tak menjawab. Ia bisu dengan segala ketakutannya. Ia hanya bisa tersenyum lembut melihat tingkah lucu Aksel.

Bagi Litta sosok seseorang Aksel Ganendra Ardani sangat berarti dalam hidupnya. Mencintai kekurangannya dan menjadikan kelebihan sebagai penutup kekurangannya. Litta menyayangi Aksel dengan apa adanya. Litta menyayanginya ketika Aksel mulai berusaha mengulurkan tangannya pada disaat Litta terjatuh. Disaat Litta menangis, uluran tangan Aksel selalu siap menghapus air mata Litta. Di saat Litta putus asa, Aksel datang untuk memeluk dan berkata "kamu tidak sendirian, aku akan selalu ada disampingmu."

Diamnya Litta sedari tadi membuat Aksel terus bertanya-tanya. Ketakutan apa yang sedang Litta sembunyikan. Aksel mencoba menanyakan hal itu melalui sorot matanya sembari menatap mata Litta dengan lekat. Aksel merasa ada suara yang keras meronta dan memintanya untuk mengerti tiap kata yang keluar dari untaian tatapan mata Litta.

"Mereka bilang aku terlalu mencintaimu, mereka tidak akan pernah tahu bawha takut kehilanganmu lebih besar daripada itu." Sorot mata Litta mencoba mengadu.

Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut Litta atau pun Aksel. Litta mengalihkan pandangannya ke kaca besar yang mengarah ke luar cafe. Beberapa menit kemudian pesanan Aksel datang.

"Kamu baik-baik ajakan Litt, kamu kok dari tadi diem aja sih?"

"Iya, aku baik-baik aja kok," jawab Litta.

"Gimana kuliah kamu?" Litta mencoba mengalihkan pembicaraan, mencairkan suasana yang mendadak canggung.

"Ya gitu deh. Biasa-biasa aja." Aksel menjawab dengan tertawa kecil.

Pagi ini Litta dan Aksel menghabiskan waktu bersama-sama. Berdua. Melepas rindu.

***

Saat ini Litta sudah memasuki semester enam di salah satu Universitas ternama di Jakarta. Sejak memasuki bangku perkuliahan Litta memutuskan untuk tinggal bersama Roland Alvaro Refandra, kakaknya. Sejak kecil ia terbiasa tinggal bersama kakaknya karena kedua orang tuanya memutuskan untuk menetap di luar negeri mengurus bisnisnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 09, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

COMPLECATED.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang