Anindya melirik kembali jam tangannya. Sudah lima belas menit dia menunggu di Kedai Kopi ini. Menunggu seseorang yang seharusnya tidak layak untuk ditunggu. Seseorang yang seharusnya tidak datang lagi pada kehidupannya yang mulai tertata kembali. Namun, siang tadi sebuah pesan masuk mengusik pikirannya. Pesan dari Bayu Dirgantara. Bayu meminta untuk bertemu dengannya. Dan seharusnya Anin-begitu wanita itu sering disapa, tidak meng-iya-kan ajakan Bayu. Setelah apa yang terjadi diantara mereka. Mungkin orang-orang akan menganggap Anin tidak punya rasa sakit. Tapi kembali, sebuah perasaan menggelitiknya untuk datang ke Kedai Kopi ini.
Petang mulai menjelang, jalanan mulai padat oleh deretan mobil-mobil yang terjebak macet.
Macet?
Mungkin saja Mas Bayu terjebak macet. Pikir Anin.
Anin mengetuk-ngetuk meja dengan kukunya. Dia mencoba mengusir rasa bosan dengan melihat-lihat media sosial lewat iPhone miliknya. Lalu, datang seorang pelayan.
"Maaf Mbak, mau pesan sekarang?" Seorang pemuda tersenyum manis saat bertanya kepada Anin.
"Sebentar Mas, saya sedang menunggu seseorang." Jawab Anin.
"Baik kalau begitu, saya permisi Mbak."
Setelah pelayan itu pergi, Anin kembali menyibukan diri pada iPhone miliknya. Saat Anin melihat jam tangannya, waktu menunjukan pukul enam. Namun Bayu tak kunjung datang.
Lima belas menit lagi, pikir Anin.
Anin akan menunggu lima belas menit lagi. Dan kalau Bayu tak datang juga, maka Anin akan pergi.
Lima belas menit kemudian...
Sudah cukup!
Anin memasukan kembali iPhone-nya kedalam tas. Dia bersiap untuk pergi. Sudah cukup, dia menunggu selama tiga puluh menit, namun Bayu sepertinya tak akan datang.
Tapi, saat Anin hendak beranjak dari mejanya. Sebuah suara menghentikan pergerakan Anin.
"Maaf, saya terlambat."
Anin melihat Bayu.
Bayu datang tepat ketika Anin akan pergi. Sejenak, mereka hanya saling menatap, menilai satu sama lain. Mencari perubahan yang mungkin mereka dapati.
Bayu, terlihat rapi dan tampan pastinya. Mengenakan setelan abu-abu muda yang dipadukan dengan kemeja biru langit tanpa dasi. Anin melihat sosok Bayu. Sosok yang selalu dia rindukan meski seharusnya dia benci. Sosok Bayu tak berubah. Masih sama seperti terakhir kali Anin melihatnya. Tampan, maskulin dan manis dengan dua lesung di kedua pipinya. Hanya ada kumis dan berewok yang membedakan penampilannya. Namun, itu justru membuat Bayu semakin dewasa.
Sementara itu, Bayu juga memperhatikan sosok Anin, Anindya Larasati. Wanita yang dulu sangat ia cintai. Masih secantik dulu, namun waktu telah membuat Anin lebih dewasa dan anggun. Membuat Bayu kembali menyesali kebodohannya karena meninggalkan Anin.
"Kamu mau pergi?" Tanya Bayu ragu-ragu.
"Iya, saya sudah menunggu selama tiga puluh menit namun Mas tidak datang juga. Ya jadi-" Anin mengangkat bahunya.
"Maaf Nin, saya tadi terjebak macet. Silahkan duduk, atau kamu tetap mau pergi?"
Anin memutuskan untuk duduk kembali dan berharap semoga Bayu segera mengatakan apa yang ingin dia katakan dan setelah itu, Anin bisa pulang dan kembali menjalani hidupnya.
"Kamu belum memesan kopi?"
"Belum, saya menunggu Mas datang."
"Oh, Mas!" Bayu memanggil pelayan untuk memesan minuman.