Oh iya aku lupa. Ini aku kasih tau ya, kalau cerita ini POV nya sesuai yang ada di judulnya ya. Kalau misalkan dijudulnya itu 'Klarisa...', berarti itu Klarisa POV. Kalau misalkan dijudulnya itu 'Rendra...', berarti itu Rendra POV. Udah ya penjelasannya.
Maap kalo ada typonya.
Selamat membaca.= = =
"Huuhh..." keluh gue dengan begitu lelah. Pake banget! Banget! Banget!
Akhirnya setelah berkas-berkas laknat ini telah disirnakan dari muka bumi ini atas perintah iblis laknat itu, gue pun beristirahat sejenak. Sesekali gue lirik Rendra yang tengah sibuk menatap layar laptopnya dengan serius. Gue bingung kenapa matanya betah banget memandangi layar bercahaya itu? Nanti kalo layarnya pecah nangis neh! Eh, tapi kan itu beradiasi? Iya gak sih? Ah, jawabnya nanti aja deh.
"Eh, tugas gue udah kelar. Gue mau keluar"
Tak ada tanda-tanda bahwa Rendra akan merespon perkataan gue dalam waktu dekat. Malah sekarang jari-jarinya tengah menari diatas keyboard sialan itu.
'Ni orang maunya apa sih? Ngajak kelahi kah?' tanya gue dalam hati.
"Woii, lo punya telinga gak sih? Gue mau keluar."
Yang gue teriakin hanya menatap gue sekilas dan menatap laptopnya lagi. Lagi? Argh! Gue lama-lama emosi karena sama anak cecunguk satu ini, siapa lagi kalo bukan ketos sedeng Rendra. Bahkan harusnya dia itu gak pantas dapet posisi tertinggi kalo sikap kehormataannya rendah. Bisa-bisanya dia anggap gue kayak patung. Tanpa menunggu tanggapan Rendra yang begitu menyebalkan, gue pun bergegas pergi meninggalkan ruangan terkutuk itu. Ralat, meninggalkan ruangan yang berisikan orang terkutuk itu. Nah, baru bener.
= = =
Di sepanjang koridor, gue terlampau kesal. Memang tiap hari gue selalu kesal setelah keluar dari ruang OSIS itu. Badmood gue langsung mode on dengan sendirinya. Saat ini gue tengah berdumel sambil marah kayak ala-ala drama gitu sampai-sampai gue udah kayak orang gila yang kabur dari RSJ. Masa Klarisa Adriana Agatha yang cantik badai uhlala ini mirip kayak orang gila sih? Hell no! Beberapa pasang mata yang lewatin gue hanya bisa menggelengkan kepala seraya heran. Gue mah masa bodo.
"Enak aja tuh si 'cecunguk' itu nyuruh- nyuruh gue. Mana di kacangin mulu. Di sangka gue robot pembokat kali ya. Tau ah bodo"
Umpatan gue terus dilontarkan hingga gue sampai dikantin. Bener-bener gak kerasa kalo gue udah jalan jauhnya sepanjang jalan kenangan. Bener kata orang-orang kalo ngomong sambil jalan itu bisa buat kita jadi gak ngerasa capek. Tapi sekarang tenggorokan gue nih yang udah kayak padang pasir. Kemudian gue langsung mengambil tempat duduk favoritnya dan segera memberi kode, lebih tepatnya meneriaki penjual makanan langganan gue dan menyuruhnya untuk membuatkan pesanan gue, Klarisa yang paling cantik ini. Ingat itu ya.
"Mang Salim, mie ayam biasa. Es jeruk, es batunya banyakin kayak biasa" teriak gue tanpa dosa.
"Yoi neng," jawab Mang Salim.
Gue suka nih gaya bicaranya Mang Salim, kayak anak-anak kekinian. Alhasil dari teriakan tadi, gue pun mendapat tatapan aneh dari seluruh anak yang ada di dalam kantin. Tapi gue mah santai aja. Itu berarti tandanya kalo gue makin banyak fans-nya. Ahahaha. Tingkat PD gue meningkat drastis nih. Aduhai.
Tak perlu menunggu lama, pesanan gue pun datang. Tanpa berfikir dua kali, gue melahap habis pesanan itu tanpa ampun. Memang gue itu benar-benar kejam. Tapi gue juga gak bisa bohong kalau saat ini perut gue laper, mengingat tadi gue habis mengerjakan tugas laknat itu. Gue mah gak jaim orangnya, kalo laper ya laper. Gak perlu nahan selera kalo itu ngebuat gue jadi gak elegan lagi di depan orang lain. Yang penting kebutuhan gue terpenuhi. Dalam sekejap, mie ayam gue udah gak bersisa lagi di mangkuk. RIP lah kau mie ayam yang enak.
KAMU SEDANG MEMBACA
True Love
Teen FictionSometimes love doesn't give you something of what do you want. But love can give you something that you never thought in your life. Slowly you'll be happy with that. Copyright © 2016 by Nelly Fitrianingsih