Bumi dan Langit

862 94 12
                                    

Yang paling kuhindari,

Yang paling tidak kusukai dan

Yang paling kubenci

Adalah ketika pemuda itu berkata

.

"Awan bilang, dia terpesona padamu saat senja. Dia menyampaikan salam."

Itu.

Kata-kata itu.

Aku menyipit. Bergeser dua kali dari bangku panjang ruangan ini, menjauhi pemuda yang sejak tadi-sejak sepuluh menit lima belas detik lalu-menyeloteh tak jelas. Sungguh, aku benar-benar muak menjalani komunikasi satu arah ini.

"Kau tak mau membalasnya?"

"Balas apa?" tanyaku menyelipkan nada menantang.

Pemuda itu berpikir. "Hmm. 'Aku juga menyukaimu'? Hahahahaha...."

Dia sakit-dalam artian konotasi.

Aku tersenyum, merasa tersindir. "Oh. Balas seperti yang kau katakan sana. Balas saja apa yang ada dipikiranmu, membuat dia puas dan membuatku-" kuhentikan kalimatku.

Merasa mata itu mulai menatapku dalam.

Wajah datar yang merefleksikan sikap penolakan non verbal.

"apa? Kenapa kau melihatku begitu?"

Dia membuang ekspresinya. "Tidak ada. Aku hanya menghentikanmu dari kata-kata bodoh yang akan menjerumuskanku ke dalam harapan yang dalam. Lebih baik tidak kau lanjutkan, Langit. Ah... bukan lebih baik tidak, tetapi jangan."

"Aku memang menyukaimu. Apa yang salah jika kukatakan aku merasa disingkirkan olehmu karena kalimat barusan?"

"Langit."

"Jangan hentikan aku, Bumi. Kau selalu begitu. Yang kau inginkan sebenarnya, aku tetap jatuh cinta padamu, atau mau bagaimana?"

.

Aku hanya ingin pemuda itu mengerti apa yang kumaksudkan

Tetapi, percuma

Pemuda itu akan terus berpura-pura bodoh

Berpura-pura tidak peka

.

.

Pemuda itu menatapku lagi. Bibirnya menukik sedikit, mencoba tersenyum meski sebenarnya tak ingin. Berlebihan menyematkan nama pada pemuda yang ekspresi dan aura seperti hitam malam ini sebagai 'Bumi'. Tidak... tidak, nama itu terlalu indah dan cemerlang untuknya.

Nama 'Kegelapan' kurasa jauh lebih cocok.

Lebih pantas.

"Maumu, bagaimana?" tanyanya kembali.

Oh, astaga.

Aku diam. Tak menjawab, karena bukan aku yang harusnya menjawab.

Tapi, dia.

Itu pertanyaanku dan dengan wajah santai super dingin itu dia membalikkannya.

Memplagiatnya.

Akhir Pretensi Sang BumiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang