01

34.9K 1.9K 89
                                    

Hujan deras mengguyur kota Seoul hari ini. Membuat Kim Jaejoong mendesah pendek.

Ia tidak suka hujan.

Ia benci hujan.

Ia sangat membenci Petrichor itu.

Namja cantik itu menangkup wajah cantiknya di antara kedua lengannya yang menumpu di atas meja miliknya. Tidak mengacuhkan suara Minho Songsaenim yang sedang menjelaskan materi peradaban dunia di depan sana.

Ck, kenapa jam terakhir hari ini harus pelajaran Sejarah eoh? Dan lagi, kenapa harus turun hujan? Jaejoong mengeluh kesal.

Menutup telinganya memalingkan wajah dari jendela kelas yang terletak tepat di samping kursinya. Membuat Kim Junsu, teman sebangkunya yang berwajah imut itu menoleh memperhatikan dirinya.

  "Kau baik-baik saja?"

Jaejoong mengangguk samar. Perutnya mual. Ia ingin pulang.

  "Alergi Petrichor-mu kambuh lagi?"

Jaejoong kembali mengangguk. Dan ia sangat-sangat bersyukur ketika bel pulang berbunyi nyaring. Mengejek Minho Songsaenim untuk segera menutup buku Sejarah sialannya itu dan melangkahkan kaki keluar meninggalkan kelas XII-3 ini.

  "Um, Jaejoong, aku bisa mengantarmu, kalau kau mau" Tawar Junsu menggumam.

Namja cantik itu mengangkat wajahnya. Ia menggeleng dan tersenyum kecil.

  "Appaku sudah berjanji akan menjemputku hari ini" Bisiknya.

Oh!

Kedua mata sipit Junsu melebar dalam sekejap. Namja imut itu menatap tidak percaya wajah cantik sahabatnya. Ia memekik lantang.

  "Benarkah?! OMO!"

Jaejoong terkekeh kecil. Ia mengangguk sombong.

  "Yeah, aku juga tidak percaya" Ujarnya mendukung Junsu.

Namja imut itu tertawa geli. Ia memeluk Jaejoong sejenak dan segera meraih tas sekolahnya.

  "Kalau begitu aku pulang duluan! Jja ne Joongie, selamat pulang bersama Appamu!"

Jaejoong memasukkan bukunya ke dalam tas. Ia mengangguk dan melambai kepada Junsu. Memperhatikan teman-teman sekelasnya yang sudah pergi meninggalkan ruangan. Namja cantik itu mendesah. Ia tersenyum kecil.

Finally.

Setelah sekian tahun sejak ia masuk sekolah, baru kali ini Appanya –Hangeng Kim- mengangguk tanpa beban ketika ia meminta untuk dijemput olehnya. Oh, betapa senangnya tuan muda Kim yang satu ini. Appanya adalah pengusaha super sibuk yang pernah ada. Ummanya sudah lama meninggal, dan Appanya tidak pernah –hampir tidak pernah- berada di rumah lebih dari satu minggu.

Namja cantik itu berjalan ringan memasuki lift sekolahnya dan menekan tombol ke lantai satu. Bahkan ia sedikit melupakan derasnya hujan hari ini. Uh, um, Ummanya meninggal di hari hujan. Dan Jaejoong tidak akan pernah bisa melupakan bau tanah galian yang bercampur dengan air hujan di hari itu.

Ia benci.

Ia benci segala hal yang berbau hujan, mereka seakan mengejeknya setiap saat.

Berbisik padanya betapa malang dirinya, dilimpahi kekayaan tanpa kasih sayang.

TAP TAP TAP.

Langkah kaki Jaejoong mengisi lobi sekolah yang sudah sepi. Mata bulatnya menatap beberapa mobil mewah melaju meninggalkan perkarangan sekolahnya. Namja cantik itu mendesah pendek. Mungkin Appa sedang rapat, pikirnya. Jaejoong memilih untuk duduk di kursi depan, menahan mualnya ketika hidungnya menghirup sang Petrichor.

RICHIE HO RICHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang