Keset Kantor

55 3 2
                                    

"Woy,, Mel. Udah kelar belom?"

"..."

"Mel, jawab sih! Kayak orang budeg lo!" Pinta Pia tidak sabar.

"Bentar lagi, please bentar lagi. Lu bisa tunggu kan, Pia?" Tanya Mel sambil terus merapikan kertas yang berserakan di atas meja kantornya. Wajah bingung dan lelah sangat tampak dan wajahnya.

Pia terus bersungut, "Apalagi yang kurang?"

Mel menggeleng tanpa menjawab membuat Pia langsung geram. Ia pun langsung mendekat ke meja kantor tempat Mel berdiri sambil terus menyusun kertas. "Sini gue bantu." tukasnya.

Mel tersenyum sumringah, "Baik banget lo, Pi."

"Biar cepet emangnya lo gak mau pulang?" Tanya Pia sedikit ketus. "Apa yang mesti gua bantu?"

"Lo bisa streples kertas kertas ini jadi satu gak?"

"Yang mana? Yang itu?" Tunjuk Pia pada bundelan kertas yang sudah Mel susun 10 menit sebelum waktu pulang. Pia meraih bundelan - bundelan kertas dan streples. Namun matanya melotot dan bibirnya langsung nyerocos, "Lo yang bener aja, Mel. Ini mah kertas hasil rapat bulan bulan yang kemaren." Dengusnya.

"Iya, Pi. Pak Sam minta gue untuk nyusun ini semua sevelum pulang." Jawab Mel.

"Ko lo mau ajah sih? Ini kan bukan tugas lo. Mana sinih biar gue kasih tau Pak Imron tentang kelakuannya Pak Sam. Dia yang sebagai notulis ko jadi lo yang ngerjain kerjaannya dia. "
Ucap Pia setengah meledak.

Segera Mel menunda keinginan teman kantornya yang bringasan itu. "Please pia. Gue lagi gak mau berdebat tentang apapun dan dengan siapapun. Lagi pula tinggal distreples doang ko. Gak jadi masalah sama gue." Kata Mel pasrah.

"Tau gak sih lo? Kalo sikap lo terus terusan begini jangan salahin gue kalo lo bakalan jadi korban bullying mereka."

"Mereka itu siapa, pi?" Tanya Mel Polos. Tangannya terus menyetreples bundelan kertas yang tidak jadi dikerjakan Pia.

Pia lagi-lagi mendengus kesal atas kepolosan teman barunya di kantor. Menurutnya Mel itu gadis yang pintar dan baik hati namu kepolosannya selalu dijadikan alasan teman kantornya untuk mengerjainya alias mem-bullynya.

"Ya mereka, Mel. Yang sering nyuruh kerja ini itu, fotokopi dokumen, buatin kopi, sama beliin donat, malah ada yang minta lo untuk ngambil barang di tempat laundry."

Mel menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil terus mengingat kejadian tersebut satu per satu. "Enggak ah, mereka cuma minta tolong bukan nyuruh, Pi."

"Ya Allah, Mel. Gue jadi bingung sama otak dan hati lo."

Mel selesai dengan bundelan terakhir, "Gue udah kelar nih. Yuk pulang!"

Pia menatap Mel dengan kasihan. "Please, Mel. Peka dikit kek."

Mel hanya membalas dengan senyuman ringan. "Udah ayo!" sambil menarik lengan Pian dengan manja.

😁😁😁
Mel alias Amelia Hadi, gadis yang baru pertama kali mencicipi dunia kerja setelah setahun lulus dari sekolah menenga kejuruan terkenal di Jakarta. Dia merupakan karyawan termuda yang bekerja di perusahaan penerbit dan percetakan. Dan gadis yang ia gamit lengannya bernama Novia Janitri, teman baru di kantor Mel. Sosoknya sudah seperti kakak bagi Mel karena usia yang tidak terpaut jauh. Pertama kali perkenalan mereka langsung akrab seperti teman lama yang baru dipertemukan kembali.

Mereka bekerja di bagian yang sama dengan meja yang bersebrangan. Ruang editing, dimana semua keinginan dan keluhan para author wajib didengar.

Tiba-tiba saat kaki mereka terus melangkah keluar dari lift. Mereka berhenti. Ada perbincangan antar karyawan di lorong samping ruangan publishing.

Wanita berkaca mata merah berkata kecil sambil terkekeh, "Eh, lo semua kenal si Amelia Hadi anak baru itu kan?"

"Iya, gue kenal. Anak baru lulusan SMK yang masuk masuk langsung jadi editor?" Jawab wanita bersyal hijau. Mereka sama-sama berdiri di lorong yang langsung menghadap ke jalan raya ibu kota sambil masing masing mengenggam segelas kopi.

Wanita berkaca mata menimpali dengan candaan pedas. "Tau gak sih lo? Gadis ingusan kayak dia cuma jadi keset kantor di ruangan editing."

"Hah. Serius lo? Gue denger denger dia berbakat lo."

"Berbakat tapi cuma lulusan sma sederajat apa gunanya disini? kita yang lulusan s1 desain grafis cuma karyawan kontrak. Gue pikir si doi harus kerja lebih keras dari kita, tuh."

"Gue denger dari anak editing bilang si doi cuma jadi pesuruh doang tuh dan gak lebih."

"Duh, miris amat nasibnya."

Di balik dinding yang memisahkan lift dengan lorong Mel tertunduk sedih. Pia terlihat prihatin pada teman yang sudah dianggap seperti adik sendiri.

"Mel, lo denger sendiri kan dari mulut mereka?"

Mel diam dan tidak menjawab. Seribu pertanyaan mungkin terus terlintas di kepalanya.

"Mel lo harus peka dan berani nolak permintaan mereka. Jangan kayak gini terus. Harga diri lo bakalan terus diinjek-injek." ucap Pia tak kalah sedih.

Mel mengangkat wajahnya kembai, "Biarin mereka mau bilang apa tentang gue. Gue gak akab ngebales."

"Kalo gak bakal ngebales setidaknya lo bisa berubah sedikit. Jangan polos polos amat jadi orang." tukas Pia.

"Oke bakalan gue coba." ucap Mel datar.

😁😁😁

Keset kantor. Itu adalah kata yang akan terus terngiang dalam benak Mel. Sebenarnya ia tidak merasa sakit hati namu ia hanya merasa penasaran. Apakah keset kantor yang selalu dianggap remeh dan acuh ini bisa membuat mereka menghormatinya lebih dari kain sutera.

Mel semakin berpacu untuk terus membuktikan dirinya memang berbakat sebagai editor.

Sementara Pia hanya terdiam melihat reaksi Mel yang selalu datar dan tidak ekspresif. "Kalo gue udah jadi lo, Mel. Bakalan gue cabik-cabik tuh mulut mereka berdua." Gumam Pia dalam hati.

Mereka kembali meneruskan jalan untuk pulang.

Batas CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang