Bimo.
Aku kembali mengingat saat aku pertama mengenalnya. Seorang gadis cilik berusia 6 tahun yang kerap bermain di pinggir pantai. Amanda Fabella atau yang bisa kusebut Manda sahabat kecilku dulu. Kami bertemu karena Ayah kami menggeluti profesi yang sama, yaitu seorang nelayan. Dulu kami kerap bermain bersama di pinggir pantai dan ikut ayah kami mencari ikan. Tragisnya kita melakukan hal-hal menyenangkan itu hanya 1 tahun. Ketika Manda berusia 7 tahun dan aku berusia 8 tahun, ayahku meninggal dunia. Kapalnya karam terjebak badai di laut lepas. Aku masih mengingat betul kejadian mengerikan itu. Yang membuat ibu menangis hebat, tak lama setelah kepergian ayah,aku dan ibu pindah ke kota Bogor dan tinggal bersama nenek. Sejak saat itu aku sudah tak melihat Manda dan sudah tidak pernah mendengar kabar tentangnya lagi. Bahkan aku menjalani masa-masa remajaku tanpa mengingat Manda. Hingga setelah kelulusanku dari Sekolah menengah atas,aku kembali ke Jakarta bersama Ibu. Sejak itu aku baru mengingat Manda. Aku mengetahui alamat rumahnya dari tetangga lama nya saat masih tinggal di pesisir pantai.
Malam itu aku tiba dirumahnya, aku baru saja ingin turun dari mobil hingga aku melihat dua orang gadis masuk kedalam taksi yang terparkir di depan rumah Manda. Memang ada dua gadis, tapi aku mengenali satu gadis dengan gaya rambut ponitail itu. Aku mengenali matanya yang bulat lucu,ah.. Mata itu tidak berubah. Taksi itu melaju menuju gerbang perumahan mengacuhkanku yang berada di belakangnya. Hingga aku berniat mengikutinya.
Manda berjalan begitu cepat,aku kewalahan mengikuti langkahnya terlebih suasana caffe yang begitu ramai. Aku kehilangan jejak manda. Hingga aku melihat seorang gadis bertubuh mungil yang terlihat risih dengan suasana di sekitarnya. Aku memperhatikannya,gadis itu sedikit limbung. Entah karena mabuk,atau terdorong oleh orang disekitarnya yang asik berjoget. Aku ingin memastikannya,perlahan aku mendekatinya dan ia berjalan mundur kearahku. Ia menabrakku dan aku menahannya, aku tahu ia akan berbalik dan meminta maaf padaku. Tapi kurasa itu tidak perlu, aku hanya ingin memastikan ia tidak mabuk. Aku melingkarkan tanganku ke perutnya,memeluk nya dari belakang. Aku merindukannya. Barangkali tak masalah jika aku ingin mencium aromanya sebentar saja, memastikan bahwa sahabatku telah tumbuh menjadi seorang gadis idamanku. Ah.. Wanginya manis sekali sangat padu dengan tubuh mungil dan matanya yang bulat. Aku mengecup pelan bahunya, merasakan tiap jengkal lehernya hingga telinganya mengembuskan setiap rasa ke kagumanku padanya, menyentuh pinggulnya,meremasnya perlahan.. Dia mendesah. Aku kira ia mabuk, hingga aku memberikan secari kertas yang kutulis sebelumnya dan meninggalkannya pergi.Malam ini aku masih terjaga. Aku merindukannya lagi, padahal baru 4 jam yang lalu aku mengantarkannya pulang. Aku benar-benar yakin ia tumbuh sebagai gadis idamanku. Saat aku menatap matanya,saat aku menggenggam tangannya, saat itu juga aku melihat bibirnya yang ranum. Aku ingin merasakannya, aku tahu bibir itu sangat lembut. Tapi ia terlalu sedih saat itu, dan aku lebih memilih untuk menenangkannya. Andai saat itu kami tidak membahas tentang orang tua dan kehidupan masa lalu kami, mungkin tadi aku bisa sedikit merayunya dan kemudian kami bercinta. Tapi apa mai dikata, topik itu memang tidak dapat dihindari.
KAMU SEDANG MEMBACA
First
RomanceKetika yang kujaga belasan tahun,hancur dalam sekejap. Hancur bersama orang yang paling kucintai.