v. Titip Salam Untuk Kekasihmu

217 6 2
                                    

"Akhirnya kumengerti betapa rumitnya konstruksi batin manusia. Betapa sukarnya manusia meninggalkan bias, menarik batas antara masa lalu dan masa sekarang. Aku kini percaya, manusia dirancang untuk terluka."
-Dee, dalam tulisannya yang berjudul Partikel-

---

Bia terdiam, sekali lagi ditatapnya layar ponsel di genggamannya.

"Saya sudah di luar rumah kamu. Saya mau ketemu, saya rindu."

Kalimat itu memenuhi layar ponselnya. Bia pun beranjak, meninggalkan buku bacaan yang sudah ia baca sejak sore.

Bia melangkah terus, sampai kemudian kakinya berhenti tepat di hadapan pintu utama rumahnya, masih tertutup. Bia mengintip dari jendela, laki-laki itu ada disana, duduk di atas motor merah kesayangannya. Matanya nampak berkeliling, dengan sepuntung rokok terselip di antara jari tengah dan jari telunjuknya, laki-laki itu nampak sedang mengobservasi rumah Bia dari tempat ia duduk.

Bia menghela napas, bisa saja ia menyuruh lelaki itu pergi sekarang juga, tapi Bia tak sanggup, sayang.

Tangan perempuan itu kemudian bergerak untuk membuka pintu, "Kamu ingat, kan? Saya pernah bilang kalau saya tidak suka asap rokok?" Itu kalimat yang pertama meluncur ketika Bia membuka pintu.

Lelaki itu tersadar, ia menoleh, kemudian berdiri tegak, namun ia tak lantas membuang puntung rokok di tangannya, ia justru mendekatkan rokok tersebut ke mulutnya, menghisap panjang-panjang sampai ia kehabisan napas, sebentar ia menikmati sensasinya, kemudian perlahan-lahan menghembuskan asap rokok keluar dari mulutnya, matanya beberapa kali menyipit, seperti rokok di tangannya adalah suatu kenikmatan yang tak satupun cecapan boleh dilewatkan.

Seharusnya Bia tak menyukai hal tersebut, akan tetapi anehnya, Bia justru menikmati pemandangan di hadapannya. Bia ingin semuanya berjalan lambat-lambat. Meski rasanya ingin segera mengusir lelaki di hadapannya ini, Bia tetap tak mampu pula menahan gejolak untuk meminta lelaki itu agar tetap bersamanya.

Tak berapa lama, laki-laki itu pun melempar puntung rokoknya ke tanah, lalu menginjaknya sampai baranya habis dikalahkan bobot tubuhnya.

"Kenapa datang?"

"Apa alasan rindu tidak cukup untuk membuat kamu menerima kedatangan saya, Bia?"

Bia tersenyum miring, "Rindu macam apalagi yang kamu bicarakan itu, Revi?"

"Saya tidak pernah menemukan definisi yang tepat untuk menjabarkan kata rindu, mungkin kamu bisa bantu saya?" Laki-laki bernama Revi itu kemudian melangkah, memotong jarak di antara ia dan perempuan yang sampai saat ini masih saja betah berdiri di depan pintu rumahnya.

Bia masih terdiam.

"Apa kita mau berdiri seperti ini disini seharian, Bia?"

"Kalau itu cukup untuk membuat kamu akhirnya bosan dan pada akhirnya meninggalkan saya, saya mau."

Revi terkekeh, "Jangan membohongi saya, Bia. Jangan membohongi diri kamu."

"Kamu bicara apa?" Bia memiringkan kepalanya.

"Apa perasaanmu tiap kali melihat saya?"

"Jika ada kata lain yang bisa mendefinisikan bahagia, saya akan pilih kata itu."
Revi mengangguk, nampak puas dengan jawaban Bia.

"Apa perasaanmu tiap kali melihat saya?" Giliran Bia yang balik bertanya.

"Kalau ada kata lain yang bisa mendefinisikan damai, saya akan ambil kata itu."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 05, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Senja (Kumpulan Cerita Pendek)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang