Hampir setiap hari semenjak gue ikut gabung di tim cheers sekolah, gue selalu alami hal aneh. Tempat apapun yang terlintas di otak gue pasti tanpa hitungan detik gue ada di tempat itu. Bukan raga gue yang pergi tapi semacam roh gue yang menjelajah. Gue bisa liat orang-orang di sekeliling gue tapi mereka gak liat gue. Aneh kan?
***
"Re... gue mau nanya, ini cara ngerjainnya gimana?" Tanya seorang
lelaki dengan perawakan tinggi putih, mengelus tengkuknya gusar sehingga memperlihatkan kebingungannya.Regina yang asik dengan ponselnya beralih menatap kepada lelaki yang ber-nametag 'Iqbaal Diafakhri R.'. Memberikan tatapan cuek dengan kerutan dahi menandakan dia benci kondisi ini. Entah kenapa lelaki itu selalu saja bertanya mengenai pelajaran padanya. Jujur, Regina paling eneg dengan orang-orang yang otaknya sama dengan 1% walaupun dia memiliki wajah setampan dewa.
"Makanya kalau ibu lagi jelasin perhatiin baik-baik." Jawab Regina ketus lalu kembali berkutik dengan ponselnya.
Regina merupakan salah satu gadis populer di sekolahnya. Perawakan cantik dan tingginya itu mampu memberikan daya tarik tersendiri. Ditambah otaknya yang encer di berbagai bidang studi. Dia juga sekarang sudah menjabat sebagai ketua Cheers. Lantas siapa yang tidak mengenal dirinya? Tapi yah layaknya kebanyakan takdir yang telah terjadi, biasanya seseorang yang memiliki watak sesempurna itu pasti akan jatuh pada kejelekan yaitu sifatnya.
Regina terkenal dengan sifatnya yang judes, tegas, cuek, dingin. Dia tidak berkomunikasi dengan banyak orang. Hanya dengan orang tertentu saja.
"Ia tadi gue dengerin kok. Cuman yah gitu, gue bingung. Bantuin sekali lagi yah. Jelasin dikitlah." Lelaki itu terus memohon sehingga membuat telinga Regina menjadi sakit. Seandainya lelaki itu tidak pernah menolongnya ketika hampir ditabrak mobil mungkin saja dia akan menghalaunya segera.
Regina mengambil buku itu dengan kasar dari tangan Iqbaal. Dengan cekatan dia mengambil pulpen yang ada di lacinya lalu mulai menulis di atas buku Iqbaal tanpa pamit. Dengan lihai otak dan tangannya beradu seimbang sehingga kertas Iqbaal sudah penuh dengan berbagai rumus.
"Untuk limit tak terhingga. Kalau pangkat tertinggi ada pada pembilang maka hasilnya tak terhingga. Kalau pangkat tertinggi ada pada penyebut maka hasilnya nol. Dan kalau pangkat tertinggi ada pada pembilang dan penyebut maka hasilnya koefisien dari masing-masingnya. Itu cara cepatnya. Ok sekarang lo bisa pergi." Regina beranjak dari duduk nya lalu pergi dari keluar kelas.
***
"Untuk limit tak terhingga. Kalau pangkat tertinggi ada pada pembilang maka hasilnya tak terhingga. Kalau pangkat tertinggi ada pada penyebut maka hasilnya nol. Dan kalau pangkat tertinggi ada pada pembilang dan pengebut maka hasilnya koefisien dari masing-masingnya. Itu cara cepatnya. Ok sekarang lo bisa pergi." Jelas gadis didepannya itu panjang lebar.
Iqbaal suka melihat ketika Regina memasang wajah serius sambil berbicara banyak. Sungguh ini yang selalu Iqbaal jadikan alasan untuk bisa berbicara dengan gadis itu. Walaupun memang Regina terkesan cuek. Tapi tidak mengapa, justru menurutnya cuek Regina itulah yang terlihat mahal dan susah untuk didapatkan.
Setelah menjelaskan beberapa rumus tadi, Regina terlihat langsung beranjak dari depannya. Gadis itu sangat pintar menurutnya tapi sayang seandainya dia bisa sedikit ramah.
"Oiii"
Seseorang mengagetkan Iqbaal saat dia menatap punggung Regina pergi meninggalkannya sampai hilang di balik pintu kelas. Iqbaal spontan menoleh. Menautkan alisnya, sedikit menghembus nafas pelan ketika melihat gadis didepannya itu sedang memberikan ceringain usil.
"Ngapin sih lo ngagetin aja?"
Gadis didepannya itu tersenyum manis sambil memberikan isyarat dengan matanya menggoda Iqbaal.
"Nggak ada peningkatkan. Dia cuek terus. Gue kayak pengen nyerah aja."
Gadis itu menggeleng. Sebagai tanda agar Iqbaal tidak menyerah secepat ini.
"Ah capek gue Shil. Oh iya lo dari mana aja?" Tanya Iqbaal sambil menoleh ke arah pintu kelas dan jendela. Takut-takut kalau ada yang melihatnya berbicara sendiri.
"Gue tadi dirumah aja. Main sama adik gue yang paling kecil. Gue bete Baal. Kapan coba gue bisa masuk lagi ke tubuh gue? Gue nggak ngerti kenapa kalau orang koma rohnya gak bisa masuk. Gue kangen pengen sekolah lagi. Gue kangen pengen ngobrol bareng Aldi."
Iqbaal hanya tersenyum tipis mendengar penjelasan Shila. Tentu juga dia merasa iba pada Shila. Shila dulu adalah teman sekolahnya tapi dia kecelakaan sekitar 2 bulan yang lalu dan sampai sekarang belum sadarkan diri. Shila gadis yang periang, baik dan cantik. Tapi sepertinya takdir nya harus seperti ini dulu. Rohnya harus menjelajah kemana-mana.
Shila mengakui bahwa sekarang dia hanya memiliki dua teman untuk berbicara yaitu adiknya yang masih balita dan Iqbaal. Iqbaal memiliki indra keenam untuk melihat hal yang tak kasat mata. Iqbaal bertemu dengan Shila sekitar sebulan lalu, pada saat Iqbaal melihat Shila berjalan di koridor sekolah layaknya siswa lain tapi anehnya semua orang yang berjalan kearah Shila semuanya menembus begitu saja. Barulah dari situ Iqbaal menyadari bahwa itu hanyalah roh Shila.
"Ya udah lo jangan sedih yah. Entar sore kita bareng ke rumah sakit buat jenguk tubuh lo. Oke"
***
Regina menatap langit-langit kamarnya yang berwarna peach dengan sebuah baling-baling yang berputar sehingga menghasilkan udara yang dingin. Kamar yang sudah bertahun-tahun dia huni, di tempat inilah dia selalu menjalani peristiwa aneh itu. Sesaat ketika dia terlelap kemudian terbangun namun hanya melihat raganya masih terbaring dengan mata terlelap. Ini selalu saja terjadi tanpa di sengaja.
" Re.. ayo kita makan bareng nak. Ayah mu sudah pulang." sebuah suara berhasil masuk ke gendang telinganya, suara yang begitu familiar. Namun seperti biasa ketika suara itu menyerukan maka Regina akan menghiraukan.
"Nggak. Entar aja. Aku capek mau istirahat."
Wanita paru baya itu hanya mampu menggelengkan kepalanya. Lalu kembali menutup pintu kamar Regina. Ibunya sudah sangat tau ketika Regina berkata tidak maka dia tidak ingin dipaksakan lagi.Teringat akan kejadian masa lalu, sang ibu tidak ingin menyalahkan Regina sepenuhnya jika sikap anak gadisnya itu sudah mulai berubah.
Setelah mendengar pintu kamar tertutup, perlahan air mata Regina menetes lagi. Walaupun sudah setahun ayahnya menikah dengan seorang janda, tapi masih ada kesakitan yang dia rasakan. Masih ada perasaan tidak rela. Semenjak kejadian itu Regina menjaga jarak dengan ayahnya. Bahkan jujur dia sendiri tidak mengerti kenapa justru ini sangat berefek pada kehidupannya. Dia selalu bersikap dingin pada banyak orang bahkan juga dengan ibunya. Regina sangat menyadari bahwa dengan kelakuan dan ucapannya yang kasar selalu meneteskan air mata ibunya, tapi dari dalam hatinya terasa penuh kebencian pada orang-orang di sekitarnya.
Perlahan mata Regina mulai terpejam ditunjang juga dengan lelah tubuhnya karna seharian harus latihan.
***
Mata yang seolah diperintahkan untuk terbuka kini mulai memaksa kelopaknya untuk menerawang kearah cahaya yang akan menembus masuk ke kornea. Perlahan Regina membangkitkan tubuhnya dan duduk di tepi kasur. Menoleh kebelakang, masih didapati raganya yang tertidur pulas. Dia menghembuskan nafasnya keras, selalu saja seperti ini, ketika untuk kali pertamanya dia terbangun pasti rohnya akan terpisah dengan raganya.
Regina menatap jam yang melekat pada dinding kamar. Ternyata masih jam 9 malam. Perlahan kakinya yang dia biarkan terjuntai diatas kasur kini menapaki tehel kramik, berinisiatif untuk keluar agar menyegarkan pikirannya yang sedikit kacau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Astral Project
RomanceHampir setiap hari semenjak gue ikut gabung di tim cheers sekolah, gue selalu alami hal aneh. Tempat apapun yang terlintas di otak gue pasti tanpa hitungan detik gue ada di tempat itu. Bukan raga gue yang pergi tapi semacam roh gue yang menjelajah...