Cinta dan sayang itu apa bedanya? Aku membutuhkan jawaban. Jujur, aku belum pernah merasakan yang namanya jatuh hati. Bagaimana rasanya? Salahku sendiri karena menutup hati ini terlalu rapat. Tapi, aku yakin suatu saat nanti aku akan menemukan jawabannya.
Setelah mendekralasikan diriku untuk tidak pernah merasakan Jatuh Cinta. Godaan hasrat menjalin hubungan seperti gadis normal lainnya ditepis. Alasanku bukan membenci kaum Adam. Takut jika kisah cinta akan berakhir seperti kedua orang tuanku.
Seakan menyiksa batinku sendiri. Sepertinya aku terkena Philophobia; ketakutan akan Jatuh Cinta. Tidak bisa dihitung berapa pria mengajakku kecan, namun semua ajakan manis itu ditolak. Selalu ada alasan di balik penolakannya.
Aktivitas pagi di dapur terlihat lebih santai. Aku menikmati sarapan pagi dengan segelas susu dan roti selai kacang. Tara—Nenekku—memasuki ruangan. Membawa sebuah buku berwarna biru muda. Perhatianku sejenak melirik buku itu.
"Apa itu?" Tanyaku.Tara menarik kursi untuk duduk berhadapan denganku di meja makan. "Novel," Tara menggeser buku itu kearahku. "Kau akan menyukainya."
"Tidak akan," tukasku menatap buku itu malas. Covernya dua sejoli sedang berpelukan. "Kisah cinta di buku novel atau film tidak seindah kisah cinta di dunia nyata."
"Kau belum merasakan cinta." Timpal Tara dengan senyuman mengejek. Aku membuang pandangan ke luar jendela.
"Aku tidak tertarik merasakannya." Gumamku. Tara menghela nafas panjang. Tidak ada yang bisa di lakukan Tara. Ribuan kali ia sudah menasehatiku , agar tidak bergantung pada trauma kisah cinta kedua orangtuaku
Aku menggeser arah pembicaraan. Menatap Tara kembali. "Jadwal kampus hari ini hanya sebentar," Aku menyibakkan poni. "Setelah itu aku langsung ke cafe."
Nenekku pemilik Cafe yang cukup terkenal di kota ini. Tempatnya strategis di pusat kota dekat dengan taman hiburan. Setiap hari aku selalu membantunya, menjadi pelayan cafe; maid.
Tara mengangguk—meng-iya-kan ucapanku.
"Buku ini?""Nenek, sudah ku bilang aku tidak tertarik."
"Aku tidak ingin cucuku menjadi perawan tua."
"Aku masih muda, perjalanku masih panjang. Siapa tahu ada pangeran berkuda putih mendobrak hatiku." Aku tertawa geli begitu pula dengan Tara.
Aku beranjak dari kursi membawa cangkir dan piring kosong bekas sarapanku tadi ke westafel di konter dapur.
"Biar aku saja yang mencucinya," sahut Tara dari meja makan. Membuatku menoleh singkat. "Rena, kau akan tertinggal kereta."
Oh my god! Aku lupa, ku kira masih jam setengah delapan. Ternyata, saat melihat jam tangan yang melingkar di tangan kananku sekarang sudah jam delapan lebih.
Aku langsung berlari mengambil jaket dan tas selempang di atas meja makan. Memakainya dengan cepat. Tara menghela nafas—menatapku.
"Aku berangkat!"
————————
Olahraga pagi memang menyehatkan. Apa ini bisa disebut olahraga? Berlari dari rumah sampai stasiun dilanjutkan berlari dari stasiun sampai kelas, menyikasa? Iya.Tepat di dapan pintu kelas, aku mengatur nafas, menyeka air keringat yang mengalir di pelipisku. Jantungku memompa cepat seperti akan meledak.
Saat melihat jam, aku telat dua puluh menit. Rekor baru. Menghembuskan nafas pasrah sebelum membuka pintu.
Perlu kalian ketahui, dosenku hari ini termasuk golongan Killer. Semoga saja dewi fortuna memihak kepadaku hari ini.
Gagang pintu ku tekan—mendorongnya perlahan. Sorot mata seisi kelas langsung tertuju padaku. Glek! Pria yang tengah menjelaskan materi di depan kelas pun ikut menatapku. Aduh, kok jadi canggung gini.
"Vriscillia Rena, telat dua puluh satu menit tujuh detik." Ujar dosenku sembari menatap jam tangannya.
"Tapi diizinkan masuk, kan?" Tanyaku dengan wajah watados, masih berdiri di bingkai pintu.
"Saya belum mengatakan kalau kamu boleh masuk," Jawabnya ketus.
Kalau sudah begini susah. Sei Frigate,dosenku hari ini. Aku bingung, aku harus apa. Dia itu susah ditebak dan bertindak semaunya. Aku bisa mendengar tawa samar para murid.
"Tunggu di luar." Perintahnya. Mendengarnya agak kesel juga. Kalau tahu begini lebih baik aku bolos. Kesal pun percuma, sih, aku yang salah.
Pintu ku tutup kembali. Dengan bibir manyun, aku bersandar di dinding samping pintu masuk kelas.
Menunggu kelas sampai selesai membuatku jenuh. Hanya berdiam diri di luar kelas dengan suasana ramai para mahasiswa yang berlalu lalang. Aku terkesan seperti orang bodoh.
Kakiku pegal ingin duduk atau jongkok tapi gengsi. Sekuat diri untuk menahan. Bangku umum diisi para mahasiswa yang menumpang WiFi. Karena tercantum jelas logo Free WiFi.
Setelah satu setengah jam menunggu, akhirnya kelas selesai. Para murid keluar kelas dan Sei keluar terakhir.
"Saya kira kamu pulang," kata Sei menghampiriku. Entah kenapa nadanya seperti mengejek. Aku membenarkan posisi berdiri, menatap mata hitam pekatnya. "Materi hari ini." Sei mengulurkan lembaran kertas padaku. Melirik kertas dan Sei secara bergantian.
Tanpa berkata apapun aku langsung menerimanya.
"Terimakasih." Ucapku menatap kertas itu. Sei menyunggingkan senyum tertangkap basah olehku. Kenapa dia tersenyum? Setelah membuatku tersiksa.
"Rasanya enak? Menunggu satu jam setengah."
"Tidak sama sekali."
"Perlu aku jemput agar kamu tidak terlambat?"
"Tidak perlu menggodaku, kak Sei Frigate." Jawabku menatapnya lekat-lekat. Mendengar itu aku sedikit geli.
"Bukan menggoda, hanya memberi bantuan."
Mata kami saling beradu tatap. Tidak ada yang mengalah. Aku sudah malas menanggapinya. Malas dengan sikap Sei seperti itu, istilahnya sok ganteng.
"Terimakasih atas bantuannya, tapi kereta masih setia mengantarku." Aku langsung pergi meninggalkannya. Menunggu satu jam setengah dan hanya diberi lembaran materi. Aku merasa, hari ini adalah hari sialku.
TBC...
—————
A/N: Hallo, aku mau ngucapin makasih buat kalian yang udah baca ceritaku /hiks/ Please Vote and Comment kalau kalian penasaran dengan ceritaku yang absurd ini.Makasih juga buat Rifqi♡ promosiin ceritaku padahal masih prolog x'D
Maaf kalau lamaaaa pake banget buat updatenya (╥_╥) Aku emang gini kalau nulis cerita males-malesan.
Jangan lupa Vote dan Comment ya! ♡ tunggu kelanjutannya.
Terimakasih♡♡♡ヽ('▽`)/
KAMU SEDANG MEMBACA
Philophobia
Teen FictionVriscillia Rena menutup hatinya rapat. Masa lalu kedua orangtuanya dijadikan patokan bahwa Cinta sesuatu yang menyakitkan. Padahal setiap manusia membutuhkan Cinta. Sei Frigate datang menjadi obat penyembuh untuk Vricillia Rena. Sifat Rena yang se...