2

31 3 2
                                    

Panas terik matahari menyengat kulit. Debu dan folusi berteberan dimana-mana—memberi efek sesak bagi pernafasan. Riuh suara pengendara dan para pejalan kaki menusuk pendengaranku. Kondisi hidup di lingkungan padat penduduk.

Lampu hijau untuk para pejalan kaki menyala. Langsung ku langkahkan kaki ini di atas zebra cross diiringi para pejalan kaki lainnya. Memasukan kedua tangan di dalam saku jaket. Aku menatap langkah sepatu boot cokelat yang ku gunakan.

"Rena!" Sahut seseorang dari belakang. Dia menepuk pelan pundakku. Membuatku menoleh sekilas padanya.

Oh, dia Catie, teman satu kelas denganku. Catie bekerja di cafe nenekku. Bisa dibilang kami satu pekerjaan. Kami sangat dekat, Catie banyak cerita padaku, tapi aku jarang untuk bercerita—tidak ada topik— hidupku terlalu datar. Rambut blonde sebahu dan tubuh berisi. Wajah bulat di tambah hidung mancung memberinya kesan berwajah manis.

Catie menyamai langkah kami. Seulas senyum manis—menatapku. Aku tau, Catie memang gadis ceria.

"Dosen Sei Frigate tidak mengizinkan mu masuk kelas, ya?"

Sialan! Dia bertanya seolah mengejek. Aku tidak mau membahas itu lagi—sebenarnya.

Aku menghela nafas malas. Melirik kearah jalanan. Ekor mataku masih dapat mengangkap senyuman mengejek Catie.

"Itu konsekuensi—" Jawabku

"Karena kau terlambat." Timpal Catie. Aku tidak bisa menjawab apapun, karena itu faktanya. Ku lirik Catie kembali.

"Hanya telat dua puluh menit."  sembari aku membuka pintu Cafe. Tanpa sadar kami sudah sampai. Cafe sore hari cukup ramai pengunjung. Aku dan Catie menyapa beberapa pegawai, seperti Melly , Emily, Jusmine dan Vinna.

Aku segera mengganti pakaianku di ruang khusus pegawai. Kemeja putih lengan panjang dan rok pendek hitam, tak lupa high heels hitam. Sembari menguncir rambutku di depan cermin, aku bertanya pada Catie.

"Catie, rasa tertarik itu seperti apa?"

Aku merasa Catie lebih berpengalaman dibanding diriku. Pengalaman kami berbeda jauh, sebentar lagi Catie akan menikah, sedangkan aku berpacaran saja belum pernah.

Catie menghadap cermin—berdiri di belakangku. Kami saling bertatapan melalui pantulan cermin.

"Y-ya, maksudku perasaan tertarik pada seseorang, bisa dibilang..lawan jenis." Lanjutku karena melihat wajah Catie terlihat heran dengan pertanyaanku. Aku selesai menguncir rambut.

"Perasaan tertarik itu, ketika kau merasa ingin mengenalnya  lebih dalam. Menurutku, sih, begitu." Catie menjawab sembari mengangkat bahu.

"Kenapa kau bertanya begitu? Wah! Jangan-jangan kau sedang merasa ketertarikan!?" Wajah Catie dibuat seolah sangat terkejut. Istilahnya lebay. Aku berbalik badan mengahadapnya.

"Aku, kan, hanya bertanya. Tidak berarti aku merasa ketertarikan itu." Tukasku seperti biasa. Catie tersenyum hangat. Aku tidak mengerti dibalik senyumnya itu. Sifat ke-ibuan-nya muncul. Ya, Catie lebih tua dariku sekitar empat tahun.

"Semua manusia pasti akan merasakan yang namanya ketertarikan. Termasuk dirimu, Rena. Mungkin saja Sei Frigate tertarik padamu." Jelas Catie. Membuat mentalku menciut, pasalnya kata-kata itu menusuk ulu hatiku.

"Ya ampun! Kenapa harus menyelipkan Sei Frigate? Dia itu hanya dosen yang menyebalkan dan...gatel pada wanita." Catie langsung tertawa terbahak-bahak. Aku mendengus sebal. Tawaan Catie seperti mengejekku-kau-lucu-sekali.

***

Harum empat cangkir Cappuccino menggelitik indra penciumanku. Satu persatu ku pindahkan ke atas baki kayu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 22, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PhilophobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang