prolog

19.9K 859 18
                                    

Mungkin seharusnya aku tidak mencuci piringnya.

Ucapan itu menggema di benak Zephaniah. Sebelum ia berhasil menemukan jawabannya, wanita itu menarik dirinya dari kasur, menyibak tirai putih yang menutupi jendela.

Sama seperti seluruh ruangan lain di bangunan tua itu, kamar itu lowong dan dingin jadinya, sedikit remang dan bersih. Tidak banyak yang bisa dilakukan Zephaniah di dalam sana kecuali pergi ke jendela dan mengamati hal-hal di luar sana.

Ia mengamati beberapa orang pria yang berdiri di dekat mobil itu, seorang mengenakan kemeja putih dan yang lainnya hitam. Pria berkemeja putih itu masuk ke dalam mobilnya yang rendah. Mobil itu kemudian berlari garang, menggilas tanah dan menghasilkan debu yang tebal. Seiring dengan menghilangnya mobil itu, tatapan Zephaniah berubah menerawang.

Wanita itu mengira mereka sudah kenal baik. Mereka bertemu di gereja pagi ini, ketika Zephaniah sedang melayani sebagai tukang cuci piring di perayaan Paskah di minggu pagi.

Menjelang siang dan ketika Zephaniah dan punggung pegalnya akan beranjak, pria itu menaruh piring bekasnya. Melihat piring itu, wanita itu terpana sesaat.

"Maaf," suara pria itu lembut, terdengar terlampau baik di hati Zephaniah sehingga ia mengangkat pandangannya. "Biar saya saja."

Tubuh tinggi menjulang itu berdiri di dekatnya. Matanya menyorotinya melalui sepasang kaca mata yang bertengger malas di hidungnya yang tajam. Lengan kemeja putihnya digulung sesikut dan ia mengenakan celana jins yang menutupi bagian atas sepatunya.

Saat itu, jika Zephaniah menunggu seorang pria yang akan ia jadikan kekasih, ia akan bersyukur bahwa ia telah menemukannya. Sayangnya, semua yang ia tunggu telah ia miliki dan semua yang ia miliki itu telah diambil darinya. Sekarang ia hanya ingin istirahat.

"Tidak apa-apa," Zephaniah merespons dan mencuci piring yang nyaris tak terpakai itu, sebelum punggungnya betulan bengkok.

"Terima kasih." Dari nada suaranya, Zephaniah tahu pria itu tersenyum. "Bisa temani saya ke kantor gereja?"

Zephaniah mengangkat kepalanya sebentar. Betapa senyum itu sangat tampan. "Ada di samping konsistori."

Senyuman pria itu berubah geli. "Saya sudah ke sana. Mereka bilang harus ada surat pengantar dari gereja asal untuk pindah ke sini. Tapi saya tidak memiliki itu, jadi bisa tolong bicara kepada mereka bahwa saya ingin pindah? Tampaknya kamu pelayan aktif di sini."

Zephaniah mengelap piring yang sudah dicuci itu. Ia mengangkat kepalanya dan mengamati orang di depannya.

Sepengamatan Zephaniah, baru satu kali itu pria itu datang. Hanya satu kali. Terlalu dini untuk memutuskan bahwa ia telah menemukan tempat baru yang lebih baik.

"Kenapa begitu yakin ingin pindah?"

"Saya tidak yakin," kata pria itu langsung. Kemudian, untuk suatu alasan, senyumannya terasa seperti ilusi dan ia terasa tenggelam. "Saya tidak memiliki pilihan."

Senyuman itu ditangkap oleh Zephaniah. Sesuatu terasa berubah di dalam atmosfer. Gerakan tangan wanita itu memelan. "Kenapa?"

Kemudian atmosfer benar-benar berubah. Dapur gereja itu menjadi hening dan penuh sementara pria itu berbicara.

Namanya Adam. Ia bilang ia adalah seorang jemaat di gereja B. Ia pindah ke gereja A karena ia tidak bisa bertahan. Ayahnya berada di sana, melayani dan segalanya seolah ia bukanlah seorang pendosa paling berskandal terhadap ibunya yang kemudian meninggal karena kanker.

Pria itu tampak tangguh. Tatapannya yakin dan suaranya juga stabil. Senyumannya tetap lembut dan memikat, tetapi ada sesuatu soal bagaimana ia bercerita yang membuat cerita itu seolah berasal dari suatu titik yang panas, yang ia coba atasi tetapi tidak pernah bisa, yang ia coba lupakan tetapi selalu muncul di depan wajahnya seperti penampakan iblis.

"Kenapa memilih gereja ini?" tanya Zephaniah demi membersihkan tenggorokannya yang mulai tercekat. Ia sudah lama berhenti mengelap dan sudah lama ingin memeluk anak laki-laki di depannya itu.

"Ketika kamu kabur," kata Adam, "kamu tidak peduli harus ke mana. Kamu hanya peduli bahwa kamu sudah lepas."

Saat itulah Zephaniah seluruhnya merasakan.

Ada sesuatu yang kuat yang mencengkeram dan merasuki hatinya—suatu kesedihan yang terlampau kuat, kesedihan yang tak bisa ia talar, tak bisa ia kendalikan, tetapi tak mau ia tolak juga. Kesedihan ilahi. Kesedihan kudus dan tak egois.

Tiba-tiba saja, sudah ada buliran air mata yang berlari menuruni pipinya, membuatnya tenggelam ke dalam mata yang tetap intens, berduka di depan seorang anak yang tetap manis.

Jadi itulah awalnya. Itulah bagaimana ceritanya Zephaniah mengiyakan ajakan pria itu untuk pergi ke ruang kantor gereja, ke ruang doa, dan kemudian ke kediamannya. Itulah bagaimana awalnya ia bisa pergi ke rumah tua itu.

Dan itulah mengapa Zephaniah baru mulai menyadari bahwa ia dalam bahaya ketika pria itu masuk ke dalam rumah, dan, tiba-tiba saja, semua kelembutan itu hilang.

Di langkah pertama mereka memasuki pintu, kegelapan seolah menguasai pria itu serta seluruh sudut bangunan beserta tulang rangkanya. Sungguh intens, seolah pria itu adalah pembawa kegelapannya, seolah ia adalah sebuah produk dari kecelakaan gerejawi.

Wajahnya berubah dingin. Suaranya rendah dan dalam, tak tersentuh dan di bawah nol, menggetarkan seluruh hati ketika ia menyuruh seorang pelayan untuk menunjukkan kamar tidur Zephaniah dan mengurus wanita itu. Senyum paling tampan itu lenyap. Kaca mata itu tanggal.

"Mungkin aku akan pulang saja," kata Zephaniah pelan, memandangi sang pelayan yang berdiri khidmat seperti patung.

Adam membalikkan tubuhnya, menatap Zephaniah sebentar, kemudian menghilang di balik sebuah ruangan.

Ketiadaan jawaban itu menbuat Zephaniah berbalik. Ada seorang pria di depan pintu kayu berat itu, berdiri tenang. Pria itu belum
berbicara sedari tadi. Tidak ada yang sudah berbicara selain Adam. Namun, ada larangan yang tegas di mata sosok itu, ada sesuatu yang tersampaikan dengan baik.

Zephaniah memutar tubuhnya lagi. Sekarang ia sendirian bersama dua orang asing itu. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia hanya memandangi sang pelayan yang juga memandanginya beberapa lama, mungkin mempelajarinya. Setelah waktu yang terasa seperti keabadian, wanita paruh baya itu bergerak maju dan mengantarnya ke kamarnya.

Sekarang, setelah mobil itu pergi menjauh, Zephaniah ingat kenapa ia bisa ada di rumah tua di dalam hutan itu, dan ia ingat kenapa ia tidak pergi dari sana.

Perasaan itu. Di dapur gereja itu. Itulah awalnya. Mungkin Tuhan telah mengutusnya ke tempat itu. Mungkin juga tidak. Tidak, Tuhan pasti mengutusnya ke sana.

Zephaniah menutup tirai itu. Mungkin memang ia harus mencuci piring pria itu.

OOO

06/05/24

StruggleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang