Torte suka tinggal di tempat tinggi, sedangkan Baum senang pada tempat yang rendah. Torte menganggap tidak ada yang lebih cantik daripada warna langit, megahnya matahari dan kemilaunya bintang serta anggunnya bunda bulan, sedangkan Baum tahu bahwa sifat tanah yang sederhana dan penyayang mirip indahnya kasih ikhlas seorang ibu. Torte dan Baum membangun rumah berdekatan. Baum sayang pada Forte, dan begitupula sebaliknya, meski bukan dengan cara yang sebagian orang biasa bayangkan.
Jika ingin bicara pada Torte, Baum mengumpulkan dua puluh ekor serangga api yang pantatnya kebiruan. Dimasukkannya ke dalam kantung yang ditiup penuh-penuh dan disimpul mati, di bawahnya ia ikatkan segulung surat. Kadang-kadang sepotong permen ia susupkan di situ. Serangga-serangga terbang membawa surat itu terbang ke jendela kamar Torte yang tinggi. Baum menunggu, duduk di atas jamur raksasa tanamannya sambil memainkan flute dan mengajari kelinci-kelinci ungunya berdansa dengan kedua kaki belakang mereka.
Mereka berdua bisu. Dewa mencabut pita suara mereka berdua karena dulu Baum selalu bicara ingkar dan Torte selalu berkata sombong. Kini Baum hanya memiliki flutenya, dan Torte, karena orang-orang sudah tidak mau (bisa!) mendengarkan mereka lagi.
Torte tinggal di atas kamarnya yang mirip menara. Ia tidak bisa bermain flute, namun ia sangat pandai melukis. Barangkali karena ia tinggal di tempat yang disapa matahari dan dininabobokkan malam; anak-anak cahaya, berjuta warna bermain di matanya. Ia terbiasa pada segala hal yang berbau kebahagiaan dan keindahan. Ia menyebut surat-surat dari Baum sebagai pesan dari dunia bawah. Kata-kata Baum selalu manis, sekaligus pesimis, seperti rasa buah anggur yang disimpan dalam tong selama setengah abad.
'Katakanlah aku ingin membuat hidupku agak berguna dengan cara mengabulkan satu permintaanmu, apa yang kau inginkan?' suatu hari Baum menulis. Serangga-serangga apinya yang berwarna kebiruan mengerubung di sekitar Torte yang tengah membaca.
Torte diam, menggamit kuas yang selalu ia selipkan di balik telinganya. Bukan kebiasaannya untuk menerima uluran tangan orang lain, karena ialah Torte sang sombong yang tinggal di tempat tinggi. Torte selalu mengatakan hal pertama yang terlintas di kepalanya, jadi, ia menulis,
'Memangnya, apa yang bisa dilakukan orang dari dunia bawah, hm?'
Torte menggulung suratnya, mengikatnya dengan tali kain yang simpulnya membentuk sayap sehingga ketika gulungan itu dilemparkan keluar jendela, ia terbang rendah seolah kupu-kupu kecil menghampiri pucuk bunga di subuh hari.
Baum menerima surat yang diterbangkan oleh Torte dengan kedua tangannya. Hati-hati seakan surat itu bisa hancur jika ia bertindak gegabah. Ia tersenyum, menghirup wanginya minyak terpentin dan cat buah-buahan yang menguar dari gulungan tersebut. Kelinci-kelincinya berebutan minta dibelai selagi dia menulis balasan, dan kembali menerbangkannya pada Torte.
'Apa saja. Semua hal di dunia ini dibangun dari bawah, Torte. Rumahmu yang tinggi juga.'
Torte tergelak ringan tanpa suara. Ia membalas.
'Jika melukis, aku memulai segalanya dari atas. Betapapun, apa kau bersungguh-sungguh dengan penawaranmu?'
'Apa saja.' tulis Baum.
Penawaran Baum sebenarnya bukan tanpa alasan. Telah beberapa malam ini dia mendongak dan melihat jumlah bintang yang menghias malam, dan ia mengerti bahwa hari kelahiran Torte sudah dekat. Semenjak mereka mengindap di lubang yang sama, ia ingin Torte merasa khusus. Tak peduli ia punya apa dan bisa apa. Baum menunggu, dan menunggu, cukup lama hingga ia lelah duduk dan kemudian berbaring di atas jamur raksasa; salah satu kelinci ungu tidur di wajahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Feathertales
FantasyCerita-cerita dongeng/fantasi yang saya buat. Beberapa di antaranya adalah karya lama yang pernah saya muat di blog saya. Sebagian merupakan adaptasi dari cerita anak-anak terjemahan yang mungkin sudah kita kenal sangat baik.