Sang Raja Tikus mengadakan pesta besar, dan semua rakyatnya turut. Mereka menikmati hidangan yang luar biasa lezatnya, berdansa, memainkan musik, semua larut dalam hingar bingar tawa dan keceriaan yang seolah tak ada habisnya. Menjelang akhir pesta, sambil bersendawa, seekor tikus besar dengan perut tambun melihat ke arah meja makan. Tak ada yang tersisa di sana selain tusuk-tusuk sosis.
Ia mengerang, bercanda bahwa dirinya masih lapar namun ia tak akan bisa memakan mentah tusuk-tusuk sosis yang terbuat dari kayu keras itu. Dan jika ada perempuan yang bisa membuatnya menjadi sup yang lezat, sungguh ia perempuan berharga.
"Masalahnya, perempuan yang seperti itu tidak ada." Seekor tikus lain menyahut. "Dan kalau pun memang ada, kurasa tidak ada yang lebih layak mendapatkannya selain Raja Muda kita. Bukankah dia belum memilih permaisuri sampai saat ini?"
"Ya, ya, memang belum." Tikus besar itu sedikit mabuk.
"Beliau terlalu pemilih." kata tikus kedua, tanpa mengurangi rasa hormat.
Percakapan itu terdengar oleh Sang Raja. Telah lama ia mencari cara untuk menemukan pendamping hidup yang sesuai. Raja Tikus suka makan, dan seorang ratu yang begitu terampil memasak hingga bisa membuat sup dari tusuk sosis yang tawar keras, pastilah perempuan yang betul-betul berharga dan pantas. Maka, sebelum fajar, telah tersebar sayembara di seluruh negeri bahwa barangsiapa bisa membuat sup dari tusuk sosis, akan dijadikannya permaisuri.
Itu adalah tawaran yang menggiurkan, kendati syaratnya terlalu berat. Siapa di dunia ini yang pernah mendengar mengenai sup dari batang kayu, lagipula?
Namun pada akhirnya, ada juga empat tikus wanita yang mendaftar. Kesemuanya berasal dari keluarga miskin, namun cantik, dan jelas bersemangat. Kepada mereka diberikan waktu sebulan untuk mencari tahu cara membuat sup dari bahan yang luar biasa itu. Satu tikus ke utara, menumpang kapal manusia. Satu tikus bertolak menuju ke pedesaan di barat, satu lagi menuju perkotaan di timur, dan satu yang tersisa tidak mengatakan tujuannya.
Satu bulan kemudian, tiga tikus telah kembali. Mereka berdiri di tengah ruangan yang telah penuh oleh tikus-tikus, menghadap pada Sang Raja, masing-masing menghadapi sebatang tusuk sosis (yang mereka pegang dengan cara seorang manusia terhadap tongkat bantu jalan); satu batang diletakkan menganggur begitu saja di tempat yang seharusnya untuk tikus keempat.
Masih ada beberapa menit sebelum waktu yang ditentukan. Apakah tikus keempat telah mati, tidak kembali, atau hidup, dan akan kembali, mereka menunggu. Sang Raja memerhatikan jam saku (yang, sepertinya, dicuri dari seorang manusia) di dekat singgasananya dengan tatapan tak sabar. Empat kuali siap dinyalakan di perapian.
Tik, tok, tik, tok.
"Kurasa kita bisa memulai tanpa tikus keempat." desah Sang Raja pada akhirnya. Ia menelisik wajah para calon istrinya, lalu, telunjuk yang gemuk menunjuk tikus pertama; yang paling ramping.
"Nah, kau. Ceritakan bagaimana kau menemukan resep sup dari utara."
KAMU SEDANG MEMBACA
Feathertales
FantasyCerita-cerita dongeng/fantasi yang saya buat. Beberapa di antaranya adalah karya lama yang pernah saya muat di blog saya. Sebagian merupakan adaptasi dari cerita anak-anak terjemahan yang mungkin sudah kita kenal sangat baik.