The Words

113 10 19
                                    

Café Woody terlihat ramai hari ini. Tapi yang menarik perhatian adalah seorang gadis berambut hitam ini, ia bernama Ilisa. Meja tempat ia duduk yang kebetulan menghadap ke jendela memperlihatkan kalau hujan mulai turun, tapi Ilisa malah semakin gelisah, Ia bertanya pada diri sendiri.

"Apakah ia akan datang?"
"Jika ia datang, apa yang aku katakan padanya?"

Sebenarnya sudah cukup lama Ilisa menunggu, tadinya ia ingin beranjak, namun ia urungkan dan memutuskan untuk menunggunya beberapa saat lagi karena sejujurnya Ilisa sangat rindu padanya.

●●●

Satu jam sudah terlewati, namun tidak ada tanda-tanda kedatangannya. Ia memanggil pelayan untuk meminta bill, lalu ia membayar dan segera beranjak. Baru saja ia melangkah dan sampai di pintu kafé seseorang menghadangnya.

"Stop! Nona." Seorang lelaki berjas melayangkan tangannya ke depan wajah Ilisa yang mengisyaratkan untuk berhenti. Ilisa terheran, lalu mencari wajah pemilik tangan tersebut.

"Oh, hei, kau kan Manajer Dito kan? Manajernya Chaz." Tanya Ilisa sambil menurunkan tangan yang ia panggil Manajer Dito tersebut.

"Ya, Nona, saya-" Ucapan Manajer Dito terpotong oleh Ilisa.
"Apakah Chaz tidak datang? Kalau iya, kenapa?" Sejumlah pertanyaan Ilisa layangkan pada Manajer Dito.
"Em, saya ingin menyampaikan maaf karena sudah membuat Anda menunggu lama, Nona." Jawab Manajer Dito.
"Saya mengerti, terimakasih." Ilisa menyela lagi. Seperti sudah tau apa yang akan dikatakan oleh Manajer Dito.

Ilisa langsung terlihat lesu, menghela napas berat.

"Pasti ia tidak akan datang, padahal aku sudah senang Chaz meluangkan waktu untuk bertemu denganku." Batin Ilisa sambil menunduk, matanya mulai berkaca-kaca.

Seseorang melangkah mendekat dan berhenti tepat di depan Ilisa dan menyuruh Manajernya untuk pergi.

"Aku datang, tenang saja, maaf sudah membuatmu menunggu lama." Suara itu. Ilisa mengenali suara itu. Ilisa langsung mengadahkan wajahnya. Wajah Ilisa terlihat senang.

"Ayo, cari tempat duduk." Ajak Chaz sambil merangkul bahu Ilisa. Saat mencari meja, entah kenapa semua meja penuh, kecuali meja bernomor 12 ini, padahal ketika tadi Ilisa beranjak kafé ini masih cukup sepi.

"Kau ingin memesan apa?" Tanya Ilisa, memecah keheningan diantara mereka.

Chaz mengambil buku menu, "Americano Coffee aja."

Ilisa mengangguk lalu memanggil pelayan.

"Americano Coffee satu dan Caramel Macchiatonya satu." Ilisa memberitahukan pesanannya pada pelayan, disaat ia berbicara, Chaz tengah memperhatikan sosok Ilisa dengan seksama. Saat Ilisa selesai memesan ia pun menoleh ke arah Chaz dan karena ketauan memperhatikan, Chaz berbicara.

"Seleramu masih sama ya, Ilisa."
"Seleramu juga." Sahut Ilisa sambil memandang sekeliling tidak ingin matanya bertemu dengan mata hazel milik Chaz.

Chaz mengambil papan bertuliskan nomor meja yang berada di tengah-tengah mereka, Ilisa pun memperhatikannya, "Kebetulan sekali ya kita mendapat meja bernomor duabelas." Duabelas adalah tanggal jadian mereka, tadinya.

"So, How's life? How's your family? I haven't seen them in a while." Ilisa berusaha mengalihkan pembicaraan.

"It's good, they good." Jawab Chaz sekenanya.

"I see, You've been good, busier than ever." Sambung Ilisa sambil menyandarkan tubuhnya ke punggung kursi.

Chaz memandang keluar, "Musim Hujan belum berhenti ya?" Sahut Chaz.

The Words (One-Shot)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang