AWAL

17 1 0
                                    

Aku hampir kehabisan nafas saat sebuah Camry nyaris menabrakku. Darah masih menetes dari luka tembak di lengan kiriku.
"Help me! Please, help me!" Kugedor kaca Camry putih yang perlahan terbuka. Seorang pria bertopi army tampak terkejut melihatku.
"Kamu?" Ia memperhatikanku dengan tatapan seolah bertanya untuk meyakinkan apakah aku orang yang siang tadi membayarkan maccha latte miliknya.
Dan ya, aku pun masih ingat wajahnya. Tapi tak ada waktu, keparat-keparat itu semakin gila mengejarku.
"Tolong berikan aku tumpangan."
Pintu pun terbuka dan tanpa ba bi bu sesaat kemudian aku sudah bersandar di kursi depan.
Suara tembakan terdengar semakin mendekat.
"Bisa tolong kemudikan mobilnya dengan cepat?" Pintaku setengah memaksa.
Dan tanpa banyak bertanya, seolah paham akan situasinya, pria itu melajukan mobilnya kencang. Membelah jalanan malam lengang kota Sendai.

×××

Aku menggigit handuk yang disumpalkan ke mulutku saat peluru yang tertancap di lengan kiriku dikeluarkan. Sakit. Walau bukan pertama kali mengalami hal seperti ini tetap saja rasanya masih sakit.
Sesaat kemudian perban putih telah melilit rapi di lenganku. Pria ini tampaknya ahli sekali.
"Ya, sudah selesai. Sekarang istirahatlah"

Dia.. Sejak di mobil tadi hingga sekarang tak sekalipun bertanya pertanyaan normal seperti; apa yang terjadi, siapa orang-orang bersenjata yang mengejarmu, atau apapun lah yang senormalnya orang tanyakan jika berada di situasi ini. Memangnya dia gak penasaran apa?!
"Hmn.. Terimakasih" aku mengangguk setelah menyeka keringat sisa perjuangan menahan rasa sakit barusan.
"Kau bisa istirahat di kamarku"
"Ah tak apa, biar aku tidur di sini saja"
"Kau bisa istirahat di kamarku. Dan jika kau membuatku mengatakan kalimat itu sekali lagi silahkan keluar dan bersiap ditemukan oleh 4 orang berjas biru bersenjata api yang mengejarmu tadi."
Aku menyipitkan mataku. Kenapa dia bisa se-detail itu? Aku tak menceritakan apapun, kejadian sejak dia menolongku dengan mobilnya pun sangatlah cepat. Dan dia bisa mengetahui jumlah orang dan warna pakaiannya padahal aku sendiri tak bisa lagi melihat orang-orang itu. Ya, kemampuan mengebutnya sangat mengagumkan.
"Tak perlu banyak berfikir atau penasaran. Cukup turuti saja perkataanku jika kau merasa perlu berterimakasih. Yah walaupun aku menolongmu sebagai bentuk balas budi untuk kejadian siang tadi"
Kepalaku berdenyut. Ah, kepalaku memang tak bisa diajak berfikir terlalu banyak. Walaupun banyak yang ingin aku tanyakan dan ingin aku ketahui, aku memilih menuruti kata-katanya untuk beristirahat.

Aku masuk ke satu-satunya kamar di flat ini. Membaringkan tubuh di atas single bed bercover bendera Italia.
Kamar yang rapi dengan rak buku yang diapit meja kerja dan lemari, warna karpet yang senada dengan tirai. Aku kembali bangun untuk merapatkan tirai yang setengah terbuka. Entahlah rasanya tak aman jika membiarkan ada celah yang berpotensi menunjukkan keberadaanku. Ya aku tak boleh lengah, aku buronan yang sedang bersembunyi. Tak ada jendela di balik tirai polos berwarna coklat muda itu. Hanya dinding kaca yang suatu hari nanti baru kuketahui jika itu adalah satu-satunya dinding kaca anti peluru di gedung ini.

Sebuah poster Albert Einstein yang tertempel di dinding mengingatkan aku pada satu hal. Aku lupa bertanya siapa nama malaikat penolongku ini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 07, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Be-DoubleYouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang