Prayoga
Sejak pertemuannya dengan Bagas hari itu, setiap weekend Bagas selalu berkunjung ke rumahnya atas permintaan Rui. Bagas tidak menolak permintaan Rui. Hal itu membuat Yoga jadi senang. Selain melihat Rui yang banyak tersenyum dan bahagia ketika main bersama Bagas. Bagas juga sering memasak untuk Yoga dan Rui. Meskipun masakannya cuma masakan yang simple tapi rasanya enak.
Yoga merasa kehadiran Bagas merupakan pelengkap di kehidupannya dan Rui. Bukan cuma pelengkap saja, tapi Bagas sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka sekarang.
Pada suatu ketika, Yoga sedang bertugas di sekolah 'Boy's School.' Sekolah tersebut merupakan tempat dia bekerja sebagai dokter. Secara tidak sengaja, Yoga melihat Bagas sedang berjalan terburu-buru ke arah laboratorium.
Pada awalnya Yoga merasa itu hanya ilusi dan khayalannya saja, bahkan dia berpikir bahwa dia mulai berpikiran gila karena terlalu banyak memikirkan Bagas. Tapi selama beberapa hari terakhir, dia sering melihat Bagas berjalan terburu-buru ke arah laboratorium yang sama. Lama kelamaan Yoga jadi penasaran. Apa yang dilakukan Bagas di dalam Laboratorium saat jam pelajaran berakhir.
Akhirnya dengan sedikit ragu, Yoga berjalan ke arah laboratorium tersebut. Ketika dia sampai di depan pintu Lab, dia mendengar suara helaan nafas yang panjang. Yoga menghentikan langkahnya di depan pintu. Menunggu.
"Bagas kamu memang orang yang br*****k! Tidak tahu diri!!" Ucap Bagas marah pada dirinya sendiri, dengan volume suara yang pelan.
Akan tetapi, Yoga bisa mendengar dengan jelas apa yang dikatakan Bagas barusan.
"Bagaimana bisa kamu mencintai Yoga?" Ucap Bagas frustasi.
Deg.
Yoga kaget, rasanya campur aduk. Dia jadi deg-degan sendiri. Tapi dia harus tenang dan tetap mendengarkan.
Bagas tertawa miris. "Takdir itu sangat lucu." Ucapnya pelan, sangat-sangat pelan.
Untuk mendengar lebih jelas apa yang akan dikatakan oleh Bagas, Yoga harus lebih dekat ke pintu dan membukanya sedikit. Kini Yoga bisa melihat Bagas dari samping.
Bagas termenung. "Aku selalu mencintai orang yang tidak akan bisa aku miliki." Ucap Bagas benar-benar frustasi, bersamaan dengan itu Yoga melihat setetes air mata jatuh dari pelupuk mata Bagas.
Yoga terdiam dan mematung melihat Bagas yang seperti itu. Bagas yang dia kenal sangat ceria, baik dan penuh perhatian. Tapi Bagas yang kini dihadapannya adalah Bagas yang rapuh dan kesepian.
Melihat Bagas menangis seperti itu, rasanya Yoga ingin ikut menangis. Bagas laki-laki yang baik. Tapi terkadang kebaikannya melukai dirinya sendiri.
Yoga menghela nafas. Perasaan ingin melindungi Bagas muncul dari dalam diri Yoga. Dia sudah lama tidak merasakan ingin melindungi seseorang selain Rui semenjak istrinya meninggal. Dia sangat bahagia melihat Bagas dan Rui tertawa gembira. Yoga tidak ingin tawa itu hilang dari bibir Bagas dan Rui.
"Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Kali ini aku benar-benar mencintainya. Dia, juga anaknya. Aku tidak mau kehilangan mereka. Aku tidak sanggup kalau aku harus membunuh rasa cintaku pada mereka. Tapi kalau rasa ini dibiarkan, ini akan merusak hubunganku dengan mereka? Tuhan, apa yang harus aku lakukan?" Ucap Bagas frustasi dan kali ini Bagas benar-benar menangis.
Bagas menutupi mukanya dengan kedua tangannya. Bagas menangis tersedu-sedu.
Mendengar hal tersebut membuat lamunan Yoga buyar, terlebih lagi saat melihat Bagas menangis tersedu-sedu seperti itu membuat Yoga tanpa pikir panjang menghampiri Bagas. Yoga memeluk Bagas dan mengusap punggung Bagas dengan lembut.