#2

46 4 6
                                    

Buk!

"Demi pie biji selasih!" teriak seseorang sesaat setelah latino boy terjatuh, "anak Latino, apa yang kau lakukan di pohonku?"

Bocah itu mengerjabkan matanya sebentar, memusatkan ke satu titik tepat di depan wajahnya. Dia meraih batang pohon yang berkerut, lalu mencoba berdiri, namun gagal.

"Anak Adam, apakah kau tidak bisa berdiri? Apa kau cacat? Apa kau terjangkit epilpsi?" tanya orang itu beruntun, lalu membantu bocah Latino itu berdiri. "Apa kau baik-baik saja? Kau tampak seperti anak Whales yang terkena ayan."

Latino boy mengangkat dagunya, menatap orang di depannya dengan cermat. Kulitnya putih seperti anak perempuan, rambut abu-abu yang panjang dan ditata seperti kepang di kedua sisinya. Tubuhnya jangkung kurus, hidung semancung penyihir Theodora, pakaian yang terlihat kain perca menyelimuti tubuhnya. Jari-jarinya kurus, dan tangannya panjang. Andaikan pria ini memakai gaun Bella di seri Beauty And The Beast, orang ini akan menjadi saingan Cinderella di pesta dansa pangeran, dan mungkin saja Kristoff akan menciumnya dan mengklaim bahwa dia adalah cinta pertamanya. "Sekali lagi demi buah pumpkin di ujung unicorn, apakah epilepsi menyerang dirimu nak?"

Latino boy tertegun, "aku tidak tahu. Aku bahkan tidak tahu epilepsi itu apa.

"Dan, Nyonya, pakaian yang kau kenakan sungguh tidak cocok denganmu. Alangkah baiknya kalau dirimu memakai gaun kuning berhiaskan renda dan keliman cantik di setiap ujungnya. Pakaian itu seperti kain lap."

"Demi.... demi.... kau bilang ini kain lap?! Kain lap?!" pria itu menujukkan baju dan celananya yang kelewat ketat, "kau pasti sudah terjangkit epilepsi. Dan satu lagi, aku pria."

Isi kepala bocah itu masih dijejali oleh segelintir angin, seperti ada sebuah badai yang menerpa otaknya, lalu memporak-porandakan pohon-pohon saraf di dalam otak besarnya. Kenapa dia ada di di sini pun dia tak tahu, apalagi tempat apa ini. Dia mendapat C- di kelas Biologi dalam pelajaran "mengobservasi lingkungan sekitar"—dia benar-benar tidak ahli dalam hal itu.

"Maaf, Nyony—maksudku Sir...," ucap Latino boy.

"Sir Isaac Newton," katanya sambil membusungkan dada, seakan namanya adalah nama orang termahsyur di abad ini.

"Sir Isaak, apa kau tahu di mana ini?"

"Kita ada di danau Inggris anakku. Tepat di samping pohon Apel Ilmu Pengetahuan," tunjuk Newton payung daun di atas mereka, beberapa ada yang membesar berwarna kemerahan. "Dan kau baru saja menjatuhiku."

Bocah tiu tidak membalas ucapan Newton. Dia terdiam beberapa saat memandangi dataran yang berkilauan terkena sinar matahari, "danau Inggris yang mana? Danau Toba atau danau Baikal?"

"Danau Inggris ya danau Inggris. Tidak ada yang lain lagi. Kau suka apel?" jawab Newton dari atas pohon, saat bocah itu terdiam dia memanjat pohon lalu memakan apel itu. "ini terimalah," Newton melempar apel, dan ditangkap dengan sempurna oleh Latino boy.

"Newton, berapa luas dari danau ini?"

"Luasnya sekitar sepertigadua dari dunia."

"lalu seberapa luas dataran hijau yang kupijaki ini?"

Newton turun—meloncat—dari pohon, "demi Cleo Poppin di Mediteranian! Siapakah kau gerangan? Kenapa kau menjadi sangat menyebalkan? Apakah sekarang epilepsi membuat orang mati karena sebal?"

"Aku...., aku.....," Latino boy memejamkan matanya, telunjuk dan jari tengahnya disatukan dan diletakkan di ujung kening. Seperti Mila—si jenius kelas saat mengerjakan soal Sosiologi, "aku tidak ingat siapa namaku."

"Demi Apel Pengetahuan!!" jerit Newton, "epilepsimu parah sekali. Cepat kita temui Bethoveen, tabib desa Celtic. Dia temanku, dan jika kau bermasalah dengan epilepsi atau kecoa, dia adalah orang yang tepat."

"Kukira bangsa Celtic sudah punah. Dan Bethoveen kukira adalah teknisi listrik, bukannya tabib."

"Awawawaw, kau terlihat menjadi seperti sok tau seperti Einstein. Apakah ini karena epilepsimu? Mungkin nanti aku akan mengirim surat ke Einstein untuk memeriksakan dirinya. Kau tidak terkena cacar air kan?"

"Bagaimana aku bisa mempercaiyaimu?"

"Percaya pada Sir Isaac Newton, ilmuwan penemu lampu paling fenomenal di dunia."

"Baiklah, aku tidak punya pilihan lain. Dan aku akan membuktikan padamu kalau aku tidak menerita epilepsi."

Newton memasukkan tangannya ke dalam celanaya—dia membuka celananya, lalu memasukkan tangannya, sesaat kemudian dia mengeluarkan sepeda pramodel berukuran telapak tangan. Newton meletakkannya di atas rumput, sekejab kemudian, sepeda itu membesar dan bisa untuk dinaiki. Newton menduduki sadel, menegakkan pungungnya, dagunya terangkat, "ayo naiklah."

"Dimana? Di ban?"

"Tentu saja di belakang, dasar Epilepsi."

"Hentikan memanggilku Epilepsi, Nyonya Tua," bocah itu pun duduk di bagian belakang sepeda—tempat boncengan anak kecil. Sambil menggigit apel, Newton pun meng-goes-sepedanya.

Angin sejuk beraroma rumput bertiup di segala arah mata angin. Sesekali ke Tenggara, sesekali ke arah Barat Daya. Rerumputan pun bergerak menyamping ketika di tiup angin, menciptakan sebuah kontras warna dari hijau terang ke hijau gelap. Newton bersenandung dengan bahasa yang sulit dijabarkan. Arab? Bukan, Cina barangkali, atau mungkin Rusia? Entahlah, tapi dari gelagatnya, itu adalah bahasa untuk orang Tuna Netra. Dan, astraga! Demi pie kismis! Suara separah Lizzy—anak paduan suara yang memecahkan vas bunga Madam Helen hanya dengan suara—memekik tinggi.

"Newton, kenapa kau tidak lewat jalan setapak saja? Bukankah biasanya jalan itu adalah jalan yang paling cepat?"

"Apa itu jalan setapak?"

"Jalan yang sering dilalui oleh orang-orang, sehingga membuat tanahnya agak merosot, itulah namanya jalan setapak."

"Kalau begitu, jalan setepak tidak akan tercipta di dunia ini. Tidak ada orang yang melewati jalan yang sama dua kali. Mereka terlalu kreatif untuk membuat rute perjalan sendiri dalam lima detik," Newton mengerem pelan sepedanya, karena melewati jalan berbatu, "kau mungkin bisa menjadi penemu jalan setapak. Dan temuanmu akan dipatenkan oleh Presiden Kaisar Ratu Cleopatra. Namamu akan dijajarkan oleh para penemu sepertiku, dan kamu bisa masuk ke gedung musik Musikverein, aku yakin kau akan suka Einstein."

"Benarkah? Kalau begitu aku akan memperkenalkan temuanku di tempat tujuan, apa, Desa Batik? Masih jauh?"

"Celtic anakku, jaraknya masih seperemparpuluhsembilan dari menara Eifel."

"Jadi, sekitar 17 km lagi?"

"Epilepsi! Bagaimana matematikamu di sekolah? Bagaimana kamu menghitung menara itu?" seru Newton, "kita sudah sampai."

"Tinggi Eifeil itu sekitar......, entahlah, aku tidak tahu! Dan untuk apa aku menghitungnya? Gustave Eifiel saja bahkan tidak dipedulikan saat membuatnya."

"Sudahlah! Lupakan saja! Saat kau sekolah pastikan kau dapat A+ di Geometri," Newton memarkir sepedanya di tanaman pagar yang menjulang tinggi di sekitar gedung—hijau dan berkilau, ujung tombak Kavaleri mencuat dari garis kemilau di pucaknya—seakan menusuk-nusuk langit megah—beberapa orang—orang aneh ( helm yang disambungkan dengan tanduk lembu, jas kulit buaya, dan sepatu perempuan yang berhak berkulit piton dan benda itu dipakai oleh laki-laki kekar!)—menyambut Newton dan meneriakkan sebuah seruan dalam bahasa yang sama seperti yang dinyanyikan oleh Newton sedari tadi.

Kemudian, Latino boy dan Newton digiring oleh rombongan orang itu masuk ke dalam. Sebuah bangunan berbentuk setengah bola (bagian ratanya di tanah dan bagian yang cembung menengadah ke atas)—seperti tenda sirkus, dibangun di sebuah tanah bidang. Orang-orang yang membawa masuk mereka berdua itu seperti penduduk kuno di zaman Jurassic, dan baru mengenal apa itu kaleng dan besi, juga beberapa ada bergerak seperti TinMan! Latino boy ternganga.

","4358쵔H

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 24, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

FREAKING WORLDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang